Pagi itu, 12 Agustus 2025, udara Probolinggo terasa segar, seolah memberi pertanda bahwa hari ini akan menjadi hari yang penuh makna. Saya melangkah menuju Kelurahan Kademangan dengan hati berdebar, membawa sebuah harapan besar. Di sana, sebuah halaman rumah sederhana milik Ibu Sulastri sudah menunggu. Rumah itu hari ini berubah menjadi pusat belajar, tempat di mana mimpi-mimpi kecil mulai dirangkai.
Begitu sampai, saya langsung disambut oleh pemandangan yang begitu hidup. Deretan wajan, baskom penuh jagung kuning yang tampak bersinar terkena cahaya matahari pagi, memenuhi halaman. Aroma khas bahan pangan mulai tercium, bercampur dengan suara riuh rendah obrolan para ibu. Dua puluh lima perempuan, semuanya nasabah Mekaar, duduk rapi di kursi plastik. Ada yang tersenyum malu-malu, ada yang menggenggam bolpoin dan buku kecil, siap mencatat. Saya terdiam sejenak, menyadari satu hal: di depan saya, ada wajah-wajah yang membawa semangat untuk berubah.
Mereka bukan sekadar ibu rumah tangga. Mereka adalah tulang punggung keluarga, sosok yang setiap hari berjuang di ladang, di dapur, dan di tengah tekanan hidup. Saya tahu cerita mereka. Saya tahu bagaimana rasanya bekerja keras, hanya untuk melihat hasil panen dijual dengan harga yang rendah. Dan hari ini, saya datang untuk membawa pesan sederhana namun penting:
“Ibu-ibu tidak sendiri. Kami di PNM ada di sini untuk berjalan bersama.”
Kami memulai kegiatan bertajuk “Klasterisasi Olahan Jagung Menjadi Jamudin (Marning)”, bagian dari program Pengembangan Kapasitas Usaha (PKU)—pendampingan non-pembiayaan yang kami berikan agar nasabah tidak hanya mendapatkan modal, tapi juga ilmu, keterampilan, dan keberanian untuk mandiri. Karena saya percaya, permodalan saja tidak cukup. Untuk mengangkat ekonomi keluarga, harus ada ekosistem yang mendukung, harus ada semangat yang dibangkitkan.
Mengapa jagung? Karena jagung adalah emas kuning bagi masyarakat Kademangan. Tetapi selama ini, jagung hanya dijual mentah, dihargai rendah, tanpa memberi nilai tambah bagi petani maupun keluarganya. Saya sering mendengar keluhan: “Pak, kerja keras di sawah kok hasilnya kecil sekali.” Kalimat itu selalu menohok saya. Maka, saya berpikir: bagaimana kalau kita ubah sudut pandangnya? Bagaimana kalau jagung ini kita olah, kita jadikan produk bernilai lebih, yang bisa dipasarkan lebih luas?
Dari situlah ide ini lahir. Hari ini, kami mengenalkan potensi jagung olahan, khususnya jamudin atau marning jagung—camilan tradisional yang sudah disukai lintas generasi, dengan pasar yang cukup luas. Dengan sedikit kreativitas, jagung yang biasa dijual kiloan bisa berubah menjadi camilan renyah yang punya nilai jual tinggi. Modalnya kecil, tapi keuntungannya bisa menambah pendapatan rumah tangga.
Untuk memberikan inspirasi, kami mengundang Vico, seorang pengusaha muda sekaligus anggota HIPMI. Ia bercerita bagaimana memulai usaha dari nol, bagaimana sebuah ide sederhana bisa membuka pintu rezeki yang besar. Saya melihat mata para ibu berbinar. Ada rasa takjub, sekaligus keyakinan yang mulai tumbuh: “Kalau orang lain bisa, saya juga bisa.”
Sebelum sesi praktik dimulai, saya berdiri di depan mereka. Saya katakan dengan jujur dan tegas:
“PNM tidak ingin ibu-ibu berhenti hanya sebagai penerima pembiayaan. Kami ingin ibu-ibu naik kelas, menjadi wirausaha mandiri, percaya diri, dan punya masa depan yang lebih baik. Klasterisasi ini adalah cara kita bersama untuk saling menopang. Karena usaha kecil kalau berdiri sendiri, rapuh. Tapi kalau bersatu, kekuatannya berlipat ganda.”
Setelah itu, halaman rumah Ibu Sulastri mendadak berubah menjadi dapur besar yang penuh tawa dan semangat. Tim PKU kami, Ken Suryo dan Fany, memandu para ibu praktik langsung: memilih jagung yang tepat, merendam, menggoreng dengan api pas, hingga mengemas secara sederhana tapi menarik. Saya perhatikan, ada rasa percaya diri yang mulai tumbuh dari setiap langkah mereka. Ada tawa kecil ketika minyak goreng meletup, ada ekspresi puas ketika marning pertama matang dan harum. Saya mendekat ke Ibu Sulastri. Dengan mata berbinar, ia berkata,
“Pak, selama ini jagung saya selalu dijual mentah. Baru sekarang saya sadar kalau sedikit kreativitas bisa membuat hasil panen lebih menguntungkan. Saya mau coba jual ini di warung sekitar.”
Saya hanya bisa tersenyum dan berkata, “Ibu pasti bisa. Ini langkah awal.”
Yang membuat saya semakin bangga, dukungan untuk kegiatan ini tidak hanya datang dari kami di cabang, tapi juga dari kantor pusat. Pak L. Dodot Patria, Sekretaris Perusahaan PNM, menyampaikan pesan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari misi besar PNM untuk membangun ekosistem usaha mikro berbasis potensi lokal. Saya sangat sepakat. Karena pemberdayaan bukan sekadar tentang angka, tetapi tentang menciptakan kekuatan yang berkelanjutan.