Hiruk pikuk bel sekolah berdentang nyaring, memuntahkan ratusan, bahkan ribuan, anak muda dari gerbang institusi bernama sekolah. Seragam lusuh, tas ransel membungkuk menanggung beban buku, dan wajah-wajah yang menyimpan segudang cerita -- antara cita-cita, kelelahan, dan mungkin juga kebingungan. Pemandangan ini adalah potret harian pendidikan kita. Namun, di balik rutinitas ini, sebuah pertanyaan mendasar menggelayuti benak: sekolah sebenarnya sedang mendidik siapa?
Kurikulum yang terus berubah, bagai arah mata angin yang tak pernah berhenti berputar, seringkali membuat guru dan murid terengah-engah. Kebijakan silih berganti, terkadang tanpa evaluasi mendalam, meninggalkan tanya besar: apa sebenarnya tujuan jangka panjang pendidikan kita? Apakah kita sedang mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan zaman, atau sekadar menghasilkan lulusan yang hafal rumus dan teori, namun gamang dalam mengaplikasikannya di dunia nyata?
Kita sering mendengar jargon tentang pendidikan karakter, namun implementasinya terasa jauh panggang dari api. Sekolah lebih sering disibukkan dengan urusan administratif dan target nilai, hingga melupakan esensi pembentukan budi pekerti dan nilai-nilai luhur. Akibatnya, kita menyaksikan paradoks: anak-anak pintar secara akademis, namun kurang memiliki empati, toleransi, atau bahkan etika dasar.
Lalu, siapa sebenarnya yang sedang "dididik" oleh sistem yang terasa tanpa arah ini? Apakah kita sedang mendidik para pengisi soal ujian nasional semata? Atau justru kita sedang "mendidik" para orang tua yang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah favorit, tanpa benar-benar memahami apa yang terbaik bagi potensi unik sang anak? Atau jangan-jangan, kita sedang "mendidik" para pembuat kebijakan yang sibuk dengan perubahan tanpa visi yang jelas?
Ironisnya, di tengah ketidakjelasan arah ini, para siswa lah yang paling merasakan dampaknya. Mereka dipaksa beradaptasi dengan perubahan yang cepat, dijejali dengan materi yang terkadang terasa asing dengan kehidupan mereka, dan diukur dengan standar yang seringkali tidak relevan dengan bakat dan minatnya. Mereka adalah korban dari sebuah sistem yang kehilangan kompas.
Tentu, di tengah gurita permasalahan ini, masih banyak guru-guru hebat yang berdedikasi, yang dengan gigih berusaha menanamkan nilai dan pengetahuan di tengah keterbatasan. Namun, upaya individu tidak akan cukup jika sistem secara keseluruhan tidak memiliki visi yang jelas dan terukur.
Sudah saatnya kita merenungkan kembali: ke mana sebenarnya arah pendidikan kita? Siapa yang seharusnya menjadi fokus utama dalam proses ini? Apakah kita ingin melahirkan generasi robot-robot pintar yang kehilangan ruh kemanusiaannya, atau generasi pembelajar sejati yang kritis, kreatif, dan memiliki integritas?
Pertanyaan ini bukan hanya retorika. Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan masa depan bangsa ini. Jika sekolah kehilangan arah, maka yang "dididik" hanyalah kebingungan dan ketidakpastian. Mari kita luruskan kembali kompas pendidikan kita, demi masa depan anak-anak Indonesia yang lebih gemilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI