Mohon tunggu...
seroja white
seroja white Mohon Tunggu... -

berpikir dengan hati, menulis dengan jiwa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kinar, Aku Tak Mau Miskin...

5 Juni 2011   06:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:51 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

oleh Seroja White

Ujung bulan meruncing, cahayanya pepat mengalur bilur. Satu persatu penguasa malam mulai keluar dari liang-liang, mata mengincar, mulut mendesis, insting meruah liar. Malam jatuh tepat di tengah bulan, di wajah purnama.

Kurapatkan ujung krah bajuku, malam mengigilkan tiap jengkal kulit yang terpapar. Angin pantai mengkibar-kibarkan rambutku. Kulirik jam tangan usang di pergelangan tanganku. Kulit tuanya telah terkelupas di sana-sini, besi cangklongannya juga telah berkarat, jarum panjangnya telah patah seminggu yang lalu, syukurnya si jarum pendek masih belum bosan berdetak. Pukul tiga dini hari, dari kejauhan kulihat sekelebat cahaya berkerlap- kerlip, halus sekali. Seperti nyala lilin tertiup angin. Lambat laun mulai tampak jelas,

"Itu Ayah..!" seruku dalam hati.

Perahu kayu kecil itu mulai merapat ke pantai, tanpa sungkan dua  kaki kecilku berkejaran di antara ombak. Aku datang menyambut ayah. Melihat keranjang bambu yang disandang ayah mataku semakin berbinar. Aku berharap isinya penuh.Tapi harapku pupus seketika, ketika kulihat lengkung cembung terpaut di sudut bibir ayah. Tampaknya hasil tangkapan malam ini tidak seperti yang kami harapkan, beberapa ekor ikan kecil dan kepiting. Ayah merapikan jala, kubantu memanggul keranjang dan kayuh sampan, perlahan kami beranjak dari bibir pantai dengan gontai.

***

Bagas, si bungsu sakit. Sudah dua hari ini badannya panas tinggi, tubuhnya mengigil menahan sakit. Tubuh kecilnya yang ringkih melemah. Aku sangat cemas.Ayah sejak gema Adzan Isya sejam yang lalu belum juga kembali, entah di mana ayah berada sekarang. Kukompres berkali-kali, berharap demam adikku ini segera mereda, tapi nihil. Segera aku berlari ke warung, tapi yang ada cuma obat flu itu pun untuk orang dewasa. Kuputuskan memberinya obat itu setengah dosis dari yang disarankan, dengan harapan kandungan paracetamol-nya dapat menurunkan panas tubuh Bagas.

Besok pagi sepertinya aku harus segera membawa Bagas ke puskesmas terdekat. Tapi dari mana aku mendapat uang untuk membawa Bagas? Otakku berpikir dengan keras. Oh, aku baru ingat! Akukan punya celengan. Kukumpulkan dari upahku sebagai buruh cuci dan penjemur ikan asin di tempatnya juragan Wira. Aku sengaja menabung untuk biaya sekolahku, setahun yang lalu aku putus sekolah, tahun kedua sekolah menengahku harus kutinggalkan karena tidak ada biaya. Dan kini sepertinya aku harus mengambil sebagian uang dari celenganku itu.

"Orang miskin ndak boleh sakit! Banyak-banyak minum air laut  Nar, biar badan selalu sehat.”

Aku kembali teringat ucapan Atina, sahabatku. Hari itu wajahnya tampak pucat, tubuh ringkihnya tak mampu berlama-lama di bawah terik matahari, tapi kami harus tetap menjalaninya,  menjelang tengah hari aku dan Atina biasanya mencari upahan dari menjemur ikan asin. Hasilnya lumayanlah untuk jajan dan sebagian kusisihkan buat celengan. Sama sepertiku, Atina juga berasal dari keluarga miskin. Strata sosial kebanyakan penduduk desa kami.Tapi usianya dua tahun di atasku, berdua kami saling mengisi selayaknya saudara kandung. Kusarankan kepadanya untuk beristirahat sebentar, tapi ia menolak. Siang itu kami selesaikan pekerjaan kami dengan membayangkan beberapa lembar uang ribuan sebagai penyemangat.

***

Mataku nanar, dadaku diamuk amarah. Celenganku! Tabunganku yang kukumpulkan sedikit demi sedikit ludes! Celengan yang terbuat dari plastik berbentuk ayam itu telah bolong di bagian bawahnya. Sesen pun tak kutemukan uangku.

Ayah! Mengapa ini kau lakukan padaku! Sesak dadaku menahan tangis, mencoba untuk tidak membangunkan Bagas yang telah terlelap setengah jam yang lalu. Ini tak dapat dibiarkan, aku harus mencari ayah. Kutitipkan Bagas pada Mbak Darmi, tetanggaku. Aku tahu ini sudah larut malam, tapi kekecewaanku pada ayah memaksaku untuk segera mencarinya.

Lewat beberapa informasi yang kudapat dari beberapa orang tentang keberadaan ayah, akhirnya aku sampai di tempat itu. Sebuah warung, tampak beberapa laki-laki dewasa duduk bermain kartu dengan iringan musik dangdut yang meriah, botol-botol arak berserakan, kepul asap rokok membumbung seperti kabut. Tak kutemukan sosok ayah di sana, mataku masih liar mencari-cari. Hingga seorang laki-laki menegurku,

"Neng, cari siapa?"

Senyum mesumnya coba menggodaku. Seketika perutku mual. Sialan! Tempat macam apa ini! Tak lama kulihat seorang perempuan keluar dari dalam warung, dandanannya  menor, dengan bibirnya yang merah menyala. Baju ketatnya seakan tak mampu menyembunyikan lekuk- lekuk tubuhnya. Terpaksa, pada perempuan itu akhirnya aku tanyakan jua keberadaan ayah. Matanya penuh selidik menatapku,

"Mbak, tahu ayah saya?"

"Ayahmu, siapa namanya?”

"Pak Syaiful"

"Oh, itu di dalam sedang bersama Mirna."

Mirna? siapa dia pikirku. Segera aku memburu ke dalam, ternyata benar di pojokan kulihat ayah sedang bergumul dengan seorang perempuan. Terkejut dengan kehadiranku, ayah dengan tergesah merapikan bajunya dan menghapus noda lipstik di wajahnya. Sungguh aku tak pernah menyangka pemandangan macam ini yang akan kulihat. Tiba-tiba lidahku keluh, hulu hatiku sakit, terasa tertohok benda tumpul dan itu adalah kebencian. Ayah menyeretku keluar dari dalam warung,

"Nar, ngapain kamu nyusul ayah kemari?"

"Bagas sakit Yah, demam tinggi!" jawabku terisak.

"Tapikan kamu bisa menunggu ayah di rumah."

Belum habis kalimat ayah, perempuan bernama Mirna itu tampak menyusul kami. Gaun ketatnya itu tampak tersikap di bagian dada, mungkin sengaja memamerkan dadanya yang sekal. Dengan  manja dirangkulnya lengan ayah,

"Mas, jangan lupa janjimu yang tadi loh?" matanya mengerling manja.

Kulihat ayah merogoh saku dalam celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang puluh ribuan. Itu pasti uangku! Teriakku dalam hati. Aku tak perduli lagi, aku berlari pulang meninggalkan ayah dan perempuan sundal itu!

***

Kali ini aku tak dapat menahan tangis, Mbak Darmi sampai keheranan dan cemas menatapku. Tapi buru-buru ia pamit pulang karena malam telah sangat larut. Bagas terbangun oleh isakku, matanya yang sayu mencoba menenangkanku, tangan lemahnya mengenggam erat tanganku. Adik kesayanganku ini tahu benar apa yang sedang aku rasakan. Kuraba keningnya, panasnya telah turun. Tapi bagaimana pun besok aku harus tetap membawanya ke puskemas. Karena celenganku telah raib, besok aku akan temui juragan Wira untuk meminta upahku yang telah dua hari ini belum kuambil. Semoga cukup untuk membawa Bagas berobat. Aku kembali teringat almarhum ibu, andai tak secepat ini ibu pergi, pasti kelakuan ayah tak seperti ini.

Enam bulan yang lalu ibu terkena Tifus, terlambat diobati dan akhirnya tak tertolong.  Lagi- lagi kemiskinan kami lah penyebabnya. Yaa Rabb, maafkan aku, yang selalu berkeluh kesah akan takdir-Mu. Bukannya kami ingkar yaa Rabb, tapi kami terlalu lelah dalam kemiskinan. KAU Maha Tahu, semoga cobaan ini segara berlalu dan selalu ada harapan untuk masa depan. Amiin yaa Rabbalallamiin...

Malam ini kututup dengan kepasrahan dalam sebuah doa. Tak lagi kunanti kepulangan ayah, aku hanya berharap semoga ayah segera menyadari kekeliruannya. Besok akan kubeli celengan baru,  mulai kukumpulkan lagi rupiah demi rupiah. Kali ini untuk Bagas, karena tahun depan ia mulai masuk sekolah dasar. Sedangkan aku? Entah lah semoga juga akan selalu ada harapan buatku. Biar miskin aku juga ingin bersekolah.

****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun