Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012), dan Rempah Rindu Soto Ibu (Taresia, 2024). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Dongeng Kereta Impian

6 Februari 2015   16:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:43 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu kala di Negeri Imajinesia, terdapat kereta wisata yang bisa terbang mengelilingi penjuru negeri. Kereta impian itu dibuat oleh seorang Pandai Besi yang terkenal sangat sakti, jujur dan baik hati. Pada perjalanan wisata pertamanya, Si Pandai Besi mengundang sejumlah anak untuk ikut serta.

“Anak-anak, kalian boleh naik kereta impian ini. Tapi ingat satu hal, jangan pernah berbohong dan berbuat jahat. Jika perbuatan tercela itu dilakukan, kereta impian akan kehilangan kekuatannya. Tidak lagi bisa terbang, tapi melata seperti ular sanca,” begitu pesan Si Pandai Besi.

Pada minggu pagi yang cerah, ratusan anak berjajar rapi mengantri di depan loket Stasiun Gembira. Setelah mendapatkan tiket, mereka bergegas menuju pintu masuk stasiun. Seorang penjaga dengan sopan meneliti tiket dan melubanginya. Selanjutnya, satu persatu dipersilakan masuk ke peron.

Di peron yang bersih dan rapi, anak-anak berdecak kagum melihat bangunan stasiun yang kokoh dan megah berhias cat warna-warni. ”Wah, stasiunnya indah sekali.”

Kekaguman mereka semakin bertambah ketika melihat rangkaian kereta impian yang sudah siap di sisi peron. Rangkaian empat kereta itu melayang di udara. Anak-anak melonggokkan kepalanya melihat kolong kereta. Tampak roda-roda dan mesin-mesin yang terbuat besi.

Pintu-pintu kereta perlahan terbuka ke bawah hingga ujungnya menyentuh lantai, membentuk anak tangga. Mulut anak-anak melongo melihat pemandangan itu. ”Wow!”

Seketika itu juga dari pintu-pintu kereta keluar benda serupa corong dengan baling-baling berputar dan mendesing. Corong itu terbang berputar-putar sambil mengeluarkan suara ting-tong ting-tong meminta perhatian. Kepala anak-anak ikut berputar mengikuti arah terbang benda itu.

“Perhatian… perhatian… Kereta Impian akan segera diberangkatkan. Adik-adik harap masuk ke dalam kereta dengan tertib dan duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiket.”

Begitu semua anak berada di dalam kereta, corong-corong terbang masuk ke dalam gerbong dan berputar-putar menggemakan sebuah suara. “Adik-adik harap segera duduk dan mengenakan sabuk pengaman.”

Suara mesin kereta menderu. Melalui kaca jendela anak-anak bisa melihat bagaimana sayap di kanan-kiri badan kereta yang sebelumnya terlipat perlahan mengembang. Serupa sirip ikan terbang.

Di peron stasiun, seorang petugas mengangkat lingkaran berwarna hijau. Peluit di mulutnya mengeluarkan suara melengking. Berarti, kereta sudah siap untuk berangkat.

Perlahan, kereta Impian pun melesat menuju angkasa. Sesampainya di atas, Kereta Impian memperlambat lajunya dan corong-corong terbang kembali hilir mudik.

“Selamat datang di Kereta Impian. Kenalkan saya Kak Pandu, yang akan menemani adik-adik berkeliling negeri. Semoga Adik-adik bisa menikmati wisata ini. Bersiaplah melihat-lihat pemandangan di bawah kita.”

Secara perlahan, lantai kereta bergeser dan menyisakan kaca bening hingga anak-anak bisa melihat semua pemandangan yang terhampar di bumi. Beberapa anak tidur tengkurap di lantai kereta, seakan ingin lebih dekat melihat keindahan alam.

Pepohonan terlihat seperti permadani yang bersulaman dengan hamparan sawah diselingi gunung, sungai, lembah dan rumah-rumah. Anak-anak tak henti-hentinya mengagumi anugerah Tuhan yang sangat indah dan tak ternilai itu.

Begitulah Kereta Impian terus terbang. Sampai di puncak pegunungan tiba-tiba laju kereta tersendat-sendat, deru baling-baling lambat laun terdengar melemah. Seketika kereta terguncang. Anak-anak berteriak ketakutan. Corong-corong terbang berputar-putar menenangkan suasana.

“Harap tenang adik-adik. Ayo kembali ke tempat duduk dan kenakan sabuk pengaman.”

Untung saja, Pak Masinis berhasil mendaratkan kereta di tanah lapang di atas bukit. “Pasti ada yang berbuat jahat,” bisik Pak Masinis kepada Kak Pandu di ruang pemantau yang penuh tombol-tombol. Di beberapa layar monitor terlihat suasana dalam kereta nomor satu hingga nomor empat.

“Ayo kita cari tahu...,” kata Kak Pandu sambil meraih mikrofon. Rupanya dari ruang inilah asal suara yang keluar dari corong-corong terbang itu.

“Adik-adik seperti pesan dari Pandai Besi pembuat Kereta Impian ini, jangan kotori perjalanan dengan perbuatan jahat. Ayo yang merasa berbuat jahat, lebih baik mengaku saja... Kakak hitung sampai tiga ya.... Kalau tidak mengaku nanti perjalanan ini tidak dilanjutkan”

Kak Pandu melihat layar monitor. Di dalam kereta, anak-anak terlihat berisik dan saling berpandangan. Tapi sampai hitungan ke tiga, belum juga ada yang mau mengaku. Tiba-tiba ada seorang anak yang menunjukkan jarinya. Anak perempuan berbaju merah itu mengusulkan agar semua penumpang keluar satu persatu.

”Jika anak jahat itu keluar, pasti kereta bisa terbang kembali.”

“Wah ide yang bagus,” kata Kak Pandu

Maka satu pintu kereta terbuka dan anak-anak satu persatu diminta keluar. Setelah semuanya keluar, ternyata kereta tidak juga bisa terbang. Kak Pandu keluar dari ruang pemantauan dan memeriksa setiap kereta. Di kereta nomer empat, Kak Pandu menemukan seorang anak meringkuk di kolong tempat duduk. “Kenapa kamu bersembunyi. Ayo keluar...“

Dengan perasaan takut, anak itu keluar. Ketika kedua kaki anak itu menyentuh rerumputan, kereta impian perlahan kembali mengambang di udara. Suara tepuk tangan menggema di udara.

“Hore! Keretanya bisa terbang lagi.”

Tak lama semua pandangan tertuju pada sesosok tubuh. Anak itu dengan malu-malu merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. ”Saya mencuri uang dari tas teman-teman.”

”Tak tahukah kalau perbuatanmu merugikan semuanya? Kamu saya ampuni tapi harus minta maaf dan mengembalikan uang itu.” kata Kak Pandu.

”Teman-teman saya minta maaf. Saya sangat menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” Anak itu sambil menangis tersedu, mengembalikan semua uang yang dicurinya. ”Sekarang, apakah saya boleh ikut naik kereta ini lagi?”

”Meminta maaf adalah perbuatan baik. Kakak yakin adik-adik sudah memaafkannya. Bukan begitu adik-adik?” Kata Kak Pandu.  Anak-anak pun mengangguk serentak.

”Baik sekarang kita lanjutkan perjalanan,” Kata Kak Pandu.

Dengan bersuka ria, anak-anak kembali masuk ke dalam kereta. Mesin kereta menderu. Kereta Impian melesat ke angkasa. Corong-corong terbang berputar-berputar. ”Ayo adik-adik, mari kita menyanyi...”

Ini kereta impian kita. Terbang menjejajah dunia. Jangan kotori hati kita. Nanti kereta akan melata. Seperti ular sanca... Seperti ular sanca....

--- oOo ---

Suara kereta listrik perjalanan terakhir terdengar berderak menyibak malam. Dinding triplek rumah kontrakan itu ikut bergetar. Di atas kasur lusuh yang digelar di atas lantai semen, seorang ayah terlihat sedang membelai rambut anaknya.

“Kenapa sekarang kereta melata, Ayah?” tanya sang anak.

“Entahlah Nak. Mungkin karena banyak yang melakukan kejahatan dan kebohongan di atas kereta.”

“Seperti jambret yang kemarin mengambil kalung seorang ibu? Orang-orang yang tidak membeli karcis atau seperti Andi yang suka melempari kereta.”

“Kamu jangan suka ikut-ikutan melempari kereta. Kasihan, kereta kan tidak salah apa-apa.”

“Iya, Ayah.”

Mata sang ayah terlihat menerawang menatap langit-langit kamar yang dipenuhi kardus-kardus bekas.

“Jadi kapan kereta bisa terbang lagi, Ayah?”

“Kalau semua orang sudah bisa menjaga kejujuran dan kebersihan hatinya.”

“Jadi kapan kita bisa naik kereta yang bisa terbang, Ayah?” tanya sang anak penasaran.

“Sudah malam Nak, sebaiknya engkau cepat tidur ya. Besok pagi-pagi kan kita harus ke stasiun lagi mencari barang rongsokan.”

Sang Ayah mencium kening anaknya. Tak lama kemudian, sang anak terlelap bersama satu pertanyaan yang belum bisa dijawab ayahnya.

Di luar, langit berwana jelaga, tanpa setitikpun cahaya bintang.

--- oOo ---

GreenTower, 24 Juli 2006

Setiyo Bardono, TRAINer kelahiran Purworejo 15 Oktober. Penulis buku antologi puisi Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012) dan novel Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun