Mohon tunggu...
Andi Ideot Ideot
Andi Ideot Ideot Mohon Tunggu... profesional -

"..aku adalah tautan sang waktu: awal dan akhir dari abstraksi perjalanan mimpi yang mencari dalam tragedi putaran emosi tentang penjabaran arti dan tujuan hidup.."

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mantra Saksi untuk Memanggil Pejabat

12 Desember 2012   22:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:46 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MANTRA SAKSI UNTUK MEMANGGIL PEJABAT

Lagi-lagi kita dikejutkan pemberitaan tentang pemanggilan pejabat untuk menjadi saksi harus seizin Presiden. Peristiwa ini diperlihatkan didalam persidangan dimana agenda 4 orang menghadirkan saksi dalam perkara kasus dugaan korupsi dana pendidikan dan pembinaan di PDAM Tirta Mayang, Kota Jambi.

Namun dari empat saksi itu tidak ada nama mantan pejabat tinggi Kota Jambi yang disebut-sebut menerima dana pembinaan sejak tahun 2005-2008 dari PDAM Tirta Mayang Kota Jambi. (Posmetronline, 12 Desember 2012)

Ketidakhadiran dua mantan pejabat Kota Jambi ini sempat menimbulkan pertanyaan hakim. Nelson Sitanggang, hakim ketua dalam perkara ini, menanyakan hal itu kepada jaksa. “Pak jaksa, pejabat-pejabat yang disebut menerima dana pembinaan apakah dijadikan saksi?’’ tanya Nelson.

"Untuk pembina ada satu, yaitu Arifien Manap. Untuk HBA, karena menjabat gubernur saat ini, maka kita harus minta izin presiden. Karena keterbatasan waktu perkara kita limpahkan," kata Suparjo, salah satu JPU perkara ini saat menjawab pertanyaan hakim.

Penulis bingung, apakah memang tidak mengetahui perkembangan terkini, dimana rujukan “persetujuan tertulis dari Presiden” sebagaimana telah diatur didalam pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 telah dipertimbangkan oleh MK.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak perlu persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.

"Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,"

MK berpendapat dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.

"Persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan dan penyidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat proses hukum, yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan," demikian pertimbangan MK.

Dalam pengujian UU Pemda ini, MK juga memutuskan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemda konstitusional bersyarat.
MK menyatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan".

Sedangkan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara".

MK berdasarkan Putusan No. Nomor 73/PUU-IX/2011 telah mengabulkan permohonan pemohon dan kemudian membatalkan Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK juga menegaskan selain membatalkan juga menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun