Bukan rahasia lagi jika saat ini, nongkrong di coffee shop sudah menjadi bagian dari gaya hidup banyak orang secara kolektif. Sudah nggak melihat usia lagi. Mau yang muda, tua, maupun sudah berkeluarga, menjadikan coffee shop sebagai opsi relaksasi pada akhir pekan.
Sebetulnya, saya nggak merasa heran-heran amat dengan hal tersebut. Apalagi, saat ini di banyak coffee shop sudah menyediakan banyak hiburan yang cocok untuk anak dan keluarga. Dua di antaranya, playground dan segala jenis kartu, serta game board. Menu makanannya pun sama beragamnya. Menu untuk anak, lokal, dan kebarat-baratan disediakan.
Namun, tiap kali ke coffee shop, baik sendiri, bersama kawan, atau keluarga, saya selalu merasa ada yang kurang. Utamanya saat menyeruput kopi. Sesekali, makan menu berat atau utama di coffee shop memang nggak jadi masalah. Tapi, jujur saja, saya juga pengin makan camilan sambil ngopi. Khususnya camilan lokal, sih.
Bukan tanpa alasan saya menyampaikan persoalan ini. Sebab, kebanyakan coffee shop lokal, ujung-ujungnya malah menyediakan camilan ala western atau modern. Kebanyakan cake, croissant, roti-rotian, atau pastry. Ya, okelah, dua jenis camilan tersebut juga cocok sebagai pendamping kopi. Tapi, pada titik tertentu, rasanya bosen tauk.
Tapi, sepertinya coffee shop lokal juga perlu mempertimbangkan kembali untuk menyediakan menu camilan lokal. Singkong goreng atau rebus, berbagai macam gorengan (pisang goreng, bakwan goreng, tempe goreng, tahu goreng, dlsb), ubi-ubian, jajanan pasar, dan semacamnya.
Ya, kalau coffee shop luar masih bisa dipahami, lah. Ini coffee shop lokal, lho. Masa di menunya nggak ada lokal-lokalnya banget, sih?
Percaya sama saya. Karena saat ini coffee shop sudah dikunjungi oleh banyak orang dengan beragam usia, berbagai kalangan, dan untuk segala macam tujuan, agar bisa beradaptasi dengan selera pasar sekaligus permintaan yang bervariasi, nggak ada salahnya untuk berani menyediakan camilan lokal seperti yang disebutkan.
Sensasi makan singkong goreng atau rebus, berbagai macam gorengan, dan camilan lokal itu sangat mahal. Sebab, bagi sebagian orang, momen tersebut seperti membeli sekaligus mengingat kembali kenangan lama. Sebagian lainnya, bagi yang belum merasakan betapa nikmatnya ngopi nyambi makan gorengan atau camilan lokal, setidaknya, bisa mendapat pengalaman pertama.
Sedikit usul saja, jika sudah menyediakan menu camilan lokal yang dimaksud, harganya bisa menyesuaikan juga, ya. Maksud saya, jangan langsung masuk kategori heritage, terus harganya jadi melonjak, ya. Biar orang-orang yang nongkrong atau datang ke coffee shop bisa happy, bukan makin mumet karena kepikiran berapa budget yang sudah dikeluarkan.
Maksudnya, nggak perlu juga menyediakan menu lokal, terus nama menunya dikemas dalam bahasa Inggris, biar harganya bisa dibikin lebih mahal. Kayak singkong goreng, namanya nggak perlu jadi fried cassava juga, lah. Atau ubi-ubian jadi sweet potato. Nanti harganya jadi Rp80-100 ribu pulak satu porsi, ya, kan.