Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Tahu Bulat Digoreng Dadakan

12 April 2016   14:32 Diperbarui: 4 April 2017   17:55 16718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tukang tahu bulat keliling (Sumber foto: tribunnews.com)"][/caption]Tahu bulat/digoreng dadakan/ di mobil/ lima ratusan/ anget anget/ hallooouw

Suara dari speaker atau corong toa itu pasti tak asing bahkan sedang hits akhir-akhir ini. Sumber suara berasal dari mobil bak terbuka yang menjajakan tahu bulat digoreng dadakan harganya lima ratus rupiah/biji. Alhasil, konsumen bisa menikmati tahu bulat yang hangat gurih-gurih enyoy karena fresh from the wajan.

Biasanya di dalam mobil tahu bulat yang blusukan di komplek perumahan atau perkampungan berisi dua atau tiga orang laki-laki. Di ruang kemudi ada sopir yang  merangkap jadi tukang halo-halo. Kadang ada juru warta sendiri di samping pak sopir yang sedang bekerja mengendarai mobil supaya pelan jalannya (Lha kalau ngebut kasihan para konsumen harus lari-lari mengejarnya).

Di bak belakang, ada satu atau dua orang lelaki remaja atau dewasa muda yang siap melayani pembeli. Satu orang sibuk menggoreng dan satu orang lagi menjadi kasir. Kadang tukang goreng merangkap menjadi kasir. Di bawah atap terpal, pramusaji tahu bulat berpeluh keringat. Maklum ia duduk dekat wajan besar berisi minyak goreng panas. Jadi kalau ada tetesan keringat masuk ke wajan itu bisa menambah gurih rasa tahu bulat (udah, nggak usah dipikirin).

Jajanan tahu bulat sebenarnya sudah lama kita jumpai di gerobak pinggir-pinggir jalan. Namun keberadaan mobil tahu bulat keliling membuat jajanan ini jadi booming dan fenomenal terutama di wilayah Jawa Barat. Backsound yang seakan menjadi prosedur tetap (protap) menjadi ciri khas unik pada bisnis tahu bulat keliling ini. Pencipta teks backsound tersebut sepertinya layak mendapat royalti.

Teks halo-halo itu pertama kali saya dengan di kampung mertua di Banjar, Ciamis, sekitar dua tahun lalu. Tak dinyana, halo-halo itu sekarang marak terdengar di jalanan dekat rumah saya di wilayah Depok, Jawa Barat. E lhadalah, cepat sekali ekspansinya. Sebentar lagi mungkin akan ada FTV di televisi nasional berjudul: Hallooouw! Pacarku Tukang Tahu Bulat Digoreng Dadakan (lho yang digoreng tahunya apa tukangnya?)

Sebenarnya teks itu sangat sederhana, tak ada kata-kata nyeleneh. Mungkin karena diucap berulang-ulang jadi lekat dalam ingatan. Konon begitu teori marketing sebuah produk. Ketika pengusaha kuliner memeras otak mencari tagline yang menggelitik, pencipta hymne tahu bulat memilih kembali ke selera asal: kesederhanaan teks.

Ketika pebisnis kuliner memakai merek aneh-aneh, keinggris-inggrisan hingga nama-nama berbau mistis/hantu-hatuan, tahu bulat tampil apa adanya dan percaya diri sebagai tahu bulat saja. Mobil yang ngider blusukan kampung pun tampil apa adanya. Hanya tulisan sekedarnya di papan triplek, tanpa dandanan desain visual penuh warna yang memanjakan mata, ala gerobak kuliner waralaba.

Kekuatan teks pada backsound tahu bulat keliling begitu kuat melekat dalam ingatan. Tak heran jika di media sosial banyak beredar meme seputar tahu bulat digoreng dadakan. Teks itu juga mengulik kreativitas lain hingga lahir lagu bertema serupa di Youtube. Mulai dari lagu versi paduan, reggae hingga lagu Sunda, "Tahu bulat digoreng dadakan, lima ratusan, dina mobil. Maknyuss wenak gurih-gurih enyoy."

Saya kira, perumus teks halo-halo tahu bulat keliling termasuk orang yang genius. Padahal jika dikaji secara mendalam (nggaya banget ya), kalimat sederhana itu sebenarnya mengandung kedalaman makna. Entah siapa dia dan di mana tinggalnya, penulis teks itu saya kira sangat paham akan kondisi sosial politik Indonesia. Benarkah?

Belajar Hidup dari Tahu Bulat

Demi merayu mata konsumen, tahu yang biasanya kotak atau segitiga pun membulatkan tekad. Mungkin begitu filosofi awal dari tahu bulat (ngarang ya). Namun, tantangan tahu bulat adalah bagaimana mempertahankan kebulatan bentuknya. Bagaimana biar yang bulat tetap bulat. Begitu juga tantangan umat manusia ketika harus mempertahankan kebulatan tekadnya.

Ketika tahu bulat baru diangkat dari minyak mendidih di wajan, kebulatannya akan terlihat sempurna. Di mata pembeli, tahu bulat yang panas kinyis-kinyis, klomoh (berlumuran) minyak goreng persis seperti bidadari atau gadis desa yang selesai mandi di sendang atau telaga.

Namun setelah tahu bulat di angkat dari penggorengan, ada saja tahu yang peyot atau kempot. Mungkin karena masuk angin. Begitu juga dengan kehidupan ini. Banyak orang atau pemangku kepentingan yang semangat saat menggodok program atau perencanaan, namun melempem saat pelaksanaan. Koalisi yang digadang-gadang utuh bulat pun bisa langsung hilang bentuk bahkan bubar di tengah jalan. Begitu juga dengan semangat kita yang awalnya bulat namun bisa kempes karena banyak rintangan.

Konon, ada beberapa resep agar tahu bulat tetap bulat. Di saat menggoreng, apinya jangan terlalu besar karena bisa gosong. Suhu minyak goreng juga harus dijaga agar kondusif. Jika terlalu panas maka tahu bulat bisa meletus. Bahaya kan. Lama waktu penggorengan juga harus diperhitungkan agar tahu bulat matang sempurna. Jika tidak, tahu bulat akan kempes kembali setelah diangkat dari penggorengan.

Di era keriuhan medsos dan masih adanya kubu-kubuan (padahal pilpres dah kelar yak), segala hal bisa seperti tahu bulat keliling: digoreng dadakan. Apapun yang dilakukan presiden dan juga mantan presiden hingga jajaran kabinetnya atau artis/tokoh masyarakat bisa menjadi bahan untuk digoreng kemudian di-share agar menjadi isu hangat. Entah oleh golongan pemuja-pemuji maupun pembenca-pembenci. Kemudian terjadilah balas pantun.

Entah dari dapur mana energi kreatif yang menyala-nyala bagai api kompor yang memanaskan pantat wajan. Begitu ada sebuah peristiwa langsung, tangan-tangan yang menggoreng dadakan. Dalam sekejam eh sekejap muncul cuitan, meme atau link-link berita dari beragam situs.

Walaupun panas dan resikonya mlocot (melepuh) lidah, tahu bulat memang enak dinikmati sesaat setelah diangkat dari wajan. Maka segala isu yang digoreng dadakan harus lekas di-share, dengan tambahan kalimat sakti: Sebarkan! Benar salah itu urusan nanti. Kalaupun berita itu salah, kan saya cuma nge-share.

Dan kita pun menikmati keriuhan di media sosial sambil mengunyah tahu bulat digoreng dadakan di mobil anget-anget. Hallooouw!

Depok, 12 April 2016

---------------------------------

*SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat.
Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Press, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun