Mohon tunggu...
Riecki Serpihan Kelana Pianaung
Riecki Serpihan Kelana Pianaung Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

"Hidup hanya berkelana dari sebuah serpihan untuk "menuju" mati" ____________________________________ @rskp http://www.jendelasastra.com/user/riecki-serpihan-kelana-pianaung https://domainxx.blogspot.co.id/ https://www.youtube.com/watch?v=M11_fpnT5_g&list=PL1k1ft1F9CCobi2FMkdqQ6H4PFFWPT--o&index=2 https://www.evernote.com/Home.action#n=c9ce48a1-38c2-4b2b-b731-c340d3352d42&ses=4&sh=2&sds=5&

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan dari Kaisar

12 Juni 2016   07:07 Diperbarui: 12 Juni 2016   08:31 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
black angels in heaven


Lengkung langit. Dengan geriap aku menatap angkasa. Biru laksana lautan nan teduh. Tanpa bias awan. Tanpa kata hanya anggukan kepala tertunduk telut. Pesan itu telah ku pegang dengan seerat – eratnya. Pesan itu harus aku sampaikan. Walaupun  dengan segala mungkin akan menghujat, menderak dengan patahan cercah. Harus aku sampaikan. Pesan yang sungguh suci dan mulia. Pesan itu adalah titah. Perintah  dari yang bertahta. Dan yang bertahta itu telah wafat. Pesan itu disampaikan pada saat  detik - detik terakhir, meregang nyawa.

“Pesan akan ku sampaikan yang mulia!”jawabku sambil menerima pataka

Sungguh sebuah tugas yang teramat berat. Bukan tidak mungkin, nyawaku adalah taruhan. Tapi menepiskan segala keraguan, kaki ku melangkah setapak demi setapak. Sambil menyirah kepada sekawanan batu – batu nisan untuk segera mungkin mematrikan huruf demi huruf atas namaku. Prajurit Terakhir.

Perjalanan sangat panjang. Terlalu luas mengitari bumi ini. Mencari seseorang untuk menyerahkan sebuah pesan ini. Ada banyak gerbang – gerbang kota. Dan tembok – tembok bangsa. Namun dimana gerangan, orang tersebut.Sejauh mata memandang hanya lautan dengan pucuk – pucuk gelombang. Hamparan gurun yang luas, bukit – bukit tandus yang gersang, rimba belantara bahkan sekumpulan padang ilalang yang bernas. Kaki ini masih melangkah dan selagi melangkah.

“Mungkin di padang rumput yang hijau!” hatiku berucap

Tak ada padang rumput yang hijau lagi. Yang ada hanya bebatuan yang hancur berantakan. Rerumputan hijau itu menjadi berantakan tak berwujud. Apakah ada kekeringan! Ataukah sebuah bencana yang melanda. Tak ada mahluk hidup selain gemuruh angin. Helai –helai daun yang kuning kekeringan bertebangan.

Ketika memasuki sebuah pintu gerbang perkampungan.rakyat jelata. Para warga berlarian penuh ketakutan. Bahkan ada mata – mata yang sinis menatapku. Penuh tanda tanya. Sebaliknya di seberang jalan sana, tepatnya pada sebuah tikungan jalan. Seorang perempuan muda menjerit minta pertolongan. Ada beberapa tangan – tangan lelaki kasar menarik paksa perempuan itu. Lalu membawanya pergi. Hendak aku bertanya. Namun tatapan mata mereka yang seakan tidak menerima kehadiran orang asing di tempat mereka.

Di jalanan terkapar beberapa lelaki yang sudah di penuhi dengan aroma alkohol. Di sudut rumah mewah beberapa orang duduk – duduk sambil bermain dalam sebuah arena  perjudian. Sebab dalam tangan mereka , di kolong  meja berhamburan uang – uang yang keluar dari pundi – pundi saku mereka. Sungguh aku tak berani menyapa. Menatap wajah mereka saja bagai menatap mata trisula yang sedang mengarah ke jantungku. Kekalutan bagi sebuah negeri jika rakyat hidup dalam kungkungan kebatilan dan kemaksiatan.

Langkah kakiku memasuki sebuah kota raja. Pusat segala pemerintahan untuk menata kehidupan masyarakatnya. Mobil – mobil mewah bergentayangan di jalanan. Pejabat – pejabat korup hidup dalam kemegahan.Ketidakadilan merajalela. Seperti aroma bangkai menyengat hidungku. Pigura kaum ketidakberdayaan seperti lambang atau maskot yang telah tercecap.

Kembali kakiku  merayapi  jalanan sepi. Hanya terdengar orang – orang orang seperti berbisik dari tempat rumah – rumah ibadah. Melantunkan ayat – ayat suci. Merapalkan mantra – mantra dan doa penyejuk jiwa. Untuk hidup dalam tatanan moral. Saling hormat – menghormati antara sesama. Ketika sepulang dari tempat pernaungan rumah maha suci. Mereka telah beramuk masa saling cengkram mencengkram. Tak ada kata amin lagi selain amuk merajai hati mereka.Sungguh sebuah pemandangan yang saling bertolak belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun