Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya menyehatkan justru memunculkan kasus dugaan keracunan di sejumlah sekolah. Pengalaman pribadi penulis membuka mata bahwa pelibatan orang tua bisa menjadi solusi lebih efektif, sehat, dan berdaya guna.
Isi Artikel:
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) digagas dengan tujuan mulia: memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang baik demi mendukung tumbuh kembang mereka. Namun, pengalaman pahit yang dialami anak saya---bersama puluhan teman sekolahnya---membuktikan bahwa pelaksanaan program ini masih jauh dari harapan.
Beberapa waktu lalu, anak saya menjadi salah satu korban dugaan keracunan usai menyantap menu MBG di sekolah. Banyak siswa lain harus dirawat di puskesmas. Meski anak saya tidak sampai dirawat inap, kejadian ini meninggalkan trauma dan pertanyaan besar: benarkah MBG sudah memenuhi standar gizi dan kesehatan yang layak?
Antara Niat Baik dan Realitas Lapangan
Sejak MBG hadir di sekolah, anak saya sering mengeluhkan soal menu: rasa kurang enak, kondisi dingin, bahkan kadang tampak basi. Sebagai orang tua, saya hanya menasihatinya untuk bersyukur karena program ini adalah kebijakan pemerintah dengan niat baik. Namun keluhan itu ternyata nyata, terbukti ketika keracunan massal terjadi dan menjadi sorotan media nasional.
Makanan yang disajikan di sekolah menggunakan omprengan stainless. Sementara untuk cucu saya yang menerima MBG di posyandu, wadah plastik digunakan, yang justru menimbulkan masalah baru. Uap panas membuat makanan cepat basi, sehingga keluhan orang tua semakin meluas.
Standar Gizi yang Terabaikan
Menurut standar kecukupan gizi, anak usia sekolah membutuhkan 1.600--2.000 kalori per hari, dengan komposisi seimbang karbohidrat, protein, lemak sehat, vitamin, dan mineral. Fakta di lapangan menunjukkan menu MBG seringkali tidak memenuhi standar ini. Ditambah lagi, wadah penyajian yang tidak tepat dapat menyebabkan kontaminasi dan membahayakan kesehatan anak.
Jika niat baik tidak diiringi dengan standar mutu yang jelas, maka MBG bisa berbalik arah: dari program penyelamat menjadi ancaman kesehatan.
Solusi: Libatkan Orang Tua