Mohon tunggu...
setan berpikir
setan berpikir Mohon Tunggu... -

Pernah selamat dari tenggelam di Pantai Kuta, Bali karena sebuah buku bekas seharga lima ribu rupiah yang dibeli di Pasar Blauran, Surabaya...dan buku itu bukan tentang berenang. Itu sebabnya aku yakin hidup ini pada dasarnya adalah menyambungkan titik-titik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Bayi Dilahirkan Sebagai Ateis?

6 Februari 2016   21:46 Diperbarui: 6 Februari 2016   22:09 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deborah Kelemen dari Boston University telah menunjukkan bahwa sejak masa kanak-kanak kita sangat tertarik pada penjelasan berbasis-tujuan (purpose-based) tentang benda-benda alamiah—mulai dari monyet dan manusia hingga pohon dan gunung es. Anak berusia 4-5 tahun berpikir bahwa lebih masuk akal (sensible) bahwa seekor macan “dibuat untuk makan dan berjalan dan terlihat di kebun binatang” daripada “meskipun macan dapat makan dan berjalan dan terlihat di kebun binatang, tapi bukan untuk itu dia dibuat” (Journal of Cognition and Development, vol 6, hal 3).

Sama dengan itu, ketika berhadapan dengan spekulasi tentang asal dari benda-benda alam, anak-anak sangat mudah menerima penjelasan yang menunjuk pada adanya desain dan tujuan. Nampak lebih masuk akal bagi mereka bahwa binatang dan tanaman ada untuk sebuah alasan daripada bahwa mereka ada tanpa alasan sama sekali. Margaret Evans dari University of Michigan di Ann Arbor menemukan bahwa anak-anak di bawah 10 tahun cenderung memilih penjelasan kreasionis tentang benda-benda hidup dibanding penjelasan evolusioner—bahkan meskipun orang tua dan guru-guru sang anak mendukung evolusi (Cognitive Psychology, vol 42, hal 217). Kelemen juga sudah melakukan eksperimen dengan orang dewasa yang menyiratkan bahwa kita tidak begitu saja meninggalkan ketertarikan pada penjelasan kreasionis ini, karena meninggalkannya harus dipaksa melalui pendidikan formal (Cognition, vol III, hal 138).

Tampaknya kita semua memiliki intuisi bahwa keteraturan dan desain yang kita lihat di dunia sekitar membutuhkan seorang agen untuk membuatnya. Sebuah eksperimen oleh George Newman dari Yale University mendukung pendapat ini. Bayi-bayi berusia 12-13 bulan melihat sebuah bola menghantam susunan balok yang rapi (dikaburkan dengan sebuah penghalang selama hantamannya berlangsung), dan juga melihat sebaliknya ketika bola menghantam sebuah tumpukan balok tak teratur yang kemudian menghasilkan susunan balok yang rapi. Orang dewasa akan langsung melihat sesuatu yang ganjil dalam skenario kedua: bola tidak dapat menyusun balok.

Bayi-bayi juga terkejut, tampak bahwa mereka melihat lebih lama pada animasi kedua. Hal ini menyiratkan bahwa bayi menemukan bahwa peristiwa sebuah bola menciptakan keteraturan jauh lebih mengejutkan daripada peristiwa sebuah bola menciptakan kekacauan. Yang lebih menarik lagi adalah eksperimen kedua. Di sini, sebuah obyek berbentuk bola yang memiliki sebuah wajah bergerak dengan tujuan jelas di belakang penghalang dan kemudian menyusun atau menghancurkan balok. Dalam kedua kasus ini, bayi-bayi tidak menunjukkan keterkejutan yang lebih (Proceedings of the National Academy of Sciences, vol 107, hal 17140)     

Penjelasan yang paling sederhana adalah bahwa bayi memiliki intusi yang sama dengan orang dewasa: manusia, binatang, tuhan-tuhan, atau agen lain dapat menciptakan keteraturan atau kekacauan, tetapi non-agen, seperti badai dan bola yang menggelinding hanya menciptakan kekacauan. Tentu saja tuhan-tuhan tidak hanya menciptakan atau mengatur dunia alamiah, mereka secara tipikal memiliki kekuatan super: pengetahuan super, persepsi super dan keabadian. Benarkah bahwa properti tuhan seperti ini—karena mereka memang berbeda dan melebihi kemampuan manusia—sulit diadopsi oleh anak-anak?

Justru sebaliknya yang terjadi. Dalam serangkaian studi oleh peneliti lain, anak-anak tampaknya menganggap bahwa semua agen memiliki pengetahuan super, persepsi super, dan keabadian hingga mereka mempelajari yang sebaliknya.   


Sebagai contoh, dalam sebuah riset di Mexico yang dipimpin oleh Nicola Knight dari University of Oxford.  Kepada anak-anak suku Maya dari usia 4-7 tahun ditunjukkan gourd (sejenis labu) yang biasanya menyimpan tortilla (roti tipis khas Meksiko). Dalam keadaan tertutup, peneliti bertanya pada anak-anak tersebut apa yang ada di dalam gourd. Setelah mereka menjawab “tortilla”, kepada mereka kemudian ditunjukkan (dan ini mengejutkan mereka) bahwa sebenarnya isinya adalah celana tinju. Peneliti kemudian menutup lagi gourd tersebut dan bertanya apakah berbagai macam agen akan mengetahui apa yang ada di dalam.

Agen-agen itu termasuk dewa Katolik, dikenal bernama Dyloos, Dewa Matahari Maya, hantu-hantu hutan, makhluk monster yang dipanggil Chiichi, dan manusia. Dalam budaya Maya, Dlyoos melihat dan mengetahui segala sesuatu, Dewa Matahari mengetahui apa yang terjadi di bawah matahari, hantu hutan pengetahuannya terbatas pada hutan dan Chiichi hanya untuk menakut-nakuti. Anak-anak termuda menjawab bahwa semua agen mengetahui apa yang ada di dalam gourd. Mayoritas yang berusia 7 tahun berpikir bahwa Dlyoos akan tahu bahwa isi gourd adalah celana tinju tetapi manusia akan berpikir bahwa isinya adalah tortilla. Mereka juga sensitif terhadap perbedaan tingkat pengetahuan agen-agen supernatural lainnya (Journal of Cognition and Culture, vol 8 hal 235). Hal yang sama juga ditemukan di anak-anak Albania, Israel, Inggris, dan Amerika.   

Saya bisa saja salah, tetapi interpretasi saya terhadap temuan ini adalah bahwa anak-anak kecil lebih mudah berasumsi bahwa orang lain tahu, merasakan (sense) dan mengingat segalanya dibanding memikirkan siapa yang tahu, merasakan, dan mengingat apa. Posisi default mereka adalah adanya kekuatan super hingga pengajaran atau pengalaman memberitahu mereka hal yang sebaliknya. 

Asumsi ini berhubungan dengan perkembangan apa yang disebut “theory of mind”, yang berkaitan dengan pemahaman kita tentang pikiran, persepsi, keinginan, dan perasaan orang lain. Theory of Mind penting untuk menjalankan fungsi sosial tetapi membutuhkan waktu untuk berkembang. Beberapa anak berusia 3 dan 4 tahun dengan sederhana berasumsi bahwa orang lain memiliki pengetahuan yang komplit dan akurat tentang dunia.  

Pola yang sama juga terlihat pada pemahaman anak-anak tentang tidak terhindarkannya kematian. Penelitian-penelitian oleh rekan kerja saya Emily Burdett di University of Oxford menyiratkan bahwa asumsi default mereka adalah orang lain hidup abadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun