Mohon tunggu...
Pendidikan Pilihan

Berburu Gelar Doktor ke Malaysia

17 April 2019   02:26 Diperbarui: 17 April 2019   02:40 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tahukah Anda, kalau ratusan atau mungkin ribuan dosen Indonesia setiap tahunnya sedang berburu gelar doktor (S-3) di banyak universitas di Malaysia? Tahukah Anda kalau ada ratusan bahkan juga mungkin ribuan dosen Indonesia yang dijerat calo perguruan tinggi Malaysia untuk menuntut ijazah doktoral di sana? Lantas, pertanyaannya kenapa dosen-dosen kita harus pergi belajar ke Malaysia? Bermutu kah perguruan tinggi di negara jiran itu? 

Jujur saja, tidak ada data yang jelas berapa banyak dosen Indonesia yang sedang menuntut ilmu hingga tingkat doktor di Malaysia. Sebagai catatan, tulisan ini hanya menyoroti dosen, bukan profesi lain. Catatan lagi, dosen yang kita bahas dalam tulisan ini adalah dosen di banyak perguruan tinggi di Indonesia (umumnya perguruan tinggi swasta) yang membayar biaya kuliahnya dengan uang sendiri. Bukan dibayar negara atau mendapatkan beasiswa dari LPDP-nya Kementerian Keuangan. 

Sebagai mantan mahasiswa S-3 di sebuah perguruan tinggi di Malaysia, saya coba jawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi, mohon maaf jawaban saya lebih banyak didasarkan pada observasi saja, tidak disertai data yang akurat. Karena untuk mencari data yang akurat itu susah. Nanti saya jelaskan penyebabnya.

Pertanyaan pertama, benarkah ada ratusan bahkan mungkin ribuan dosen Indonesia menuntut ilmu khususnya S-3 di Malaysia?

Saya berani memprediksi ada ribuan dosen kita belajar di Malaysia karena saya menyaksikan sendiri ada puluhan bahkan ratusan muka-muka dan logat wong Indonesia di universitas saya tempat belajar di sebuah kota di Malaysia. Tak usah deh disebut nama kota dan universitasnya. 

Dosen-dosen Indonesia itu mudah ditemui saat menunaikan ibadah salat di masjid universitas. Lebih mudah lagi, melihatnya di saat bulan puasa karena masjid di universitas itu banyak  warga Indonesia untuk salat Tarawih. Dengan berbasa-basi dan tanya-tanya sekadarnya,  baru terungkap (hampir) seluruhnya mereka adalah dosen dari berbagai universitas di Indonesia.

Jadi, jangan cari sesama dosen Indonesia di perpustakaan. Atau di kantin universitas. Apalagi, muka orang Thailand, Myanmar atau orang Malaysia sendiri, mirip seperti orang Indonesia.

Selain itu, saya punya teman sesama dosen yang kuliah di universitas lain di Malaysia yang juga mengatakan di kampusnya banyak dosen Indonesia sedang belajar. Salah satu buktinya, ia menunjukkan  ada belasan mahasiswa S-3 dari Indonesia berfoto bersama pensyarahnya (bahasa malaysia  untuk profesor/promotor).

Universitas tempat belajar pun beragam. Tidak hanya yang berlokasi di Kualalumpur atau di Penang, tapi juga mereka belajar di universitas di sebuah kota kecil ya di sebelah utara Malaysia yang dekat dengan perbatasan Thailand. Namanya, Universitas Utara Malaysia. Ilmu yang dituntut pun beragam. Dari ekonomi, politik, agama hingga teknologi tingkat tinggi seperti mesin pesawat.

Kenapa dosen Indonesia yang mengejar gelar S-3 di Malaysia tidak terdata?

Itulah hebatnya Malaysia. Mereka tahu dosen Indonesia diharuskan untuk bergelar doktor. Sementara, dosen Indonesia tidak mungkin stay minimal tiga tahun untuk tinggal dan kuliah di negara mereka. Jadi, mereka pun membuat semacam kurikulum yang memungkinkan dosen Indonesia cukup bertemu pensyarahnya sekali atau dua kali atau tiga kali per semester. Tak perlu duduk belajar manis di bangku kuliah. Cukup temu muka saja di bilik (ruang) sang profesor. Kalau perlu buat janji di kantin atau kedai yang banyak betebaran di luar universitas.

Alhasil, dosen Indonesia tak perlu repot mengurus visa belajar. Cukup menggunakan visa turis. Toh, hanya dua atau tiga hari saja di sana. Dua atau tiga bulan lagi, buat janji dengan sang promotor untuk bertemu kembali. Itu pun paling lama seminggu di Malaysia karena sambil liburan. Kondisi  inilah yang membuat pemerintah kita susah mengetahui data pasti dosen kita yang tengah belajar di Malaysia. Sama seperti orang Indonesia yang berobat ke rumah sakit di Malaysia, saya kira pemerintah kita tidak punya data yang konkrit. Karena pasien-pasien dari Indonesia itu berobat dengan menggunakan visa turis dan tidak pernah mendaftar di KBRI sana.

Jadi, ibaratnya pemerintah Malaysia itu demi kocek devisa mereka menawarkan berlibur sambil chek up atau berobat di Malaysia. Buat dosen-dosen di Indonesia, Malaysia menawarkan bercuti sambil kuliah doktoral.

Lantas, kenapa dosen Indonesia memilih Malaysia untuk kuliah S-3?

Pertama, soal bahasa. Banyak universitas di Malaysia yang tidak terlalu mensyaratkan berbahasa Inggris untuk penulisan thesis (di Indonesia disertasi). Mereka tahu kok kelemahan orang Indonesia. Adanya kemiripan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia, memudahkan dosen Indonesia berkomunikasi dengan profesornya atau dosen pembimbingnya. Meskipun berdasarkan pengalaman, biasanya orang Malaysia yang terdidik (seperti dosen atau profesor) kalau sudah menjelaskan sesuatu atau materi yang rumit, otomatis bahasa Inggris mereka keluar. Kita pun melongo, hingga si profesor sadar kita gak ngarti.

Kedua, biaya. Biaya kuliah doktor di Indonesia rata-rata mencapai Rp 15-20 juta per semester. Di Malaysia, untuk universitas tertentu biaya kuliahnya bisa Rp 10-12 juta. Selisihnya, bisa dimanfaatakan untuk  biaya tiket plus akomodasi di Malaysia (minimal dua kali bertemu pembimbing per semester). Jadi,  hampir sama atau sedikit lebih mahal biayanya antara kuliah S-3  di Indonesia dengan Malaysia.

Bagi dosen Indonesia yang tinggal di Banda Aceh, Medan, atau Pekanbaru, malah lebih murah biaya tiket pesawatnya ke Penang atau ke Kualalumpur. Daripada mereka kuliah S-3 di Jakarta, Bandung, atau ke Yogyakarta.

Ketiga, mendaftar dan menjadi mahasiswa doktor di universitas Malaysia gak seribet di Indonesia. Mohon maaf, ini pengalaman saya saja ya. Saya pernah menyaksikan teman saya sesama dosen ketika ujian masuk S-3 di sebuah universitas terkenal di Indonesia, proposalnya dilempar ke meja oleh sang penguji. Katanya, proposal Anda tidak layak,  lebih bagus judul skripsi...

Di universitas Malaysia, (hehehe ini pengalaman saya juga ya), saya hanya menyerahkan selembar judul thesis (disertasi)  dan ringkasan proposal. Oleh dekan universitas dibaca kemudian disarankan sejumlah nama promotor untuk saya hubungi. Cukup lewat handphone. Setelah itu saya kontak satu per satu, hingga ada profesor yang setuju untuk membimbing. Sederhana saja...

Keempat, susah untuk jadi mahasiswa S-3 di Indonesia. Ya, susah ujiannya, susah persyaratannya, susah karena jumlah kursi terbatas. Dosen Indonesia bersaing bukan dengan sesama dosen. Tapi, bersaing dengan pengusaha, pejabat, pengacara, artis, politisi terkenal yang mereka punya uang dan koneksi. Padahal, gelar doktor yang mereka gondol, ga ada manfaatnya untuk kehidupan mereka.

Sementara dosen Indonesia "dipaksa" untuk kuliah S-3 demi mengejar kepangkatan lektor kepala atau  profesor atau demi uang sertifikasi dosen yang akan bertambah seiring dengan penambahan gelar doktor.

Kelima, dosen-dosen di Indonesia banyak dijerat calo untuk kuliah di Malaysia. Ironisnya, calo ini kebanyakan justru sesama dosen Indonesia juga. Calo ini akan mendapatkan fee dari universitas yang berhasil memikat dosen Indonesia untuk kuliah di sana. Dengan bujuk rayu, si calo ini menjamin dosen Indonesia mudah dan cepat mendapatkan gelar doktor. Bahkan, berjanji untuk ikut memuluskan jalan meraih gelar doktor.

Tapi, apakah benar mudah meraih gelar Phd di universitas di Malaysia?

Wah...nanti dulu. Butuh tenaga dan keseriusan yang benar-benar serius untuk bisa diwisuda menjadi doktor di sana. Anda bisa saja mudah mendaftar dan terdaftar jadi mahasiswa S-3. Tapi untuk lulus, itu cerita lain. Universitas di Malaysia ga mau main-main. Mereka punya standar yang tidak bisa dipermainkan dan dikompromikan.

Apa akibatnya? Saya tidak berani bicara soal jumlah. Tapi, saya yakin banyak dosen Indonesia yang gagal. Ini pengalaman saya. Satu angkatan saya mendaftar di sebuah universitas di Malaysia, sebanyak 14 dosen (berbeda fakultas dan school), cuma dua yang lulus. Sisanya berguguran dengan banyak alasan. 

Faktor gagal, utamanya, dosen Indonesia karena sudah dibujuk rayu duluan seolah segalanya mudah kuliah dan mudah dapat gelar doktor di universitas di Malaysia. Akibatnya, banyak dosen Indonesia yang tidak serius dan susah untuk serius. Setelah satu atau dua tahun bahkan lima tahun bolak-balik RI-Malaysia, mereka pun mundur bahkan  dinyatakan tidak lulus pas ujian sidang akhir.

Ibaratnya, kuliah S-3 di Malaysia, masuk mudah keluar susah. Kuliah S-3 di Indonesia, masuk susah, keluar juga susah.hahhhha

Tapi, itulah kecerdikan Malaysia. Buat mereka toh, sudah dapat devisa dari uang kuliah, uang makan, uang pesawat, uang liburan, uang beli oleh2 dan beli barang dari dosen-dosen Indonesia yang gagal. 

Lantas, kenapa kok masih berbondong-bondong dosen Indonesia masih mau kuliah S-3 di Malaysia? 

Selama dosen Indonesia diharuskan bergelar S-3 dan dikaitkan dengan berbagai fasilitas yang akan diterimanya dan selama universitas kita lebih berorientasi pada bisnis S-3, saya rasa mimpi muluk kuliah dan mengejar S-3 lebih mudah di Malaysia akan terus hinggap di benak dosen kita. Ditambah lagi mulut manis calo dan jaring "penjerat" kaki tangan universitas Malaysia di Indonesia.

Tapi, sekali lagi itu pengalaman pribadi...ya, mungkin berbeda dengan sesama rekan dosen yang lain...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun