Tahun ini tepat dua ratus tahun berlalu sejak Perang Jawa, salah satu perjuangan paling bersejarah di Indonesia. Peristiwa yang berlangsung mulai tahun 1825 hingga 1830 itu menjadi tonggak penting perjuangan pribumi melawan kolonialisme penjajahan Belanda.
Saat itu, Raden Mas Ontowiryo, atau lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro, mengobarkan perlawanan keras terhadap pemerintah kolonial Belanda. Seperti gelarnya, Pangeran Diponegoro adalah salah satu putra dari Sultan Hamengkubuwono III, penguasa Kesultanan Yogyakarta. Namun ia bukanlah putra mahkota utama, dan memilih tinggal di daerah pedesaan Tegalrejo.
Sebagai seseorang yang memiliki darah bangsawan, Pangeran Diponegoro hidup sederhana dan dekat dengan rakyatnya. Ia juga seorang yang sangat religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, hidup bersama para guru dan santri di lingkungan daerahnya.
Pada masa itu, pengaruh pemerintah kolonial Belanda terasa semakin menyiksa rakyat pribumi dengan berbagai kebijakannya, seperti pajak yang sangat tinggi, eksploitasi pekerja, monopoli perdagangan, hingga intervensi pada kesultanan. Terlebih lagi, Belanda juga melakukan pembangunan jalan yang melewati tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Saat kedaulatan rakyat dan keluarganya terus diinjak-injak, Pangeran Diponegoro-pun melawan.
Pribumi Melawan
Perang Jawa menjadi perang terbesar di Pulau Jawa antara pribumi melawan penjajah Belanda. Pertempuran terjadi di berbagai daerah dengan sangat cepat karena pasukan Pangeran Diponegoro menjalankan strategi gerilya, membuat penjajah sangat kesulitan. Dalam buku 'Takdir' karya Peter Carey, dijabarkan bahwa perang ini menewaskan sekitar 10 ribu prajurit Belanda dan lebih dari 200 ribu penduduk Jawa. Selain itu juga menguras kas Belanda hingga 20 juta gulden, hingga pemerintah kolonial hampir jatuh bangkrut.
Pangeran Diponegoro tidak berjuang sendirian, ia dibantu oleh sang ulama kharismatik Kyai Mojo, dan para panglima kepercayaannya seperti Pangeran Suraputra serta Sentot Alibasya. Selain banyak juga para kepala desa, tokoh masyarakat, dan warga pribumi yang turut membantu perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Setelah lima tahun bertempur secara gerilya, pasukan Pangeran Diponegoro semakin terdesak. Terutama karena memang prajurit Belanda memiliki persenjataan yang jauh lebih unggul dan menerapkan strategi benteng stelsel (membuat benteng-benteng kecil untuk menghambat pergerakan pasukan Diponegoro). Bayangkan saja, pasukan pribumi Jawa yang hanya punya persenjataan dan logistik minim harus melawan prajurit Belanda yang bersenjata senapan dan meriam kelas Eropa.
Hingga akhirnya pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch memerintahkan Letnan Jenderal Merkus De Kock untuk mengajak Pangeran Diponegoro berunding. Karena satu dan lain hal, Sang Pangeran bersedia dan bertemu dengan Letnan Jenderal De Kock di rumah Residen Kedu, Magelang. Namun perundingan pada tanggal 28 Maret 1830 itu tidak berjalan baik, dan prajurit Belanda pun menangkap Pangeran Diponegoro.
Akhirnya, Sang Pangeran Jawa dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia, kemudian diasingkan ke Manado dan dipindahkan Makassar. Dalam pengasingannya, Pangeran Diponegoro tetap memperdalam ilmu agama Islam, mengajar penduduk sekitar, hingga menulis karya "autobiografi" tentang kisah hidupnya yaitu Babad Diponegoro. Sejarawan Peter Carey bahkan menyebut Babad Diponegoro adalah karya autobiografi pertama dari pemimpin pribumi di Asia Tenggara, mencerminkan intelektualitas dan tingkat literasi yang tinggi dari seorang Pangeran Diponegoro.