Mohon tunggu...
Denty Eka Widi Pratiwi
Denty Eka Widi Pratiwi Mohon Tunggu... -

Anggota DPD-RI / MPR RI yang sedang mencoba eksis di dunia maya :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengubah (lagi) UUD 1945; Sebuah Upaya Menata Ulang Sistem Ketatanegaraan Indonesia

16 April 2013   08:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:07 1916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: berdikarionline.com

[caption id="" align="alignleft" width="370" caption="foto: berdikarionline.com"][/caption]

Semangat untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) bukanlah merupakan gagasan baru lagi di Indonesia. Bahkan sejak awal kemerdekaan Indonesia gagasan tersebut sudah ada, karena dalam sejarahnya para pendiri Negara mendesain konstutusi sebagai konstitusi yang bersifat sementara. Hal ini dapat dipahami bahwa pada saat itu, konstitusi dibentuk dalam suasana merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

Mengutip pendapat Soekarno sebagai Ketua panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam pidatonya pada Tanggal 18 Agustus 1945, bahwa “Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan megumpulkan kembali Majelis Permusywaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat undang-undang dasar jang lebih sempurna dan lengkap”.

Sebagaimana diketahui, sebelum reformasi perdebatan mengenai perubahan UUD 1945 sangat jarang terjadi, apalagi dalam sebuah forum-forum ilmiah. Baik akademisi maupun masyarakat pada umumnya mempelajari UUD 1945 sebagai norma yang selalu bernada positif. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari adanya pengaruh penguasa yang terus berupaya untuk mempertahankan tatanan sistem ketatanegaraan yang pada saat itu memang menguntungkan untuk mempertahankan kekuasaanya.

Keberadaan UUD 1945 digunakan sebagai instrumen dasar legitimasi untuk menjadikan Negara berlaku otoriter. Bahkan dapat diketahui rezim orde baru dapat bertahan selama 32 tahun, dengan melakukan hegemoni untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akibatnya, jika terdapat sebuah pemikiran untuk melakukan perubahan UUD 1945, maka akan dianggap sebagai bentuk pembangkangan yang dapat menggangu stabilitas nasional.

Masa reformasi telah menghasilkan perubahan terhadap UUD 1945, yang prosesnya dilakukan empat tahap dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Banyak harapan yang muncul dari adanya perubahan tersebut. Namun, apakah sudah dapat dipastikan bahwa dengan adanya perubahan tersebut sudah mampu menjamin adanya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik? Benarkah MPR sudah melakukan perubahan UUD 1945 secara sempurna seperti yang pernah dikatakan oleh Soerkarno? Hal ini tentu saja akan menjadi pertanyaan bersama. Namun, jika dilihat berdasarkan proses setelah perubahan Pada tahun 2002, MPR mengeluarkan TAP MPR RI No I/MPR/2002 tentang pembentukan komisi konstitusi. Apabila dicermati Komisi Konstitusi dibentuk dengan alasan bahwa rumusan perubahan I, II, III, dan IV yang dihasilkan MPR masih perlu dikaji secara komperehensif dan transparan. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa perubahan konstitusi yang sudah dilakukan masih memerlukan sebuah kajian yang lebih komperehensif.

Sebagaimana telah di paparkan sebelumnya, semangat untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 bukan merupakan hal sifatnya pragmatis semata dan hanya menguntungkan golongan tertentu saja. Namun hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga semangat dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik. Untuk itu, UUD 1945 juga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perubahan.

Hal ini secara tegas tercantum dalam ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang memberikan landasan untuk melakukan perubahan. Pengaturan ini merupakan sebuah bentuk penghormatan dari pembentuk konstitusi itu sendiri bahwa konstitusi merupakan produk manusia yang tidak terhindarkan dari adanya kesalahan. Untuk itu, secara yuridis terdapat ketentuan yang mengatur perubahan konstitusi tersebut.

Di sisi lain, dapat diketahui bahwa perkembangan reformasi nasional telah berlangsung cukup lama. Jika dihitung mulai dari penyelesaian agenda perubahan konstitusi pada tahun 2002 (Perubahan Keempat UUD 1945), maka pengalaman bangsa mempraktikkan sistem dan mekanisme ketatanegaraan yang baru selama masa reformasi telah berlangsung hampir 11 tahun. Untuk itu, praktik-praktik ketatanegaran yang sudah dialami, cukup dijadikan bahan evaluasi, apakah sistem ketatanegaraan yang tercermin dalam perumusan UUD 1945 pasca reformasi sudah cukup lengkap dan memadai sebagai sumber hukum tertinggi atau masih ada hal-hal yang harus diperbaiki, ditambah atau dikurangi sebagaimana mestinya.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan yang muncul bukan hanya disebabkan oleh sistem ketatanegaraannya, tetapi dikarenakan praktik penyelenggaraannya. Namun, hal ini juga tidak menjadi alasan pembenar untuk tidak melakukan proses evaluasi terhadap sistem ketatanegaraan dan merancang beberapa gagasan perbaikan terhadap materi Undang-Undang Dasar.

Independensi dan Akuntabilitas Yudikatif

Kekuasaan kehakiman menjadi pilar yang penting dalam menjalankan sistem ketatanegaraan Indonesia. Hasil perubahan UUD 1945 sudah tepat dalam merumuskan bahwa kekuasaan kehakiman bersifat merdeka, independen. Namun apabila dicermati, masih terdapat permasalahan dalam rumusan independensi kekuasaan yudikatif, dimana masih mengandung kekaburan.

Dalam hal ini, tidak cukup jelas apakah UUD 1945 menganut independensi personal ataukah independensi kelembagaan, ataukah keduanya. Jika memang telah disepakati bahwa independensi mencakup keduanya, maka perlu dirumuskan secara jelas dalam UUD 1945, sehingga dampak buruk dari kekaburan rumusan dapat terhindarkan, misalnya intervensi politik dalam kekuasaan kehakiman. Tentunya tujuan utamanya adalah memberikan perlindungan terhadap kekuasaan kehakiman itu sendiri.

Permasalahan yang kemudian muncul terkait dengan perekrutan hakim. Ada pendapat yang menyatakan bahwa perekrutan hakim memang sifat dasarnya mengandung unsur politis, misalnya saja dalam perekrutan hakim MK, dimana tiga hakim dipilih oleh DPR, tiga hakim juga dipilih oleh Presiden dan tiga hakim dipilih oleh MA.

Disini, tentu saja unsur politis tidak dapat terhindarkan. Disinilah seharusnya Komisi Yudisial (KY) dilibatkan untuk mereduksi unsur politis tersebut. Pemeranan KY dalam perekrutan hakim MK mungkin membutuhkan amandemen konstitusi, sehingga terdapat landasan konstitusional yang kuat bagi KY dalam melakukan hal tersebut.

Di sisi lain, keberadaan KY juga perlu mendapatkan sorotan. Meskipun keberadaannya sudah tepat, namun penempatannya dalam UUD 1945 dan pola hubungannya dengan lembaga lain menimbulkan banyak sorotan. Apalagi terkait dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh KY terhadap hakim. Padahal disebutkan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dengan menggunakan kata “merdeka”. Semestinya akuntabilitas juga diletakkan sama tingginya dengan independensi sehinnga ada landasan konstitusinal yang kuat bagi KY dalam melakukan proses pengawasan terhadap hakim.

Sistem Presidentil dan Sistem Multi-Partai

Konstitusi tidak secara tegas menyebutkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial. Untuk itu, perlu dinyatakan secara tegas dalam konstitusi jika memang diinginkan untuk mempertahankan dan memperkuat sistem presidensial.

Selain itu, kondisi multi partai membawa implikasi bagi efektifitas sistem presidensial. Keberadan multi partai tidak cocok bagi penguatan sistem presidensial, karena cenderung meghasilakn pemerintahan yang didukung oleh minoritasdan menjadi tidak efektif.

Kondisi multi partai dan sistem presidensial akan menyebabkan lamanya waktu untuk melakukan konsolidasi demokrasi. Untuk itu, perlu penataan ulang dan memberikan usulan bahwa penataan sistem kepartaian diatur di tingkat undang-undang, bukan di UUD 1945.

Bikameralisme dan Pemberdayaan DPD

Amandemen UUD 1945 telah melahirkan parlemen dua kamar, yaitu DPR dan DPD. DPR adalah kamar yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat berdasarkan jumlah penduduk melalui pemilu. DPD adalah kamar lain yang dipilih dengan dasar kewilayahan atau territorial.

Bila ditinjau lebih lanjut, ide tentang bikameralisme selama proses amandemen UUD 1945 mendapatkan banyak pertentangan, sehingga rumusan yang dihasilkan tidak secara tegas menyebut sistem parlemen bikameral, serta hanya menempatkan DPD pada kedudukan dan peran yang marginal. Meskipun memiliki fungsi legislasi, pertimbangan dan fungsi pengawasan (Pasal 22D UUD 1945), tetapi kewenangan DPD dalam mewujudkan fungsi tersebut sangatlah terbatas.

Dengan adanya perbedaan unsur keterwakilan, maka seharusnya kamar di parlemen harus diatur seimbang. Kalau dengan adanya unsur perbedaan perwakilan namun tidak ada penyeimbangan kamar dalam parlemen, maka hakekatnya itu adalah unicameral, hal ini terlihat jelas dalam praktik penyelenggaraan Negara kita saat ini, misalnya saja dalam proses pembahasan rancangan undang-undang.

Untuk itu, mengingat hakekat dari bicameralism bahwa adanya kesamaan kedudukan dalam tiap kamar. Maka disinilah diperlukan penyempurnaan melalui perubahan kelima UUD 1945 terkait dengan pengaturan parlemen, yang pada dasarnya harus dilakukan untuk memberdayakan DPD sebagai instrument dari keterwakilan daerah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun