Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pemuja Survei Internal

19 April 2019   12:08 Diperbarui: 22 April 2019   12:41 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.hersubenoarief.com/

Pesta demokrasi telah usai. Semua konstestan sudah bekerja keras. Bukan hanya pada saat pesta berlangsung, melainkan sepanjang karier mencipta jejak menuju 'kondisi kepantasan' menjadi pemimpin eksekutif di salah satu negara terbesar di planet biru ini. Dan, kini setiap konstetan siap memanen sesuai hasil kerja diri dan timnya. Tidak pantas kalau kinerja kecil atau tidak ada namun mengharapkan panenan melimpah. Itu bertentangan dengan hukum tabur-tuai di alam.

Untuk sementara semua hasil survei lembaga yang diberi mandat oleh KPU mengindikasikan keunggulan pihak lawan. Hasil itu ditolak karena dianggap telah berpihak (tidak independen). Sebaliknya, lebih memercayai survei yang dibuat sendiri. Apakah survei internal lebih indenden? Kacaunya lagi, dengan berpatokan pada hasil survei buatan sendiri itu, kemenangan pilpres di negara berpenduduk mendekati 300 juta ini langsung dideklarasikan sepihak. Dengan deklarasi itu lalu para pendukung diminta menjaga "tropi kemenangan" agar tidak dicuri. Narasi ini berpijak diatas asumsi (dasar keyakinan) berbahaya, yang bernuansa pengkondisian untuk "sesuatu yang berpotensi merusak." Asumsi-asumsi itu antara lain bahwa, 1) kubu kita sudah menang besar, yaitu 62 persen sehingga tidak akan bisa terkalahkan; 2) kubu lawan kalah telak tetapi tidak mau menerimanya dan hendak merebut kemenangan dari kita. Karena itu kita harus mengawal dan merebut kemenangan yang hendak dirampok dari kita. 3) Suasana kondisif seharusnya tetap terjaga, persaudaraan kebangsaan harus tetap terpelihara, karena itu kemenangan kami jangan sampai diganggugugat oleh pihak manapun; 4) kita bisa sabar menunggu real count KPU tetapi karena ada kecurangan maka hanya bisa diterima kalau sesuai hasil survei internal kita, kalau tidak sesuai harus ditolak.

Deklarasi kemenangan diperkuat dengan sujud syukur, menggiring Tuhan untuk mengesahkan kemenangan yang diklaim sendiri. Ini benar-benar menenggelamkan logika sehat, menyumbat jalan nalar dengan simbol agama dan Tuhan.  

Para "pasukan berani mati" yang selama ini dianggap rajanya konsolidasi massa jalanan seperti PA212 menyambut komando 'sang presiden hasil survei internal,'  yaitu 'panglima tertinggi' mereka dengan sigap dan siap! Seremoni kemenangan hendak dirayakan, sekali lagi dengan sujud syukur dan publisitas di ruang publik. Deklarasi sepihak ini menegasi dan mendelegitimasi semua institusi negara terkait penyelenggaraan pemilu.  

Ini sama dengan seorang ayah yang sedang bermain survei-surveian  dengan 3 orang anaknya yang masih bocah. Si ayah bertanya, kalau ayah maju jadi calon presiden bersaing dengan Jokowi dan Prabowo, anak-anak ayah akan pilih siapa? Ternyata dua diantaranya berteriak girang dengan penuh kepolosan, "ayaaah."  Si ayah menyimpulkan dirinya didukung 75% suara jadi memenangkan "pilpres."  Apakah hasil itu sah? Ya, sah, karenanya si ayah bisa jadi presiden di rumahnya sendiri! Demikianlah, karena Paslon no.2 dimenangkan oleh survei internal maka ia bisa menjadi presiden, hanya untuk internal kubunya.

Kita sebut saja pemuja survei internal. Para pemuja survei internal membuat survei sendiri, lalu menciptakan hasil sesuai keinginannya. Kemudian semua bersorak kegirangan, bahkan terheran-heran serta mengagumi kehebatannya mencetak prestasi berdasarkan angka survei internal. Kabar gembira lalu disebarkan ke semua kalangan untuk meyakini hasil survei mereka.  Dilanjutkan dengan ajakan sujud sembah kepada Sang Kuasa, seolah-olah angka itu diberikan oleh-Nya. Pada prinsipnya, mereka bukanlah memuja Tuhan, melainkan menyembah diri sendiri.

Menyedihkannya, para pemuja survei internal termasuk didalamnya orang-orang terhormat di mata masyarakat karena menyandang titel akademik bergengsi, bahkan Profesor,  juga pemegang jabatan-jabatan  keagamaan dengan berbagai atribut dan kharisma moralitas-religius yang melekat.  Mereka sangat disegani bahkan diagungkan masyarakat awam.  Keterlibatan dua peran (pendidik dan ulama) yang menempati struktur sosial kelas atas di masyarakat di dalam permainan politik kekuasaan  ini berpotensi membawa bencana.  Pertama; menggambarkan kualitas sumberdaya pendidikan kita. Survei sebagai instrumen ilmiah  untuk membantu memotret realitas dan kebenaran dibajak dan dilacurkan untuk mengkuantifikasi hasrat kuasa. Demikian pula, gelar-gelar mahkota pendidikan yang begitu agung yang melekat pada tokoh-tokoh dan para politisi, dengan tanpa sadar, demi nafsu kuasa digunakan mengendors realitas palsu. Atribut pendidikan dipaksa melegitimasi kebohongan-kebohongan. Misi suci pendidikan, antara lain untuk mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat,  menjadi alat mengungkap dan menguji kebenaran, juga pembentuk karakter kejujuran, kini ditangan para pemburu kuasa dimanipulasi sebagai alat pembenaran untuk meraih kursi kuasa, bahkan juga alat provokasi untuk meraih dukungan massa.

Kedua; menyeret simbol agama dan Tuhan kedalam politik praktis, yang tidak ditunjang dengan kinerja kerja dan moralitas politik berpotensi menghantam wibawa para ulama itu sendiri, sekaligus  melunturkan kharisma agama-agama. Di tengah perkembangan masyarakat dunia yang makin apatis terhadap agama, penyalahgunaan peran-peran dan simbol agama akan memperkuat apatisme, bahkan membuka gerbang lebar ke sikap antipati. Kekuatan agama sebagai sumber acuan moral dan kebenaran transenden, juga panduan sikap dan karakter kebaikan hidup bagi masyarakat pada akhirnya bisa kehilangan kredibilitas lantaran diobral hanya demi kepentingan-kepentingan sempit kekuasaan politik (duniawi). Ini bukan berkaitan dengan agama tertentu saja, melainkan martabat semua yang bernama agama dipertaruhkan di meja judi politik.

Orang-orang terdidik penyandang gelar pendidikan tinggi, juga para ulama dengan gelar dan simbol-simbol agama yang melekat padanya, sebaiknya menyadari bahaya bermain api di dunia politik praktis. Kalau tidak mampu hadir dengan mengkontribusikan visi agung pendidikan dan visi moral kemuliaan agama di dunia politik, sebaiknya mengambil jarak. Jangan sampai melacurkan keduanya demi kepentingan ego-centrisme (berpusat pada kepentingan diri) dan socio-centrisme (berpusat pada kepentingan kelompok), tanpa menyadari risiko dan bencana besar dibaliknya. Bencana itu adalah bencana peradaban, dan korbannya adalah umat manusia. 

Sekali lagi, jangan bermain api dengan memuja diri sendiri!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun