Mohon tunggu...
Septyan Hadinata
Septyan Hadinata Mohon Tunggu... buruh

Ikhlas bersama sabar dalam mengembara di dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Eufimisme, MBG, dan Buruknya Gizi Moral Bangsa?

25 September 2025   06:02 Diperbarui: 26 September 2025   18:43 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kasus dugaan keracunan massal akibat konsumsi makanan bergizi gratis (MBG) yang kembali marak di berbagai daerah, termasuk beberapa yang dilaporkan Kompas, menimbulkan kekhawatiran serius. Ribuan anak menjadi korban, namun respons pemerintah tampak lebih berfokus pada penggunaan bahasa halus dan eufimisme ketimbang pengakuan tulus atas kesalahan.

Eufimisme seolah telah menjadi pola tetap pemerintah setiap menghadapi persoalan publik. Alih-alih mengakui kelemahan manajemen atau lemahnya pengawasan, jawaban yang diberikan sering dibungkus alasan halus seperti "sedang dievaluasi", "sedang ditindaklanjuti", atau "sekadar dugaan sementara". Bahkan ketika permintaan maaf dilontarkan, ia lebih bernuansa formalitas dibanding kesungguhan. Hal ini jelas memperlebar jarak antara negara dan warganya.

Sikap serupa juga tampak pada aparat penegak hukum. Kepolisian, meski memiliki kewenangan penuh, hingga kini belum menuntaskan satu pun kasus keracunan MBG, padahal jumlah korban mencapai ribuan. Bandingkan dengan kasus keracunan makanan hajatan atau pedagang kecil yang cepat diusut dan pelakunya dapat ditetapkan. Lalu, apa yang membuat polisi begitu lambat ketika berhadapan dengan kasus MBG yang notabene melibatkan program pemerintah? Pertanyaan ini menimbulkan kecurigaan dan berisiko memperdalam krisis kepercayaan terhadap institusi Bhayangkara.

Dari sudut ilmu sosial, eufimisme berulang ini menjadi bahan bakar lahirnya komplik sosial. Masyarakat yang berkali-kali mengalami kekecewaan, tanpa kejelasan penyelesaian, pada akhirnya akan menumpuk rasa marah kolektif. Jika pola ini terus berlanjut, tidak mustahil akan terjadi letupan sosial yang lebih besar, terutama karena yang terancam adalah nyawa anak-anak bangsa.

Dari perspektif komunikasi publik, eufimisme berlebihan membuat pemerintah kehilangan kredibilitas. Bahasa yang dimaksudkan untuk meredam justru menimbulkan kesan menghindar. Dalam jangka panjang, praktik ini berpotensi mengikis trust masyarakat terhadap negara dan aparatnya. Pemerintah dan kepolisian harus menyadari, bahwa dalam era keterbukaan informasi, publik semakin kritis. Menyembunyikan kesalahan di balik kalimat halus hanya akan memperburuk krisis.

Singkatnya, dugaan keracunan massal MBG bukan sekadar isu kesehatan, melainkan ujian transparansi dan kejujuran pemerintah. Jika eufimisme tetap dipertahankan sebagai tameng, maka harga yang dibayar adalah hilangnya kepercayaan publik, dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar dampak politik sesaat.

Tambahan catatan penting: walaupun korban dugaan keracunan MBG semakin marak di berbagai daerah, perhatian serius dari para wakil rakyat masih sangat minim. Kalaupun ada suara yang muncul, justru terkesan ikut menggunakan eufimisme tanpa ketegasan sikap. Pertanyaan publik pun mengemuka: apakah ini ada kaitannya dengan maraknya tudingan bahwa sebagian wakil rakyat juga menjadi penikmat gizi MBG? Jika benar demikian, maka sikap diam atau abu-abu parlemen akan semakin memperparah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perwakilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun