Mohon tunggu...
Aditya Mahatma
Aditya Mahatma Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Materi tulisan merupakan kumpulan tugas perkuliahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengulik Fenomena di Titik Nol Yogyakarta

11 Desember 2017   00:02 Diperbarui: 11 Desember 2017   18:58 2405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang

Yogyakarta merupakan salah satu destinasi wisata yang digandrungi oleh wisatawan domestik maupun internasional. Sebagai kota seni dan budaya yang memiliki tradisi mengakar kuat didalam masyarakatnya, Kota Yogyakarta memiliki beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi. Beberapa diantaranya terbentuk secara historis dan memiliki aspek sejarah yang cukup kuat.

Mengenai tempat wisata di Jogja tidak lengkap rasanya jika tidak menyinggung area Nol Kilometer Yogyakarta. Posisi dari objek ini terletak disebelah selatan Jalan Malioboro dan sebelah utara Keraton Yogyakarta. Tempat ini ramai dikunjungi karena memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Selain posisinya yang strategis, yaitu tepat berada di tengah-tengah pusat Kota Yogyakarta, 

Nol Kilometer juga memiliki bangunan-bangunan kuno bersejarah yang membuat wisatawan lebih tergugah untuk mendatangi tempat ini walaupun untuk sekedar berfoto-foto mengabadikan keindahan pemandangan yang tersaji disini. Maka tak diragukan lagi tempat ini selalu ramai dengan aktifitasnya yang beragam, dan bisa disebut sebagai jantung Kota Yogyakarta.

Berdasarkan keterangan diatas, hal ini membuat objek Nol Kilometer menarik untuk diamati dan dianalisis. Segala aspek yang terkandung di dalamnya merupakan hasil karya desain yang memiliki fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, Nol Kilometer Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang sosiologi desain.

Teori yang Digunakan

  • Gaya hidup adalah cara bagaimana orang hidup, menghabiskan uangnya, dan mengalokasikan waktunya. Teori ini digunakan karena daerah Nol Kilometer merupakan bagian dari gaya hidup di kota Jogja karena para wisatawan yang berkunjung ke kota Jogja pasti sempat mengalokasikan sebagian waktu liburannya atau bahkan menghabiskan sebagian uangnya di daerah Nol Kilometer karena tempat ini merupakan tempat yang khas untuk merasakan suasana kota Jogja.
  • Mitos merupakan suatu cerita yang berasal dari manusia yang menceritakan mengenai masa lampau. Cerita pada mitos menjelaskan tentang ceita tradisional budaya, alam dan seisinya. Mitos diceritakan turun temurun sebagai pembentuk sifat tertentu atau pembelajaran pada masyarakat atau komunitas dan benar-bnear dipercaya oleh mereka yang menganutnya. Mitos yang terdapat pada daerah Nol Kilometer ini adalah mitos garis imajiner. Mitos garis imajiner ini sudaha ada semenjak keraton Jogjakarta dibentuk yang cerita serta filosofi mitos ini dipercaya dan dipahami oleh masyarakat hingga sekarang.

Manfaat untuk Desain Komunikasi Visual

Penelitian Sosiologi mengenai daerah Nol Kilometer ini membuat kita lebih mengenal dan mengetahui bagaimana kondisi lingkungannya. Selain itu kita dapat mengetahui juga bagaimana dampak serta peran daerah Nol Kilometer ini dalam kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta. Hal ini dapat digunakan sebagai landasan untuk mendesain dan mengoreksi desain sudah ada agar lebih sesuai dengan kondisi lingkungan serta masyarakat yang berkunjung ke tempat tersebut.

Pembahasan

Nol Kilometer bukan hanya sekedar pusat keramaian di Yogyakarta. Terdapat sejarah yang terselip di dalamnya. Nol Kilometer sebagai denyut nadi Kota Yogyakarta mempunyai mitos garis sumbu imajiner yang menghubungkan antara pantai Laut Selatan, Keraton hingga Gunung Merapi. Selain garis imajiner, Yogyakarta juga memiliki sumbu filosofis yakni Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak, yang dihubungankan secara nyata berupa jalan. Panggung Krapyak ke utara menuju ke Kraton melambangkan perjalanan manusia dari bayi lahir hingga dewasa, sedangkan dari Tugu ke Kraton melambangkan perjalanan manusia kembali ke sang Pencipta. 

Sumbu fillosofis itu mempunyai makna hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dengan sesama serta manusia dengan alam. Jauh hari sebelum pemerintahan kota ini terbentuk, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah memikirkan konsep penataan kota yang unik, yang secara istimewa di desain sangat strategis sebagai kota pemerintahan.

Secara garis besar, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki sejarah fenomena desain modern yang cukup panjang sebagai upaya perkembangan dan pemberdayaan fenomena sosial tersebut yang dapat di bagi menjadi tiga, yaitu :

  • Desain sebagai pemecahan permasalahan sosial

Desain adalah wujud gagasan yang menjadi alat, sistem, barang ataupun lingkungan binaan yang memiliki nilai sosial. Maka dari itu, perlu dilakukan pengamatan latar belakang sosial yang menjadi pemicu lahirnya suatu karya desain. Dengan demikian, dapat diamati seberapa jauh dampaknya dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat.

  • Desain sebagai suatu proses pembelajaran

Desain dapat diamaati melalui bagaimana masyarakat belajar dari kesalahan, hasil yang kurang sempurna, cacat-cacat perilaku, ataupun dampak yang terjadi. Dengan demikian terdapat sebuah upaya untuk mengurangi kesalahan sosial melalui sebuah penyempurnaan desain.

  • Desain sebagai suatu proses penyadaran

Desain yang dihasilkan dalam kurun waktu yang mencukupi dapat menjadi proses penyadaran diri, baik dari lingkungan masyarakat maupun peradaban masa depan.

Kota Yogyakarta, tepatnya di Nol Kilometer, terjadi fenomena desain modern yang berhubungan dengan ketiga teori tersebut. Seperti halnya sign system, jalur bagi penyadang tuna netra, tempat sampah, dan tempat duduk. Salah satu yang jadi perhatian utama kami yaitu sign system di Nol Kilometer. Menurut pengamatan kami, sign system Nol Kilometer termasuk baru karena sebelumnya tidak ada penunjuk arah. Kami melakukan wawancara terhadap beberapa pengunjung di area Nol Kilometer ini.  

Mereka merasa tidak ada sign system yang jelas. Selanjutnya, kami yang telah mengamati area ini menunjukkan kepada responden perihal dimana sign system tersebut ditempatkan. Hal ini diperparah dengan penempatan sign system yang kurang diketahui orang karena letaknya kurang strategis. Sign system diletakkan pada tikungan didepan Monumen Sebelas Maret. Jika ditempatkan di ruang lebih terbuka,  seharusnya sign system dapat dilihat dengan lebih mudah atau terbaca dari jarak yang lebih jauh oleh pengunjung.

Gaya arsitek yang digunakan saat di Nol Kilometer masih menggunakan arsitektural model lama, sehingga warna pada fasilitas yang disediakan di Nol Kilometer kurang kontras. Contohnya adalah tempat sampah yang disediakan di sekitar area Nol Kilometer. Desain tempat sampah seperti itu membuat pengunjung kurang mengetahui jika itu fungsinya adalah sebagai tempat sampah. Alhasil, banyak sampah yang bertebaran di sekitaran area Nol Kilometer.

Buktinya, masih banyak pengunjung yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Seharusnya, jika ingin mempertahankan warna yang masih selaras dengan gaya arsitektural, maka elemen yang perlu ditonjolkan adalah tipografi agar lebih terlihat informatif dan mencolok.

Kesimpulan

Sebenarnya Nol Kilometer sudah cukup memadai sebagai salah satu destinasi wisata di Yogyakarta, dari segi fasilitas yang sudah lengkap, hingga sudah memanjakan para pengunjumg yang datang dengan melakukan sebuah aktivitas sosial dan gaya hidup setiap pengunjung. Hanya saja, dari fasilitas yang memadai tersebut, kita sebagai pengunjung kadang masih kurang mengetahui fasilitas yang tersedia. 

Sign system yang seharusnya berfungsi sebagai penunjang dari fasilitas tersebut dirasa kurang lengkap. Hal ini membuat beberapa pengunjung kurang bisa memaksimalkan fasilitas yang ada, sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman seperti halnya buang sampah sembarangan. 

Maka, pemerintah harus melakukan sebuah pengembangan sign system sebagai wujud sosial yang mempengaruhi perkembangan desain. Perkembangan desain sign system di Nol Kilometer dapat mendongkrak Nol Kilometer sebagai wujud penyaluran kebutuhan sosial dan bermasyarakat.

Saran
Pemerintah harus mengembangkan desain sign system yang ada di Nol kilometer supaya menghasilkan desain lebih interaktif terhadap pengunjung.

Pendapat

Kurangnya inovasi lahan parkir pengunjung, sehingga masih banyak oknum-oknum yang memanfaatkan trotoar sebagai lahan parkir demi keuntungan pribadi, terutama pengguna kendaraan roda dua. Apresiasi terhadap pelaku seni sebagai penunjang Nol Kilometer termasuk kurang, misalnya seniman jalanan yang belum bisa leluasa berkarya karena terusik oleh Satpol PP atau kemanan yang ada di area Nol Kilometer. Padahal, seniman jalanan menjadi daya tarik tersendiri bagi area Nol Kilometer.

Daftar Pustaka

Sachari, Agus, 2002, Sosiologi Desain, Bandung : Penerbit ITB

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kelompok : Sentosa

Ahmad Savni Rahman (1610201124)

Agung Prabowo (1610194124)

Andreas Danang Kristiawan (1610185124)

Raymondhus Rosetha (1610192124)

Gustami Wahid Faturrahman (1610202124)

Hardimas Bariq Arrozak (1610193124)

Surya Bonanza Emha (1610196124)

Aditya Mahatma Putra (1610205124)

Aries Rezky Clinta Ginting (1610209124)

Krisna Tanaya Joestiono (1610215124)

Prodi Desain Komunikasi Visual

Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa

Institut Seni Indonesia Yogyakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun