Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia
Di negeri yang kerap memajang senyum anak-anak sebagai poster harapan bangsa, kita lupa menanyakan satu hal paling mendasar, yaitu apakah senyum tersebut lahir dari bahagia, atau justru menutupi luka yang tak terucap? Kalimat seperti "setiap anak berhak merasa aman, dicintai, dan didengar" sudah seperti slogan tanpa makna, diulang-ulang dalam pidato pejabat, iklan layanan masyarakat, hingga kurikulum pendidikan. Namun, data tidak pernah berdusta. SIMFONI PPA mencatat 19.628 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2024, dengan 11.771 kasus kekerasan seksual dan 1.381 penelantaran.
Masalahnya bukan sekadar kekejaman individu, tetapi kegagalan struktural. Negara, sebagaimana dikritik Louis Althusser, tidak hanya hadir melalui polisi dan pengadilan, tetapi juga melalui institusi ideologis, antara keluarga, sekolah, dan agama yang sering kali justru menjadi tempat kekerasan berakar. Pierre Bourdieu menyebut ini kekerasan simbolik, dominasi yang terlihat "normal" karena dilegitimasi oleh budaya dan kebiasaan. Maka ketika anak dipukul "demi mendidik", atau dilecehkan "demi tradisi", itu bukan insiden, itu merupakan sistem yang bekerja.
Sementara kita sibuk merayakan Hari Anak dengan balon dan panggung boneka, banyak anak justru memikul beban trauma tanpa pernah memiliki ruang untuk bersuara. Yang paling menyakitkan, mereka tidak hanya tidak dilindungi oleh negara, mereka justru dikorbankan oleh tatanan yang membanggakan diri sebagai penjaga moral. Bila satu anak saja kehilangan rasa aman, maka retaklah seluruh fondasi bangsa. Kita bukan sedang kekurangan hukum, kita kekurangan keberanian untuk melihat bahwa luka anak-anak ini bukan penyimpangan, mereka adalah cermin rusaknya sistem yang kita rawat.
Negara Melindungi Formalitas, Bukan Anak
Ratifikasi Konvensi Hak Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak, hingga layanan pengaduan digital seperti SIMFONI PPA menjadi bukti administratif bahwa perlindungan itu "ada." Namun, realitas di lapangan justru menggugat klaim tersebut. Dengan 19.628 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2024, 11.771 di antaranya kekerasan seksual, pertanyaannya bukan lagi apakah perlindungan tersedia, tetapi mengapa kekerasan tetap hidup, bahkan merajalela, di ruang yang seharusnya paling aman?
Ini bukan sekadar soal hukum yang tidak ditegakkan, tetapi tentang sistem yang lebih peduli pada performa dibanding perlindungan nyata. Ketika aparat penegak hukum gagap menangani korban anak, ketika proses hukum mandek karena birokrasi, stigma, dan pelaku adalah "orang terpandang," maka perlindungan berubah menjadi ilusi. Negara terlihat responsif ketika kasus viral, kamera menyala, statemen dikeluarkan, program diluncurkan, namun perlindungan tidak dapat bergantung pada trending topic. Ketika kamera mati, anak-anak kembali sunyi dalam trauma yang tidak selesai.
Kekerasan terhadap anak bukanlah persoalan yang dapat dihadapi dengan leaflet dan seminar semata. Ini merupakan cermin dari paradigma negara yang gagal berpihak secara substansial. Program perlindungan yang hanya menjangkau permukaan tanpa menyentuh akar relasi kuasa, budaya patriarkis, dan impunitas pelaku justru menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri, kekerasan simbolik yang dilembagakan. Negara tidak lagi mampu berdiri sebagai administrator kebijakan. Ia harus menjadi pelindung sejati, seperti mendengar tanpa syarat, bertindak tanpa menunggu sorotan, dan hadir bukan hanya dengan hukum, tetapi dengan keberanian moral. Sebab bagi anak-anak, perlindungan bukan soal prosedur. Ini merupakan persoalan hidup dan luka yang terlalu mahal untuk terus diabaikan.
Kekerasan Seksual pada Anak Merupakan Kegagalan Struktural
Kekerasan seksual terhadap anak bukan sekadar kejahatan individual, ini adalah kegagalan kolektif yang dilembagakan. Ketika 11.771 anak menjadi korban kekerasan seksual sepanjang 2024, itu bukan hanya alarm kemanusiaan, tetapi bukti telanjang bahwa sistem perlindungan kita lumpuh di titik paling genting. Anak-anak tidak hanya dilukai secara fisik, tetapi juga secara psikologis, dimana mereka disalahkan, dibungkam, dan ditinggalkan oleh institusi yang seharusnya hadir.