Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mampukah Indonesia Melawan "Kutukan" Masa Lalu?

6 Juni 2020   17:30 Diperbarui: 8 Juni 2020   16:46 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wikivisually.com/wiki/Japanese occupation of the Dutch East Indies

Berbicara kutukan maka bicara tentang suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu dan masih dianggap terjadi hingga saat ini. Umumnya kutukan identik dengan hal-hal buruk yang menimpa seseorang atau kelompok masyarakat karena ulahnya sendiri.

Lalu, bagaimana jika penjajahan kolonial masa lalu terhadap Indonesia menyisakan beberapa kutukan bagi negeri ini hingga sekarang?

Banyak pihak menganggap bahwa berbagai problem bangsa saat ini merupakan efek dari dijajahnya Indonesia di masa lampau sehingga berbekas dan sulit hilang dari Indonesia hingga saat ini.

Apalagi jika melihat berbagai paradoks bangsa ini seperti: negeri yang kaya energi, tetapi selalu impor bahan bakar, negeri maritim tetapi selalu impor garam, negeri agraris tetapi masih impor beras.

Termasuk negeri sejuta kultural dengan keunikan pada keragaman suku, bangsa, dan bahasa, yang disebut-sebut unggul dengan persatuannya justru masih dilanda konflik horizontal dimana-mana.

Namun demikian, banyak pihak juga tidak setuju dengan hal demikian, paradoks yang terjadi di Indonesia yang masih terjadi disebabkan karena belum dewasanya sistem demokrasi Indonesia, sistem hukum yang masih digunakan sebagai alat kekuasaan, pembangunan yang tidak merata, hingga belum tepatnya kebijakan-kebijakan sosial-pendidikan.

Terlepas dari beberapa pro-kontra hal di atas, penulis tertarik dengan dua isu utama yang tampaknya merupakan kutukan bagi bangsa Indonesia hingga saat ini.

Dua kutukan ini merupakan pekerjaan rumah kita bersama dalam membangun bangsa yang kokoh dan berkeadilan sosial.

Selain itu, terlepas dari setuju atau tidaknya, kedua kutukan ini merupakan pengingat bahwa sejarah Indonesia masa lalu telah berpengaruh besar terhadap Indonesia saat ini.

'Kutukan' Ekonomi 

Kolonialisme menjadi salah satu sejarah penting bagi dunia termasuk Indonesia. Anthony D. King dalam bukunya yang berjudul Urbanism, Colonialism, and the World-Economy menyebut bahwa kolonialisme meletakkan negara-negara pinggiran sebagai salah kekuatan global atau sebagai negara pemasok bahan mentah.

Sebut saja, Afrika dan Asia Tenggara, negara-negara yang fungsinya pada era kolonial ditempatkan sebagai pemasok bahan mentah utama dunia.

Bahan-bahan mentah tersebut diolah di wilayah-wilayah pusat atau metropolis di wilayah jajahan para era tersebut.

Akibatnya, identitas ekonomi negara-negara terjajah bersifat ekstraktif dengan mengedepankan pada keunggulan bahan-bahan mentah.

Adanya metropolis wilayah tersebut jika ditengok dalam sejarah Indonesia ada dalam wilayah Batavia hingga wilayah-wilayah yang terdapat jalur rel kereta api di Pulau Jawa.

Tak heran jika melihat stasiun di wilayah-wilayah lajur kereta selalu ditandai dengan keberadaan pabrik-pabrik tebu yang kemudian dijadikan gula pasir misalnya di Semarang, Pekalongan, Yogyakarta, hingga Solo.

Oleh karena itu, salah jika kita mengatakan bahwa jalur transportasi buatan Belanda merupakan warisan untuk sarana perpindahan mobilitas nenek moyang kita, melainkan jalur-jalur tersebut dibuat tidak lain untuk mengedarkan bahan-bahan mentah untuk diproduksi dan dipasarkan di pasar internasional.

Inilah yang menyebabkan Karl Hack dan Tobias Rettig dalam bukunya Colonial Armies in Southeast Asia menyebut ciri dari penjajahan Belanda, selain menguasai jalur-jalur perdagangan seperti wilayah pesisir, Belanda juga menguasai sampai kepada wilayah-wilayah pedalaman untuk kekuatan produksi.

Hal ini tercermin dari pembukaan perkebunan-perkebunan teh, kopi, hingga kina yang hasilnya diambil oleh para penjajah tersebut.

Mungkin hal inilah yang menyebabkan Belanda bisa membangun Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, Utrecht, dan kota besar lainnya di Belanda yang pesat saat ini.

Dengan dmeikian, Hindia Belanda (Indonesia) kala itu merupakan bagian dari kekuatan global namun hanya diletakkan sebagai kekuatan pinggiran yang perannya hanya sebagai pemasok, bukan pemain utama.

Indonesia hanya menyediakan bahan mentah yang dikeruk dan dijual untuk keuntungan para penjajah agar memperkuat posisi mereka di mata dunia.

Walhasil, sistem yang terjadi pada sejarah masa silam ini tanpa sadar masih tetap berlangsung saat ini. Indonesia hanya sebagai negara yang mempergunakan ekonomi ekstraktif, yakni hanya berfokus pada bahan-bahan mentah, kaya akan bahan-bahan mentah, atau komoditas, namun tidak mempunyai industri menyeluruh dari hulu ke hilir.

Bahan-bahan mentah yang dimiliki tidak diolah melainkan langsung dijual, padahal jika diolah terlebih dahulu keuntungan yang diperoleh bisa berlipat ganda dan bahkan bisa menghapus kemiskinan di negeri ini.

Tidak ada yang mengira bahwa Indonesia dengan sejuta kekayaan alam tetapi masih berkutat dengan masalah-masalah kemiskinan dan ketidakmerataan ekonomi.

Dampak lain dari masih terkungkungnya sistem ekonomi ekstraktif ini juga melanda dunia perpolitikan Indonesia. Politik kita masih dipenuhi praktik politik oligarki.

Hal ini karena untuk melanggengkan sistem ekonomi yang ekstraktif harus ada stratifikasi jelas yakni keberadaan elit-elit yang menjadi alat dari kekuasaan untuk memuluskan ekonomi ekstraksi tersebut.

Oleh karena para elit kekuasaan (seringkali jenderal pada masa itu) tidak bisa mengelola bisnis, maka mereka bekerjasama dengan para bisnisman (konglomerat) untuk menitipkan bisnisnya agar tetap bisa memperoleh keuntungan.

Dampak lain dari adanya sistem ekonomi ini juga dirasa masih terjadi sekarang yakni dominannya wilayah metropolis atau wilayah ekonomi terpusat yang menyebabkan ketidakmerataan ekonomi Indonesia.

Batavia dan Pulau Jawa menjadi pusat kegiatan ekonomi masa penjajahan dan sekarang menjadi Jakarta dan wilayah besar Jawa lainnya.

Akhirnya, kita menyaksikan wilayah-wilayah perkotaan besar menjadi pusat ekonomi berbeda dengan wilayah lain atau wilayah di pulau lain yang tertatih-tatih membangun kesejahteraan. Urbanisasi pun banyak terjadi di Indonesia sehingga menyebabkan lahirnya masalah sosial lainnya.

Belum lagi problem-problem lain semisal integrasi yang juga dirasa sangat erat dengan kebijakan kolonial masa itu.

Pada masa kolonial wilayah-wilayah Indonesia dipecah untuk kemudian dilakukan eksploitasi berbagai bahan mentah termasuk kerja paksa.

Akibatnya, beberapa ancaman pemisahan wilayah oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) hingga lepasnya Timor-Timur menjadi bukti bahwa kebijakan kolonial menjadi bukti adanya ancaman disintegrasi.

Problem yang juga dianggap masih mengakar yaitu soal politik identitas dan konflik etnis oleh karena dipupuk dengan kebijakan ketimpangan kolonial.

Lebih jauh, pertanyaan yang layak diajukan adalah apakah setelah Indonesia merdeka rantai ini sudah berhasil diputus?

Tentu banyak indikator objektif yang perlu ditanyakan ulang kepada bangsa ini. Termasuk percaturan Indonesia pasca merdeka di kancah global yang masih berfokus pada kekuatan komoditas bahan mentah dunia. Alasannya tentu adanya kepraktisan dalam melaksanakan kebijakan ini.

Oleh karena itu, kita bisa menyaksikan para elit di negeri ini masih terbiasa untuk menjual bahan mentah yang ada, tanpa melaksanakan riset atau proses industrialisasi lanjutan supaya proses pengembangan ekonomi yang lebih menguntungkan.

Oleh karena itu, Syed Farid Alatas dalam bukunya Democracy and Authoritarianism in Indonesia and Malaysia: The Rise of the the Post-Colonial State, menyebut para elit-elit pengusaha lebih senang dekat dengan para elit penguasa, karena kemudian memperoleh izin untuk menjual bahan mentah sawit, tambang, emas, perak, dan sejenisnya.

Dengan demikian, para pengusaha bisa lebih banyak meraup kekayaan berlimpah. Dampaknya, sampai saat ini kita terus dipertontonkan oleh pejabat yang koruptif oleh karena sistem ini mengajarkan bahwa dekat dengan penguasa maka kekayaan akan semakin berlimpah.

Dan jika hal ini terus terjadi maka 'cukong-cukong' di negeri ini akan tetap hidup dan sulit untuk dihapuskan. Begitupun dengan penguasaan tanah, tambang, dan sumber bahan mentah lainnya akan tetap dikuasai karena mereka memperoleh perlindungan dari para penguasa atau elit yang sedang berkuasa.

Dengan demikian, agar kekayaannya tetap terjaga, maka para konglomerat negeri ini terjun ke dunia politik menggunakan uangnya untuk membeli suara rakyat. Menciptakan partai politik, menguasai media, lalu kemudian menjadi politisi dan berkuasa.

'Kutukan' Geografis

Mendengar ungkapan yang disematkan Belanda dulu dengan menyebut Indonesia sebagai 'zamrud khatulistiwa' mungkin banyak dari kita yang berbangga diri, seolah-olah sebutan tersebut indah nan mulia.

Padahal sebutan tersebut sebenarnya dialamatkan kepada Indonesia karena perannya yang sangat menonjol dalam membantu ekonomi penjajah kolonialisme.

Sederhananya, sebutan tersebut adalah ciri bagi Indonesia sebagai negara yang senang diperas, diambil kekayaan alamnya, dan kemudian tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa menikmati hasilnya.

Khatulistiwa juga identik dengan Indonesia oleh karena letaknya yang berada pada garis keliling bumi dengan pembagian dua wilayah belahan bumi yang sama alias garis nol derajat bumi.

Letak ini menetapkan Indonesia berada di antara dua samudra, yakni pasifik dan hindia.

Michael N. Pearson menulis buku terkenal yang berjudul The Indian Ocean yang menyebut kedua samudra ini dipercaya sebagai samudra yang menjadi perputaran baru ekonomi dunia abad 21.

Abad 21 juga dipercaya sebagai titik sentral yang berpengaruh pada apa yang akan terjadi kedepan yang terjadi di dua samudra ini.

Faktanya pun demikian, jalur perdagangan penting dunia pasti menghubungkan kedua kedua samudra ini.

Misalnya, Selat Malaka yang menghubungkan lebih dari setengah jalur perdagangan dunia sehingga menyebabkan Singapura menjadi negara Asia Tenggara yang kaya raya.

Dalam bidang energi, 60% persebaran energi untuk negara Asia Timur seperti Jepang, China, dan Korea juga melewati jalur ini.

Tidak heran jika China menjadi kekuatan dunia baru oleh akibat keuntungan kedua samudra ini. China menjadi penanda adanya pergeseran kekuatan ekonomi dunia dari barat ke timur dunia.

China juga menandai kelahiran era Great Convergent dimana jarak (kedekatan) tidak menentukan kekuatan suatu negara seperti Eropa dulu yang bisa maju karena kedekatan antar sesama negara di kawasan tersebut.

Selain itu, hal ini juga menandai adanya pergeseran sistem ekonomi yang berfokus kepada ukuran (size) suatu negara.

Dulu ukuran suatu negara tidak penting karena adanya teknologi dan revolusi industri dengan menghilangkan fungsi tanah, namun saat ini dunia memprediksi bahwa ukuran suatu negara amat penting untuk modal berkuasa.

Hal ini juga diakibatkan oleh pemerataan teknologi di segala bidang di seluruh dunia.

Bahkan, China sekarang sudah berkuasa dalam berbagai teknologi sehingga berpengaruh ke seluruh dunia. Kedepannya, selain China India juga banyak di prediksi mampu berkembang pesat dan menjadi salah satu kekuatan dunia baru.

Oleh karena itu, kutukan geografis ini memberikan gambaran bahwa pergeseran geo-politik global memberi pengaruh besar bagi dunia dan Indonesia harusnya bisa berperan banyak di dalamnya.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Negara dengan wilayah luas dengan populasi yang banyak pula. Negara dengan keunggulan pada sumber daya alam, energi, dan kekayaan laut yang berlimpah. Akankan Indonesia bisa menjadi kekuatan baru di dunia?

Tentulah hal ini harus dijawab bersama oleh kita sebagai bangsa Indonesia. Modal apa dan sejauh mana upaya kita dalam menghilangkan kutukan-kutukan kolonial akan sangat menentukan.

Akhirnya, jika hal ini terus terjadi maka Indonesia akan tetap begini-begini saja, hanya menjadi kekuatan dunia yang biasa memasok bahan mentah.

Kecuali jika kondisi ini bisa dilepaskan secara perlahan, menghilangkan elitisasi politik dan melepaskan sistem ekonomi ekstraktif yang dibawa para penjajah ke negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun