Mohon tunggu...
Seto Permada
Seto Permada Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten

Penulis Cerpen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapakah yang Bisa Disebut Berpendidikan?

7 September 2017   20:49 Diperbarui: 7 September 2017   21:00 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wah, caranya bagaimana?"

"Macam-macam, Paman. Tadi anak-anak di kelas dibagi menjadi berbagai grup. Aku masuk grup Melati."

"Terus?"

"Di grup itu Bu Guru ngasih buku satu-satu. Terus kami disuruh ngapain aja sesukanya. Ada yang baca, ada yang bermain pesawat-pesawatan pakai buku yang dikasih Bu Guru. Ada yang nggambar di buku. Ada yang bercakap-cakap seperti dongeng yang dibaca. Pokoknya banyak, Paman."

"Bu Guru tidak marah ada temenmu yang tidak membaca?"

Dia hanya menggeleng.


Sebagai gambaran, keponakan saya berumur 7 tahun belum genap. Ketika belum masuk sekolah dia sudah pandai membaca dan menulis. Tak heran kalau gaya deskripsi dalam berceritanya runut sekali. Setelah itu saya peluk. Berarti gurunya perhatian. Kata dia, pada saat yang sama, ia membaca cerita yang panjang sekali. Katanya capek, soalnya dia baca yang paling banyak di antara seluruh kelas.

Langsung saja saya peluk. Terus saya biarkan masuk. Saya suruh cerita itu diceritakan ulang pada mamanya biar senang.

Inilah pendidikan yang hilang pada zaman saya sekolah. Pada waktu itu, seluruh anak di sekolah seakan-akan dipaksa untuk belajar, dipaksa untuk membaca. Bahkan ada yang menakut-nakuti kalau tidak belajar tidak akan lulus Ujian Nasional. Seakan-akan Ujian Nasional adalah bagian terpenting dalam suatu pembelajaran di sekolah. Alhasil, saya hanya belajar ketika akan menghadapi tes dan ujian saja. Selebihnya? Saya tidak berminat sama sekali. Saya menganggap membaca buku adalah hal yang merepotkan, lebih asyik bermain.

Pada masa saya sekolah, pikiran sudah dicuci agar menganggap sekolah bertujuan untuk mendapatkan ijazah. Padahal, bukan itu yang penting, melainkan prosesnya. Saya baru menyadari arti pendidikan di sekolah yang penting. Ialah persahabatan, bermain bersama kawan-kawan, dan kelenturan dalam belajar. Itu yang sebenarnya saya dambakan pada masa itu. Jadi, ketika ingin belajar memang benar-benar ingin belajar, bukan karena terpaksa.

Oleh karena itu, saya berani mengatakan bahwa guru terbaik di sekolah adalah ia yang bisa memberikan kenyamanan untuk murid-muridnya. Ia yang bisa mengetahui keinginan dari mayoritas muridnya. Ia yang bisa mengambil perhatian murid-muridnya. Bukan ia yang menakut-nakuti dengan hasil rapor buruk, tidak naik sekolah, dan tidak lulus Ujian Nasional? Bukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun