Mohon tunggu...
Septi Nurhayati
Septi Nurhayati Mohon Tunggu... Lainnya - Program Studi S1 Akuntansi

Mahasiswa STIE STEMBI Bandung Business School

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Literasi Digital Sebagai Upaya Preventif Menanggulangi Hoax

5 Desember 2020   13:27 Diperbarui: 5 Desember 2020   13:59 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Literasi Media Potter

Kata “literasi”, yang bermakna kemampuan untuk membaca dan menulis, secara perlahan memiliki perluasan makna dengan berkembangnya teknologi media hingga era digital.

Menjamurnya berita palsu/hoax yang beredar pada media sosial di Indonesia seakan menjadi mata rantai yang tak ada ujungnya. Konten tersebut senantiasa diproduksi, direproduksi, kemudian disebarkan secara terus menerus hingga menjadi sebuah fenomena dan kultur yang biasa saja. Permasalahan ini sejatinya adalah buah dari euphoria media berekspresi yang baru, yang memungkinkan kita untuk berujar dan membuat konten apapun tanpa terikat tatanan etika kehidupan yang baku. Seakan kehidupan kita di media sosial berjalan secara terpisah dengan yang kita jalani pada dunia nyata.

Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, atau Whatsapp adalah tempat dimana gosip, breaking news, dan informasi yang sedang ramai dibicarakan khalayak cepat menyebar. Facebook sendiri memiliki 1,55 milyar pengguna aktif pada 2016, yang setiap penggunanya menghabiskan paling tidak 20 menit per hari untuk membaca informasi terbaru pada lini masa mereka. Lebih jauh, populasi pengguna ini akan terus meningkat, hingga diprediksi pengguna aktif media sosial di seluruh dunia akan mencapai 2,72 milyar pada 2029, sekitar sepertiga dari populasi dunia (Roese, 2018:314).

Data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Pada 2014 saja, terdapat 761.126 situs yang diblokir karena konten berita palsu. Pada 2015 angkanya terus naik hingga mencapai 766.394 situs. Melengkapi data tersebut, menurut The Jakarta Post, sejak 2008 lalu sebanyak 144 orang telah diproses hukum karena kasus ujaran kebencian dan peredaran berita palsu di jagad media sosial.

Salah satu hal yang menarik untuk didiskusikan adalah banyaknya warganet yang merasa berhak untuk berujar apapun di media sosial dengan menggunakan payung pembenaran kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat sendiri sejatinya memang merupakan hak asasi manusia yang dilindung oleh Pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 28E UUD 1945, yang mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa hak kebebasan tersebut tidak absolut karena diiringi oleh tanggung jawab khusus.

Tulisan ini kemudian ingin mendiskusikan peran literasi digital sebagai cara untuk mencegah praktik kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung jawab di media sosial, khususnya penyebaran berita palsu (hoax). Tulisan ini akan mengelaborasi bagaimana literasi digital dapat membantu warganet di Indonesia untuk mengontrol diri dalam berinteraksi di media sosial. Literasi digital dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat untuk melangkah lebih jauh yaitu menjadi garda depan iklim media social yang lebih sehat.

Tulisan ini akan dijelaskan dalam beberapa sub bahasan untuk menjelaskan urgensi literasi digital sebagai self control dalam menghadapi hoax, sebagai bentuk kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung jawab. Pertama, akan dijelaskan definisi dan arti penting literasi digital. Kedua, tulisan ini akan menjelaskan mengenai darurat literasi digital pada pengguna media sosial. Ketiga, pembahasan tentang relasi literasi digital dengan upaya mengatasi hoax di era post-truth. Keempat, akan dijabarkan mekanisme kecakapan literasi digital yang dibutuhkan sebagai upaya meningkatkan self-control warganet. Titik tekan literasi ini sebagai upaya preventif untuk mencegah praktik kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung jawab berupa berita palsu (hoax).

Era Post-Truth

Berbicara mengenai literasi digital tidak dapat dilepaskan dari era post-truth. Era post-truth hadir sebagai hasil dari meningkatnya polarisasi, ketidaksetaraan pertumbuhan ekonomi, penolakan kepercayaan pada ilmu pengetahuan, dan meningkatnya fraksi lanskap media (Lewandowsky, 2017:353). Transformasi lanskap media yang terjadi pada era media baru tersebut secara tidak langsung menjadi salah satu penyebab munculnya era post-truth. Korelasi antara pesatnya penggunaan media sosial dan segala dinamikanya terhadap hangatnya pembicaraan mengenai post-truth menurut Lewandowsky (2017:359) dilator belakangi oleh beberapa alasan.

Pertama, fleksibilitas dan fraksi yang ditawarkan oleh media sosial memungkinkan masyarakat untuk memilih apa yang mereka favoritkan (echo-chamber) sehingga kebanyakan informasi yang mereka akses cocok dengan pandangan yang telah ada. Konsekuensinya, ada kemungkinan pembentukan keyakinan yang keliru ketika bukti relevan dipahami secara tidak tepat (Garrett, Weeks, & Neo, 2016 dalam Lewandowksy, 2017:359). Custom-deliver content yang selaras dengan kesukaan dan perilaku pengguna, secara cepat menciptakan realitas epistemik alternatif, atau banyak disebut sebagai “filter bubbles”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun