Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Purnama di Rumah Kayu

1 Juni 2020   21:51 Diperbarui: 6 Juni 2020   22:46 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Maaaa....af  Pak, saya tak biasa hanya duduk," kataku membela diri. Tanpa sengaja mataku berserobok dengan mata pak Didi yang sedang menatapku.

"Kamu berubah, Nuri," kalimat pak Didi mampu menghantam hatiku. Seperti biasa suara pak Didi yang khas lembut dan tenang mampu mengemuruhkan jantungku.

Haiiii..... Nuri ada apa? Baru bertemu kamu sudah berhalusinasi, dua puluh tahun yang lalu kala aku mahasiswa dan magang di kantor pak Didi suara yang memberi perintah itulah yang membuatku bersemangat bekerja dan menyelesaikan kuliah.

"Pasti berubah Pak, sudah lama Bapak tidak bertemu saya," aku tergagap menjawab perkataan pak Didi.

"Duduk sini, biar saya bisa lihat jelas wajah kamu," duhhhh apa lagi ini kok jadi begini. Tahu begini aku ajak Era dan Imah.  Wajahku bersemu tak jelas bagaimana rupanya.

"Ehh, terimakasih, Pak," jawabku sekenanya sambil menarik kursi. Duduk berhadapan dengan napas yang terdengar berirama malah membuat jantungku semakin berpacu. Wajahku tertunduk tak berani menatap pak Didi. Aku berusaha mencari kalimat untuk mencairkan suasana, padahal aku paling jago kalau berimprovisasi.

" Yang saya ingat alis mata kamu yang hitam dan tebal, selebihnya saya hanya ingat kamu bekerja di sini dengan kelompok kamu yang selalu tak bisa terpisahkan," ternyata pak Didi masih ingat aku. Apa pak Didi juga tahu perasaanku dua puluh tahun lalu?

" Syukur bapak masih ingat saya, teman-teman saya ikut tetapi menunggu di luar katanya nanti setelah saya, baru mereka masuk," kalimat itulah yang meluncur dari bibirku yang terasa semakin kelu.

"Masih menulis?" amboi pak Didi ingat aku suka menulis. Belum sempat aku jawab pak Didi berkata lagi, "Kadang kalau saya ke meja kamu dan kamu asyik menulis mau saya marahi, tapi tidak tega hahahha lihat wajah putih kamu yang lucu, mau saya tanya ada ga nama saya di tulisan kamu?" degggg apa pula ini.

"Maksud bapak tulisan pekerjaan kantor?" tanyaku sedikit bingung.

"Suatu hari harus ada nama saya di tulisan kamu." Wajah pak Didi dicondongkan ke depan dan itu sukses memporak porandakan hatiku yang memang sudah limbung. Pada akhirnya nama pak Didi selalu ada di setiap hari-hariku.

Bersambung yah guys

******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun