Mohon tunggu...
Seno Kristianto
Seno Kristianto Mohon Tunggu... Guru SMP Van Lith Jakarta

Pendidik yg jg menikmati sosial, budaya, sejarah, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ada Apa Dengan Guru

12 September 2025   11:45 Diperbarui: 12 September 2025   11:42 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa waktu lalu ada pernyataan 2 pejabat yang menyinggung tentang guru. Terlepas niat atau tidak, masing-masing sudah ada reaksi dan klarifikasinya. Menjadi menarik lagi, mengapa sudah 80 tahun Indonesia merdeka seolah-olah tidak pernah tuntas persoalan guru terutama kesejahteraan. Apalagi dibalut dengan istilah pahlawan tanpa tanda jasa dan serangkaian istilah lain yang tinggi di awan, yang pada akhirnya meninabobokan guru dan para pemangku kebijakan sehingga kesejahteraan terlupakan atau terabaikan. Pada kenyataannya ada guru yang sudah sekian tahun mengabdi kepada yang katanya negara, ternyata masih ada menerima honor 300.000 per bulan. Belum lagi adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi tentang diskriminasi usia pensiun guru yang 60 berbeda dengan dosen yang 65. Bagi penulis, serangkaian persoalan tentang guru bukan ibarat gunung es, tetapi gunung yang sesungguhnya di permukaan tanah, artinya bisa kelihatan semua tetapi tidak pernah selesai dibenahi dan diperbaiki.

Sindiran otentik tentang nasib guru pernah dilakukan oleh Iwan Fals dengan lagu berjudul "Guru Oemar Bakri"yang dirilis tahun 1981. Pada lagu tersebut, Iwan Fals secara jenaka melantunkan seperti apa gambaran atau potret kehidupan guru di negeri tercinta ini. Sepeda kumbang, tas kulit buaya, banyak ciptakan menteri profesor dokter dan insinyur tetapi gajinya seperti seperti dikebiri. Itulah ungkapan hati seorang Iwan Fals yang tidak berkecimpung di dunia pendidikan tetapi mengamati, melihat fenomena kehidupan guru saat itu. Ada benarnya juga yang ditulis pada lirik lagu tersebut minimal mewakili sebagian hidup guru yang memang jauh dari sejahtera. Dan sampai sekarangpun kemungkinan masih ada kesejahteraan guru seperti yang ditulis Iwan Fals.

Bicara guru tidak bisa lepas dari ekosistem pendidikan yang sangat ideal dan sistematis dari atas sampai ke bawah. Dari tingkat nasional sampai daerah yang terdepan, terjauh, dan tertinggal. Belum lagi penyiapan tenaga pendidik di tingkat hulu sampai pada praktiknya sekolah di tingkat hilir. Apakah ekosistem itu sudah berjalan dan berlangsung dengan baik dan merata? Marilah kita tanya batu karang yang selalu diterjang gelombang tetapi diam bertahan. Jika memang benar bahwa sebuah ekosistem pendidikan dengan sistematika yang canggih, serta slogan dan jargon yang sangat ideal, maka seharusnya sampai ke tingkat paling dasar pun dalam hal ini kesejahteraan juga harus sinkron.

Guru sering disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Karena ujung tombak itulah, guru ibarat anak panah maka hanya cukup menghujam ke sasaran yaitu peserta didik. Bagian tengah dan pangkalnya ibarat seperangkat kurikulum serta aturan tentang pendidik dan tenaga kependidikan yang dibuat oleh pemangku kebijakan dan birokrasi yang belum tentu pernah merasakan seperti apa menjadi guru yang sesungguhnya. Sudah 12 kali perubahan kurikulum dengan tipe idealnya masing-masing dan itulah yang harus dilakukan oleh guru . Sedangkan undang-undang terkait guru, ada 6 kali termasuk perubahan dan lain-lain, namun tetap belum menyelesaikan masalah kesejahteraan. 

Angin segar kesejahteraan berhembus dengan adanya program sertifikasi guru sejak 2007 sesuai amanat UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.  Berbagai aturan atau regulasi diberlakukan demi sebuah idealisme kesejahteraan guru yang harus berbanding lurus dengan kualitas sebagai pendidik. Namun ternyata berbagai aturan keikutsertaan sebagai peserta sertifikasi silih berganti yang pada akhirnya sampai saat ini tetap saja banyak guru yang belum mendapat kesempatan itu meski baru mengajar lebih dari 25 tahun. Pada akhirnya di tahun 2025 ini konon ceritanya bahwa semua guru harus sudah sertifikasi. Memang menggembirakan karena ada yang baru beberapa tahun mengajar namun sudah bisa ikut sertifikasi. Tetapi ada juga yang tinggal beberapa tahun lagi pensiun, baru mendapat kesempatan untuk ikut sertifikasi. Kemudian bahasa tingkat tingginya adalah bersyukur saja dengan rejeki yang akan diperoleh. 

Apalagi beberapa hari yang lalu, di akhir Agustus terjadi gelombang demonstrasi di Jakarta dan beberapa daerah yang awalnya mengkritisi tunjangan anggota dewan yang nominalnya fantastis. Kalau dibandingkan dengan gaji dan tunjangan guru maka kesenjangannya ibarat dasar palung laut dengan langit. Tugas utama guru adalah mendidik namun pada akhirnya konsentrasi tergeser karena harus memenuhi  kebutuhan hidup yang tidak bisa tercukupi dari penghasilannya. Beberapa guru menjadi pengemudi ojek online untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang kurang sesuai antara profesi utama dengan  profesi sampingan, namun hal itu menjadi sebuah kewajaran ketika harapan yang seharusnya datang dari yang berwenang tetapi terlalu tinggi di awan. Profesi sampingan itu bukan untuk menuju sejahtera tetapi sekedar untuk menyambung dan bertahan hidup. Mau sampai kapan masalah kesejahteraan ini tercapai secara merata untuk seluruh guru di Indonesia, marilah kita mengheningkan cipta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun