Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PDIP, Gerindra & Nasdem, Maukah Jadi Pioner Transformasi Parpol Indonesia?

7 Maret 2016   13:22 Diperbarui: 8 Maret 2016   00:31 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: insideflows.org (Gambar dimodifikasi)"][/caption]

Saya tidak punya hubungan khusus dengan ketiga Parpol ini.  PDIP, Gerindra, maupun Nasdem. Hubungan saya sama saja dengan Parpol lain, seperti PD, Golkar, PKB (dulu jamannya Gus Dur), datar! Hanya kenal lewat media. Tetapi, melihat historisitas, potensiliatis,  ketepatan situasi, dan faktor kepemimpinan, saya yakin ketiga parpol ini memiliki peluang paling besar memainkan peran pioner, pendobrak dalam disain transformasi Partai Politik di Indonesia. Sebuah kesempatan untuk membuka gerbang baru menuju era politik mutakhir Indonesia ke masa depan.

Naik turunnya capaian, ditandai dengan gonta-gantinya pemenang di Pemilu setiap periode 5 tahunan pasca reformasi, juga bisa terbaca di Pileg dan Pilkada, dan berbagai even politik lainnya bisa dipahami dengan analisis iceberg tool dalam pendekatan system thinking. Terlihat di permukaan gunung es hanyalah gejala, bukan realitas sebenarnya. Kita perlu melongok ke bawah, masuk ke kedalaman struktur politik (masyarakat) untuk memetakan pola dan dinamika pergerakan serta  pergeseran “selera pemilih.” Secara umum, gejala di puncak gunung es, di permukaan lanskap politik Indonesia dewasa ini merupakan manifestasi dari keuletan treatment  (perlakuan) eksperimentatif  pemilih di dasar struktur, berkaitan dengan trust dan harapan pada Parpol pilihannya.      

Kalau disimulasikan, akan terlihat dinamika yang sangat tinggi, menampilkan perubahan cepat angka-angka capaian dan gerak datar-naik-turun grafik dari pemilu ke pemilu. Sebuah instabilitas. Sebuah kegamangan, Kegalauan.  Disorientasi. Seperti melihat tingkah pacar yang tiba-tiba berubah. Tidak sesuai ekpektasi. 

 [caption caption="sumber: Data diiolah dari berbagai sumber"]

[/caption]

Tetapi juga, bisa dilihat sebagai cerminan kreatifitas kalangan pemilih yang sedang menukar-nakir selera, menimbang-nimbang dan menguji kepercayaan. Massa terdesak untuk membuat dobrakan keras agar menembus beton keresahan dan kebingungan membaca ketidakpastian bangunan Parpol. Parpol yang cetak birunya nasionalis, tetapi di level praksis perilaku politiknya teramati primordial. Atau, parpol bercitra agamais oleh pertimbangan pragtmatis menjadi nasionalis atau bahkan tindakan bias agama. Benturan-benturan antara platform Parpol dengan perilaku politik yang diragakan menncerminkan adanya disorientasi. Diperparah lagi dengan inkompetensi “wakil parpol” di lembaga-lembaga legislatif (DPR/DPRD/DPR Kota), juga di kementerian sebagai hasil transaksi politik, membuat citra Parpol makin buruk di mata publik. Belum lagi keterlibatan dalam korupasi, pelaku kekerasan, sikap arogan, dan kejahatan lainnya yang melorotkan indeks persepsi publik.

Sejak kemenangan telaknya di Pemilu 1999, PDIP secara meyakinkan mengalami penurunan drastis pada Pemilu-pemilu selanjutnya, yaitu 2004 dan 2009. Kempimpinan Megawati, baik ketika menjadi Wapres dari Presiden Gus Dur (Abdulrachman Wahid) maupun ketika menggantikan Gus Dur sebagai Presiden tidak cukup meyakinkan. Keterlibatan kader-kader PDIP dalam sejumlah kasus korupsi menggerus level kepercayaan publik. Pemilih lalu mencoba kembali mengadu nasib dan harapan pada Golkar di Pemilu 2004. Namun dibawah kepemimpinan Golkar pun kepentingan dan dinamika kebutuhan masyarakat tidak terjawab.  Partai Demokrat yang baru berdiri dan menjadi peserta pemilu di tahun 2004 awalnya menjanjikan dengan langsung merebut 10% suara pemilih. Pemilu 2009 secara tak terduga merebut simpati publik dan menjadi pemenang pemilu. Tetapi juga mengecewakan. Selain sikap presiden SBY yang serba ragu dan terkesan lamban, banyak pula kader Demokrat terlibat korupsi, termasuk Ketua Umum (Anas Ubraningrum) dan beberapa pimpinan terasnya. Pertanyaan menarik adalah, mengapa tiba-tiba PDIP mengalami kenaikan drastis di Pemilu 2014? Kalau diperhatikan grafik di atas, dalam Pemilu 2014 hanya PDIP yang mengalami kenaikan drastis, sementara Parpol Golkar dan Demokrat mengalami penurunan. Berbarengan dengan peningkatan perolehan suara PDIP grafik pemilih GOLPUT menurun tajam. Itu bisa berarti banyak pemilih yang pada Pemilu sebelumnya Golput akhirnya memberikan  suara ke PDIP pada Pemilu 2014. Faktor apa yang sangat berkontribusi bagi kenaikan perolehan suara PDIP ini? Jawabanya jelas, faktor Joko Widodo, atau Jokowi effect. Maka, kesimpulannya jelas, yaitu mesin partai politik rapuh dan tidak cukup diandalkan berkontribusi bagi kemenangan parpol di sebuah even politik. Ini gejala umum pada semua Parpol.   

 [caption caption="sumber: Data diiolah dari berbagai sumber"]

[/caption]

Faktor terkuat sebagai pengikat loyalitas pemilih hanyalah  pada kharisma “pemilik”  Parpol, yang direpresentasikan oleh pimpinan tertingginya.  Dan, ini merupakan citra umum Parpol yang terpelihara hingga saat ini. Sebuah gejala yang menjelaskan kegagalan sistem me-produksi (memproses) resourses parpol menjadi uotput untuk membangun keberlanjutan (sustainabilitas). Di sini dapat berpotensi menjadi kekuatan (yang sangat positif bila digunakan secara tepat), tetapi juga kelemahan yang memproduksi virus berbahaya melumpuhkan Parpol untuk bergerak maju  ke masa depan.

Puncak dari keresahan dan kebingunan masyarakat melihat ragaan dan bangunan parpol yang goyah, labil, inkompeten dan citra buruk lainnya yang melekat, terpola dalam konfigurasi bangunan baru yang disebut  “jalur independen” dalam sistem politik Indonesia mutakhir. Ini adalah jalur tandingan bagi Parpol, yang lahir dari rahim keresahan dan dis-trust terhadap Parpol sebagai ibunya, dan semangat besar mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai bapaknya. Lahir dari hasil senggama antara yang hitam dan putih, kegelapan dan orientasi cahaya, frustrasi dan harapan, jalur alternatif memiliki DNA kolaboratif yang unik dan unggul. 

Sayangnya, perjuangan mengembangkan jalur alternatif ini ke “istana persiden” masih kandas lantaran terjebak di jalur tol “kemacetan berpikir dan ketakutan”  wakil-wakil  parpol di DPR. Para anggota legislatif ini menggunakan kewenangan formalnya untuk menutup mati jalur alternatif yang masih jabang ini, dengan maksud supaya Parpol memiliki otoritas tunggal menggunakan jalan tol ke Istana. Meski macet dan carut-marutnya sudah tidak ketulungan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun