Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Natal 2015, Tidak Hanya Seremoni

26 Desember 2015   00:34 Diperbarui: 26 Desember 2015   01:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Natal merupakan hari raya istimewa bagi umat Kristen. Disebut istimewa karena memperingati hari lahir Yesus Kristus, yang diimani sebagai Al Masehi, Tuhan dan Juru Selamat Dunia, Raja Damai, dan Anak Allah. Membandingkan status dan suasana kelahiran Yesus Krsitus menjadi sebuah ironi yang tajam. Sebagaimana diketahui, Yesus lahir di kandang domba, lalu diletakkan didalam palungan. Palungan adalah tempat menaruh makanan dan minuman ternak. Bagaimana mungkin, seorang yang disebut Raja, bahkan Tuhan, lahir di tempat yang hina seperti itu?  

Terlepas dari ironi tajam macam itu, situasi kelahiran Yesus Kristus, sebagaimana diberitakan malaikat Gabriel (Jibrail) yang membawa kabar suka cita itu ditunjukkan Allah dalam kesederhanaan total. Sebuah hantaman keras bagi manusia, yang melekatkan status raja dan kekuasaan pada simbol kemewahan istana, singgasana emas, kejayaan, kekayaan, penguasaan wilayah, mahkota berlian, kereta emas, dayang-dayang, pasukan gagah berani, dan sebagainya. Melalui bayi Natal, Allah melucuti semua kriteria agung manusia.

Sebuah peringatan keras, bahwa manusia yang merupakan duta Allah, khalifah (wakil Allah), telah menyimpang dari tujuan pengutusannya. Ia telah meleset dari misi kekhalifaannya, dan mungkin telah tersesat dari identitas ke-surga-annya. Maka, peristiwa Natal sepenuhnya membongkar kesesatan manusia dengan menunjukkan kesenjangan yang tak terjembatani antara kriteria Allah dan kriteria para duta atau wakil-Nya di alam semesta.  

Allah datang dalam humilitas. Ini mungkin tidak diharapkan. Tidak dibayangkan. Ia menanggalkan status istimewa-Nya untuk menjamah manusia, utusan-Nya, justru melalui wujud kaum pinggiran. Ia melebur total dalam kemanusiaan,  dan mengambil peran sebagai yang terhina. Kodrat rendah dalam kotak-kotak kelas manusia. Ituah sebabnya Ia tidak dikenal, bahkan disangkal.  

Tindakan Allah seperti itu sesungguhnya sangat beresiko. Sebuah tindakan kesembronoan. Bagaimana mungkin mempromosikan seorang Raja, Anak Surga, lewat cara rendahan menurut pandangan manusia yang menjadi target promosi? Bukankah lebih mudah, misalnya kalau Ia dilahirkan sebagai anak kerajaan Romawi yang sangat berpengaruh, yang ketika itu menjadi "penguasa dan super power dunia"? Atau, bisa saja dengan kedaulatan Pencipta,  Anak raja itu diturunkan langsung dari surga dengan segala keagungan Ilahi, tepat ditengah-tengah kerumunan kelompok manusia yang paling berkuasa sehingga langsung menciptakan kehebohan yang tuntas, lalu membungkam segala kuasa dunia. Itu pasti lebih masuk akal. Itulah sebabnya, saya yakin kalau peristiwa itu terjadi saat ini, di jaman kita ini, di Indonesia, sudah pasti sebagian besar menolak sama sekali untuk percaya. 

Kalau saja tidak ada pemberitaan Malaikat Gabriel sebelum kelahiran-Nya, juga kesaksian Para Majus dari Timur yang mencarinya dengan memedomani bintang timur demi membawa persembahan bagi Sang Raja,  juga kesaksian Yohanes Pembabtis, bagaimana mungkin Ia akan diterima dan diimani sebagai Tuhan? Kesaksian-kesaksian hidupannya, keajaiban-keajaiban yang diciptakan-Nya menyebabkan yang sangsi jadi percaya, yang ragu menjadi kokoh. Bahkan, seorang muda yang dididik khusus dengan kecerdasan dan kuasa untuk menghabisi-Nya, yaitu Saulus, takluk dan berbalik total menjadi saksi ke-Tuhanan-Nya hingga kematiannya.  

Jadi, Natal sejatinya adalah peristiwa istimewa dimana "Allah melawat ciptaan-Nya lewat kesederhanaan."  Allah, yang transenden, Maha Pencipta, Maha Kuasa dan pemilik segala ke-Maha-an itu merendahkan diri agar menjumpai ciptaan-Nya, membawa mereka kembali dari kesesatan ke jalan yang lurus, yaitu jalan Allah, jalan damai sejahtera. Sebuah tanda solidaritas Alah kepada manusia yang telah jatuh. Maka, semua tindakan "kesembronoan dan ketidakmasukaakalan" dipilih Allah sebagai jalan untuk menunjukkan cinta kasih-Nya yang tak terbatas dan tak bersyarat kepada umat ciptaan-Nya.  

Namun, kini Natal tidak saja telah mengalami pengikisan subtansi, tetapi pergeseran makna. Natal juga cenderung menjadi sekadar seremoni rutin tahunan,  yang dijalankan tanpa memasuki  hakikat kedalaman maknanya. Ini nyata dengan mengamati cara hidup dan capaian manusia saat ini. Dekadensi moral, korupsi, kehidupan yang memuja materi, krisis solidaritas, perang dan teror, merupakan sejumlah kondisi yang kontras dengan pesan natal. Demikian pula, perayaan natal yang menonjolkan kemewahan dan kemegahan, tanpa dibarengi sikap rendah dan tulus berbagi kasih dan sukacita merupakan sikap yang jauh dari makna eksistensial natal itu sendiri.  

Beberapa waktu lalu, akhir November 2015, dalam suasana duka dan galau terkait pemboman di Paris yang membunuh ratusan orang, secara beruntun diikuti pengeboman pesawat Rusia yang membunuh dua ratusan orang, Paus Frasiskus memberikan pernyataan keras, bahwa "Natal hanyalah sanidwara, dan menjadi tak bermakna sebab dunia labih memilih perang."  Dalam khotbah natal 24 Desember 2015, pemimpin tertinggi Gereja Katolik  dengan jumlah umat mencai sekitar 1,2 Milyar itu mengkritik keras kehidupan materialisme dan mengingatkan kembali makna sejati peristiwa Natal.  "Dalam sebuah masyarakat yang sering kali dimabukkan dengan konsumerisme dan hedonisme, kekayaan dan pemborosan, penampilan dan narsisme, anak ini (bayi Yesus, penulis) menyerukan kepada kita untuk bertindak dengan ketenangan hati, dengan kata lain, dengan cara yang sederhana, seimbang, konsisten, dapat melihat dan melakukan apa yang dianggap perlu," ujar Paus. 

Meski dunia masih dibayangi aksis teror, kita beruntung di Indonesia karena perayaan Natal tahun ini berjalan aman dan dalam kenyamanan suasana hubungan yang harmoni. Tidak saja antara umat beragama, melainkan juga antara masyarakat dengan pemerintah, dengan kepolisian, tentara, dan sebagainya. Di sebagian tempat di Indonesia, seperti dilaporkan, umat Islam dan umat lainnya ikut menjaga keamanan perayaan natal di gereja. Suasana penuh kedamaian, keakraban, saling menolong, saling berbagi, semuanya itu memberi gambaran makna natal yang sesunggunya. 

Sebuah bonus besar bahwa Natal tahun 2015 diperingati, hanya selisih satu hari dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad 1437 H, yang tahun ini jatuh pada tanggal 24 Desember. Selamat Natal 2015 bagi umat Kristiani, juga selamat merayakan Maulid Nabi bagi umat Islam. Kiranya Damai Natal menyertai kita sekalian! 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun