Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Konsep Diri Menurut Plotinos

21 Januari 2019   22:35 Diperbarui: 21 Januari 2019   23:02 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.cie.ugent.be

"Jikalau kamu belum melihat keindahan jiwamu, berlakulah seperti orang pemahat yang ingin membuat patung indah. Ia akan mencongkel bagian ini, menggerus bagian itu. Ia akan menhakuskan bagian sini, membersihkan bagian situ, dan ia akan melakukannya terus sampai wajah indah patung itu keluar. Demikia juga halnya dengan kamu, cungkillah segala hal yang tidak perlu, benarjan apa-apa yang suram, murnikan segala yang gelap supaya bersniar, dan jangan pernah berhenti memahat patungmu sendiri sebelum keutamaan yang jernih dan ilahi muncul bersinar dari dirimu" (Plotinus, Enneades, 16, 9,7).

Metafora ini memberi gambaran yang sangat jelas tentang bagaimana sang diri menjalani penyempurnaan secara gradual dan berkelanjutan, dan bahwa dalam proses tersebut diri (subyek) berperan aktif. Setiap orang bertanggungjawab atas pengembangan dirinya dan terlibat secara langsung membentuknya.

Ia berhadapan dengan berbagai pilihan, dan setiap pilihan tindakan harusnya merupakan pilihan terbaik yang dilakukan dengan sadar agar mengarahkan pertumbuhan diri menuju kesejatian atau keluhuran jiwa.

Hirarkhi Realitas

Plotinus menggambarkan pengalamannya menurut tradisi Platonik sebagai hirarkhi realitas. Hirarkhi realitas sesungguhnya adalah hirarkhi dalam kehidupan, dan juga hirarkhi dalam diri. Menurut tradisi ini, urutannya mulai dari yang tertinggi adalah: SUPREME LEVEL (GOD) MATERI (ZAT) dan JIWA MANUSIA berada diantara keduanya. Saya mencoba menggambarkannya sebagai berikut:

Dokpri
Dokpri
Diri yang sejati (true self) berasal dari Yang Suci (devine),Yang Total atau Tuhan, turun ke "bawah" dan terjebak dalam tubuh / raga.  Tetapi kemudian ia keasyikan menikmati kebertubuhannya, seperti mementingkan keinginan badani, nasfu kekuasaan, nafsu seks, harta dan kekayaan material, kesenangan jasmani dan sebagainya. Diri lalu lebih banyak memoles dan menikmati eksterioritasnya. Akhirnya lupa pada hakikatnya yang sejati. Dengan sangat mengesankan Plotinus mengingatkan:

"Dulunya kamu adalah Yang Total, tetapi karena ada sesuatu yang ditambahkan kepadamu maka kamu bukan lagi Yang Total, oleh tambahan-tambahan itu kamu justru menjadi lebih kurang daripada Yang Total itu. Tambahan-tambahan itu sama sekali tidak bersifat positif (karena sebenarnya apa lagi yang bisa kita tambahkan kepada Yang Total?), semua tambahan-tambahan itu bersifat negatif. Saat kita menjadi "seseorang", artinya kita tidak lagi menjadi Yang Total, kita telah menambahan suatu negasi". (Plotinus, Enneades VI5, 12, 19)

Agar kembali ke hakikatnya itu, diri harus melakukan "latihan mati" (askesis) sebagai proses conversio (pembalikan) agar melepaskan diri dari keterikatan nafsu atau tubuhnya. Titik akhir dan titik tuju dari perjalanan diri (batin) adalah ketika jiwa telah menyatu kembali secara total dengan Tuhan, Higher Self atau Yang Total.

Dengan kata lain, ketika diri tidak lagi terbelah dua sebagai Tubuh dan Jiwa, melainkan telah menyatu sebagai Satu dalam Segalanya, dan Segalanya dalam Satu (One and All) bersama dengan Tuhan. Itulah diri sejati, dan True self atau self in God ini  tidak terpisah melainkan terdapat dalam diri.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran Plotinos dapat menerangi konteks kita di Indoensia. Pokok pemikiran Plotinos mengajarkan proses pengembangan diri dari yang duniawi kepada diri Ilahiah, dari diri yang tidak autentik kepada diri autentik, dari diri yang penuh  hawa nafsu kepada diri bijak dan intelek, diri yang subyektif menuju diri obyektif dan universal, diri yang terpisah dengan jiwa menjadi diri yang menyatu dalam kesatuan kosmis, dan pada akhirnya, menjadi diri yang menyatu dengan Tuhan.

Tuhan ada dalam diri dan diri ada dalam Tuhan sebagaimana diri ada dalam segala sesuatu dan segala sesuatu ada dalam diri. Dengan menjadikan 'kemenyatuan ilahi' sebagai titik orientasi bagi pertumbuhan diri, kita diingatkan oleh Plotinos untuk menjalani pertobatan atau pembalikan total (conversio) kepada hakikat diri sebagai makluk rohani, dan menjauhi segala nafsu serakah berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun