Namanya cukup unik, yaitu bukit Jokowi. Tentu saja menunjuk pada Presiden Joko Widodo. Dulunya bernama skyline lantaran letaknya di ketinggian dimana dari titik itu kota Jayapura dan sekitarnya terlihat begitu indah.
Bagaimana asal usul nama itu? Skyline sejak dulu memang menjadi salah satu titik favorit menikmati keindahan Jayapura dan sekitarnya. Tidak hanya para pengunjung dari luar kota Jayapura, masyarakat lokal pun memanfaatkan hari libur atau akhir minggu (weekend) untuk bersantai di Skyline.
Tidak terkecuali presiden Joko Widodo. Sewaktu pertamakali mengunjungi Jayapura tahun 2014, beliau juga ke skyline dan melihat kota Jayapura dari ketinggian. Â Dari titik ini, sang Presiden bisa menikmati suguhan pemandangan indah serta memantau perkembangan pekerjaan infrastruktur jalan dan jembatan yang sedang berjalan. Antara lain yang terlihat menonjol adalah jembatan Holtekamp yang menghubungkan kota Jayapura dengan distrik Muara Tami menuju Skow dan perbatasan PNG. Â
Hingga kini pekerjaan jembatan sudah sekitar 95% selesai dan segera digunakan pada bulan April 2019. Di Jayapura jembatan itu lebih populer disebut jembatan merah, yang nampaknya akan menjadi salah satu ikon kota Jayapura. Bangunan lain yang terlihat dari titik Skyline adalah pembangunan PLTU Holtekamp yang berkapasitas 2 x 10 Megawatt.
Kontur tanah bebukitan terhampar memanjang di latar pantai dimana air laut meriak tenang. Tanaman-tanaman rimbun, semak, dan rerumputan hijau melingkupi bebukitan memberi kesan alam yang kokoh namun ramah dan damai. Decak kagum spontan terucap. Skyline benar-benar sebuah spot favorit untuk karya fotografi, selfie, juga meditasi dan sekadar memperoleh ketenangan jiwa.
Kedatangan Presiden Jokowi ke lokasi itu disambut masyarakat dengan ritual adat menginjak piring, yang dalam tradisi masyarakat Biak merupakan bentuk ucapan Selamat Datang kepada tamu kehormatan. Â Lokasi yang luasnya tidak lebih dari 300-an meter persegi itu milik keluarga Korwa asal Biak.Â
Tadinya lokasi yang terlihat tandus dan tidak termanfaatkan itu sejak kunjungan kepala negara sekejab mengubah 'nasib' keluarga Korwa. Lokasi itu segera disulap menjadi tempat rekreasi, lalu keluarga kakak beradik Korwa membangun sejumlah Honai (rumah adat Papua) sebagai lapak kafe yang menjajakan makanan ringan, makanan, tempat ngopi, minuman ringan, Â kelapa muda dan lainnya.
Bila tenggal merah jauh lebih tinggi lagi karena pengunjung juga datang dari luar kota. Bayangkan! Itu baru pemasukan harian dari parkiran. Ibu Marice  Korwa yang menjajakan kelapa muda Rp.15.000/buah mengaku sehari-harinya bisa memperoleh penghasilan hingga 700-an ribu, dan mencapai dua kali lipat setiap akhir pekan, bahkan dihari libur bisa lebih lagi.
Kota Jayapura sendiri sesungguhnya terletak di sebuah lembah, yang dikelilingi oleh bebukitan di sebelah selatan, sementara sebelah utara adalah teluk Youtefa. Laut terlihat tenang bagaikan telaga.Â
Namun, itu sangat berbeda dengan pemandangan kejauhan pantai Koya dimana ombaknya menggulung berlapis-lapis menghantam pantai dan memecah menghamburan buih-buih putih ke udara. Maklumlah, di lokasi pantai Koya yang terlihat dari bukit Jokowi itu sudah berhadapan dengan laut lepas samudera Pasifik.
Dan, kita tahu bahwa di seluruh pelosok Indonesia terdapat banyak spot semacam skyline yang amat potensial. Tidak harus semua tempat indah diambil investor bermodal besar lalu menyisakan ampas dan sampah bagi masyarakat lokal.
Semoga, di tempat-tempat lain bisa muncul bukit-bukit Jokowi lainnya yang dikelola langsung oleh masyarakat sehingga benar-benar mandapatkan manfaat langsungnya.Â