Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Purnama di Rumah Kayu

1 Juni 2020   21:51 Diperbarui: 6 Juni 2020   22:46 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Percakapan singkat di gawai waktu itulah yang membuka kisahku dengan abang. Hari berikutnya aku dan beberapa mantan karyawan di perusahaan abang yang di Jakarta berkunjung ke kantor abang.

"Maaf, sudah ada janji dengan bapak Didi?" tanya seorang security wanita pada kami.

"Sudah, Mba coba deh Mba telepon pak Didi," Era temanku yang kulihat tak suka dengan gaya menegur security itu menjawab.

"Boleh isi daftar tamu, karena yang menunggu pak Didi juga banyak," security itu menunjuk ke lobi kantor yang sofanya sudah penuh. Kami yang melihat hanya bisa melongo ternyata susah juga untuk sekadar mengundang pejabat di sebuah perusahaan besar.

"Gini aja dah, lo telepon tuh bos lo ye, bilang aje nih rombongan Densus 88 mau ketemu," Imah yang sedari tadi diam saja ikutan bicara dengan gaya Betawinya.

"Iya, Bu nanti saya akan telepon tetapi tolong isi dulu daftar tamu sesuai prosedur," security bertubuh gempal dengan alis tebal karena arang atau pensil alis itu menjawab dengan sedikit ketus.

"Ala... ribet banget dah, Nuri lo telepon dah pak Didi suruh keluar jemput kite, gue dah gerah nih mana lapar lagi, buka puasa masih lama bikin batal aje." Imah membuka paksa tasku dan mengeluarkan gawaiku. Kini aku yang tak bisa mengelak untuk meredam amarah para sahabatku ini aku ambil gawaiku dari tangan Imah.

"Gini yah, gue isi daftar hadir trus gue telepon deh pak Didi, oke." Akhirnya aku ada ide buat meredam amarah para sahabatku ini.

"Sini, gue aja yang nulis lo telepon buruan," Era mengambil pulpen dari tangan security dan menuliskan nama kami. Aku mulai menekan nomor pak Didi untuk memberitahunya kalau kami sudah di lobi. Kalau melihat antrian bisa-bisa malam baru bisa bertemu pak Didi.

"Assalamualaikum, Pak maaf ini Nuri, kami sudah di lobi," wajahku sengaja aku hadapkan ke security yang wajahnya mulai terlihat kesal. Mungkin dia tak percaya kalau aku punya akses ke bos nya tanpa melewati protokol yang disiapkan. Atau dia takut karena sudah menghalangi kami. Dengan puas aku tutup telepon karena pak Didi berjanji menemui kami. Tak lama telepon di meja security berdering.

"Baik Pak, segera laksanakan," suara security yang tadinya keras dan galak kudengar mantap menjawab telepon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun