Mohon tunggu...
Sesa Malinda
Sesa Malinda Mohon Tunggu... Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia

Saya Sesa Malinda yang kerap disapa Saelin, adalah Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia. Saya gemar menulis terutama terkait lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kayu Besi Kalimantan Keabadian yang Terancam Rakusnya Manusia

23 September 2025   20:24 Diperbarui: 23 September 2025   20:24 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesa Malinda. Dok Pribadi 

Oleh: Sesa Malinda 

Di jantung hutan tropis Kalimantan, berdiri pohon-pohon raksasa yang seakan menantang waktu dimana Eusideroxylon zwageri, atau yang lebih dikenal sebagai kayu ulin. Ia dijuluki ironwood, kayu besi, karena kekuatannya melebihi baja, mampu bertahan ribuan tahun, dan bahkan tenggelam di air. Ulin bukan sekadar kayu, ia merupakan simbol peradaban, warisan sakral Suku Dayak dan Banjar, sekaligus saksi sejarah arsitektur Nusantara. Namun, ironisnya, justru ketika dunia mengagumi ketangguhannya, manusia mempercepat kehancurannya.

Ulin tumbuh sangat lambat, hanya sekitar 0,058 cm per tahun. Artinya, sebuah batang besar yang dijadikan tiang rumah adat atau jembatan sungai memerlukan ratusan tahun untuk matang. Tetapi kerakusan manusia memang tak pernah sabar. Penebangan liar, eksploitasi ilegal, dan lemahnya penegakan hukum telah merampas ribuan hektare habitatnya. Hasilnya, populasi ulin kini merosot drastis, tercatat vulnerable dalam daftar IUCN.

Ulin sebagai Warisan Kultural dan Ekologis

Ulin bukan sekadar kayu keras yang mampu menantang usia, ia adalah denyut kehidupan budaya dan identitas masyarakat adat di Kalimantan. Di komunitas Dayak dan Banjar, ulin memiliki posisi vital sebagai simbol sakral, kekuatan leluhur, dan pusat ritual kehidupan sehari-hari. Rumah adat, lanting, jembatan sungai, dan bahkan kapal pinisi tidak hanya dibangun dari ulin, mereka dibangun bersama sejarah, ini bukan konstruksi material saja, melainkan arsitektur makna. Nilai-nilai lokal seperti rasa hormat terhadap leluhur, kesinambungan hubungan manusia dengan alam, dan penjagaan warisan non-tangible semua terjalin dalam penggunaan ulin. Misalnya, kearifan Dayak yang menganggap pohon ulin tua sebagai bagian dari roh leluhur dan sebagai penjaga batas desa, menunjukkan bahwa pohon itu bukan entitas kayu, melainkan simbol kehidupan kolektif.

Secara ekologis pula, ulin menyimpan kekayaan luar biasa. Hutan-hutan seperti Mungku Baru di Kalimantan Tengah adalah habitat bagi populasi ulin yang masih relatif tinggi, dan bersamaan itu mendukung keanekaragaman hayati yang besar seperti primata, burung, reptil, dll (Borneo Nature Foundation, 2023). Daerah konservasi seperti Rungan-Kahayan juga dikenal memiliki pohon ulin yang tua, yang secara tradisional dilindungi oleh masyarakat Dayak. Hal ini menunjukkan bahwa upaya konservasi oleh masyarakat lokal tetap menjadi fondasi penting bagi kelangsungan spesies ini. Studi tentang distribusi ulin menunjukkan bahwa dari 203 pohon ulin yang diamati, sekitar 83,2% tumbuh di lereng bawah dan tengah bukit, sedangkan hanya sekitar 16,8% ditemukan di lereng atas. Hal ini menunjukkan bahwa habitat spesifik ulin sangat tergantung pada posisi lereng. Perubahan lahan dan degradasi habitat di bagian-bawah lereng ini dapat sangat merusak populasi secara keseluruhan (INNSpub, 2015).

Namun, warisan budaya dan ekologi ini sedang menghadapi tekanan berat. Budaya yang menghormati ulin kini harus bersaing dengan nilai ekonomi pendek, di mana kayu ulin sering dieksploitasi tanpa memperhatikan regenerasi atau izin yang sah. Ketika rumah adat roboh, ketika dermaga atau jembatan yang menggunakan ulin dipahat untuk keuntungan, maka bukan hanya pohon yang hilang, tetapi juga cerita leluhur, identitas komunitas, jalinan sosial, dan pengetahuan lokal tentang kelola hutan lestari. Telah ada beberapa langkah regulasi dan pembatasan ekspor, tetapi tanpa penegakan hukum yang konsisten dan pengakuan penuh terhadap peran masyarakat adat dalam konservasi, ancaman terhadap ulin, dan warisan yang dibawanya akan terus membesar.

Ekspoitasi dan Regenerasi yang Lambat

Dalam menghadapi kenyataan bahwa Eusideroxylon zwageri ("kayubesi", ulin) tumbuh amat lambat dan mengalami regenerasi yang sangat rendah, kita harus kritis melihat bagaimana sistem, regulasi, dan praktik di lapangan telah gagal melindungi spesies yang secara ekologis dan budaya sangat penting ini.

Penelitian Growth of Eusideroxylon zwageri seedlings and silvicultural changes di hutan Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, menemukan bahwa pertumbuhan alami ulin sangat lambat dan tersebar secara sporadis. Bibit muncul hampir tiap tahun di hutan tutupan penuh, namun mereka hanya bertahan sebagai pohon kecil.Untuk mencapai diameter batang 10 cm (DBH), dibutuhkan 78 tahun dalam kondisi alami. Dengan intervensi silvikultur melalui release cutting, membuka kanopi dan memangkas vegetasi pengganggu setelah bibit berumur 5 tahun dan tinggi 92 36 cm, waktu tersebut dapat dipangkas menjadi hanya 26 tahun (FireResMgt Exchange, 2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun