Mohon tunggu...
Senopati Ami
Senopati Ami Mohon Tunggu... karyawan swasta -

merah darah warnanya, tanda satria jiwanya dalam membela bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Alhamdulillah..

24 Agustus 2012   06:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:23 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata ‘Alhamdu’ dalam Alhamdulillah itu seharusnya menggunakan ‘H kecil’ (ح) bukan ‘H besar’ (ھ).

Demikian seorang khatib mengingatkan para jemaah shalat Jum’at atas kekeliruan kebanyakan umat muslim yang tidak mengindahkan makharijul huruf (letak keluarnya huruf hijaiya saat dilafadz-kan/dibunyikan). Tapi konyol-nya saya, alih-alih teringat akan lafadz yang sempurna dari ‘Alhamdulillah’ saya justru merenungi makna ‘Alhamdulillah’.

Kerap kali saya menjawab dengan kalimat "Alhamdulillah, kabar saya baik.” Untuk menjawab kawan saya yang menanyakan perihal kabar saya. Saya menjawab demikian karena guru ngaji saya dulu menyuruh saya menjawab demikian. Katanya itu menunjukan rasa syukur kita.

Saya sih “iya-iya saja” dengan perintah sang guru itu, dan saya jadikan itu sebagai jawaban standar atas semua pertanyaan bertajuk ‘Kabar’. Lantaran menjadi jawaban yang standar, saya tidak pernah menganggap ada hal yang istimewa dari klausa 'Alhamdulillah' itu.

Ketika saya sedang senang saya katakan ‘Alhamdulillah’ dengan tersenyum, ketika bete saya juga katakan ‘Alhamdulillah’ dengan wajah lesu. Setelah sekian lama, tanpa saya sadari saya telah menjadikan ‘Alhamdulillah’ sebagai ungkapan yang bermakna sama dengan klausa ‘tidak terlalu buruk’. Alhasil, Alhamdulillah menjadi anak kalimat yang diiringi dengan wajah lesu dan intonasi menurun, seperti



  • “gw masih nganggur, tapi Alhamdulillah kabar gw baik” atau

  • “udah kerja sih, meski gaji gue belum gede. Tapi Alhamdulillah-lah”

Ucapan seorang Khatib menyadarkan saya bahwa saya sudah kehilangan makna ‘Alhamdulillah’ sejak lama. Anak kalimat yang sejatinya adalah pujian kepada sang Khalik, harusnya menjadi bentuk rasa syukur sekaligus berserah diri kepada ketentuan Yang Maha Kuasa. Namun saya justru mengucapkan pujian itu manakala saya tidak sependapat dengan ketentuanNya, atau bahkan saat saya sedang kesal lantaran tidak mendapat sesuatu yang memuaskan keinginan saya.

Ternyata, Alhamdulillah adalah kalimat yang membuat bisa saya lega dari belenggu ketidakpuasan saya. Alhamdulillah seharusnya menjadi kalimat keyakinan bahwa ketentuanNya lebih baik untuk saya. Alhamdulillah adalah pengingat saya bahwa Dia lebih tahu akan apa yang terbaik untuk saya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun