Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... lainnya -

an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Rongga Hidup Si Hari

29 Mei 2015   01:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14328495761591732945

"Aku tak mau nanti anakku Hari ikut mengangkat kerandaku, aku terlanjur sakit hati kepadanya", ibu Hari berkata sambil menangis dihadapan salah satu anak perempuannya.

"Sudah, tenangkanlah hatimu Mak. Semua akan baik-baik saja Mak, insyaAllah", kata anaknya menenangkan ibunya.

Ibu Hari sudah sakit-sakitan lama di rumah, dan hanya dua hari di RS ia baru menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelum dan saat ajal itu tiba, anak-anaknya sudah berkumpul dan bersama-sama menengadahkan tangan memohon kekuatan dari Sang Pencipta. Do'a-do'a dilafalkan disertai isak tangisan yang mengharu-biru.

Diantara adik perempuan Hari, saat itu ada yang baru saja mengalami kecelakaan dan kakinya patah. Perasaan adik perempuan Hari yang kakinya patah belum pulih sepenuhnya itu seperti tersayat-sayat. Begitu sayangnya ia dengan ibu itu. Begitu dekatnya ia dengan ibu itu. Dan karena sebenarnya adik perempuan yang berkaki patah itu yang jadi kesayangan Ibu Hari sewaktu hidup.

***

Kini tinggalah di rumah yang berkandang domba reot itu hanya Hari dan ayahnya. Kandang dombanya seolah tak terurus, kotoran dombanya sudah mencapai dua meter. Tampaklah domba itu sekaan ada dipanggung, bukan di dalam kandang. Entah karena Hari yang malas, atau memang sengaja kotoran domba itu dibiarkan. Hari masih seperti yang dulu, masih menutup diri dan makan seadanya, rambutnya gondrong dan rewo-rewo, penampilannya sembarangan, seperti bajunya yang entah robek di mana saja ia tak peduli. Termasuk robek di celana luarnya, hinga celana dalamnya dapat diintip orang.

Ayah Hari sangat jauh berbeda dengan Almarhum ibunya dulu yang lebih berani berkata-kata sesuatu. Kalau ayah Hari cenderung diam. Sehingga perdebatan diantara kedua orang itu sangatlah jarang terjadi. Setahun kemudian setelah kepergian ibu Hari, keadaan ayahnya pun jadi memburuk. Ayah Hari sudah mulai sakit-sakitan. Sudah mulai kehilangan kesadaran. Ia sudah bingung dan lupa siapa-siapa nama cucu dan bahkan anaknya sendiri ia lupa!

"Ini Hape ya namanya, aku mau dong dibelikan biar aku bisa aku punya mainan", kata ayah Hari  kepada salah satu cucunya yang sudah bekerja dan bisa beli Hape sendiri.

"Hehehe, iya kek kapan-kapan ya dibelikan"

Lagi-lagi Hari membuat kesalahan terhadap orang tua yang tinggal satu-satunya. Suatu hari Ayah Hari kelaparan, dan ia tak mau memberikan nasi untuk ayahnya. Sementara ayahnya sudah tak sanggup lagi berjalan mencari makan. Berita itu akhirnya terbongkar setelah salah satu anak ayah Hari lainnya sedang datang mengirimkan beberapa makanan.

Pada ajal yang sudah jatuh kepada ayah Hari, saat itu juga Hari pinsan tak sadarkan diri hingga ayahnya sudah siap diberangkatkan. Hari merasa bersalah, Hari menyesal, Hari sudah seperti tidak punya siapa-siapa selain domba dengan kotoran yang tingginya dua meter di rumahnya. Tak ada bini yang menemani hidup Hari, tak ada siapa-siapa lagi dalam hidupnya. Ia hanya akan hidup dengan rambut gondrong. Sendiri. Ia akan mengepulkan asap Mbako lintingannya dengan epulan hampa. Ia siap kelaparan sebab tak ada pekerjaan yang tetap baginya. Pekerjaan sehari-harinya hanya mencari rumput, mencari kayu bakar dan berdiam di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun