Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Konsep Diri Menurut Plotinos

21 Januari 2019   22:35 Diperbarui: 21 Januari 2019   23:02 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapakah manusia? Apakah diri itu? Pengenalan akan hakikat diri menjadi faktor esensial karena dapat menjadi titik start (titik awal), sekaligus titik tuju (pusat orientasi) untuk menjalani dan mengembangkan diri. Sebab, bagaimana orang bisa menjalani diri dan mengembangkan dirinya bila tidak tahu siapa dirinya itu, dan kemana sebaiknya ia bertumbuh?

Konsep pengembangan diri (self-development) ternyata bukan isu baru di abad super-modern ini. Sejak abad 4 SM konsep ini sudah diperkenalkan oleh para filsuf Yunani, terutama Platon dan kaum Stoicis. Pemikiran-pemikiran Platon kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh Plotinos.

"Metode" pengembangan diri dalam konsep berpikir filsafat ini cukup lengkap karena mengandung wawasan-wawasan spiritual yang sudah maju menjadikannya tetap penad di era milenial ini.

Dalam situasi bangsa yang menghadapi krisis multidemensi total, termasuk krisis identitas para pemimpinnya yang banyak terjerat kasus hukum, sikap hedonis yang sibuk merawat eksterioritas diri, para "dewa korupsi" yang mengobar nafsu dengan dikelilingi dayang-dayang pemuas seks, kiranya cahaya pemikiran para filsuf Yunani antik ini dapat menerangi kepekatan nurani dan memandu jalan kembali ke diri sejati, diri fitrah atau diri yang ilahiah. Krisis identitas hakikatnya adalah kesesatan, yaitu sesat dari diri sejati.

Dari Tubuh Menuju Jiwa
Sebagai murid Socrates, pemikiran Platon dipengaruhi oleh pemikiran sang guru. Bahkan, dalam kaitan dengan konsep diri, Platon menjadikan pengalaman hidup (dan mati) gurunya sebagai teladan. Diri harus makin sempuna dengan lebih memerhatikan kebutuhan pertumbuhan jiwa dibandingkan kebutuhan tubuh. Dan, untuk itu kematian pun tidak dapat menaklukkan semangat menyempurnakan jiwa dan kemenyatuan dengan Yang Utama atau Yang Total.

Dokpri
Dokpri
Plotinus, seorang filsuf pendiri neo Platonis (aliran yang menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran filsafat Platon) membedakan dengan tegas antara TUBUH dan JIWA. Ia melihat diri sebagai sebuah perjalanan dari "sifat-sifat duniawi atau jasmani" lewat simbol Tubuh/Nafsu menuju "sifat dan karakter yang ilahiah" lewat simbol Jiwa. Hakikatnya, manusia (diri) berasal dari Yang Utama (yaitu Spiritual, Jiwa, Yang Total) namun terjebak dalam raga yang digambarkan sebagai kuburan dan penjara (sma sma).

Kehidupan tidak lain dari perjalanan kembali sang Diri menuju hakikatnya. Itu dilakukan dengan cara mengambil jarak dan meninggalkan ikhwal duniawi lalu mengkontemplasikan realitas diri sejati yaitu jiwa yang rohaniah. Proses ini dicapai dengan metode "latihan mati," yang merupakan sebuah tindak pembalikan (conversio) dari nafsu ke jiwa. Conversio mungkin bisa dipahami dalam bahasa teologi sebagai pertobatan.  

Untuk memahami pembagian diri (pandangan dualitas) menurut Plotinus, saya mencoba merangkumnya dalam sebuah diagram. Diagram tersebut terdiri dari dua kolom sebelah menyebelah untuk menggambarkan keterpilahan Tubuh dan Jiwa, masing-masing dengan sifat, penanda dan asosiasinya.

Diantara kedua kolom tersebut terdapat kolom lain yang diberikan anak panah (arrow) untuk menggambarkan arah pertumbuhan diri (yaitu dari TUBUH ke JIWA) dan metode yang digunakan agar dapat mencapai jiwa.

Melalui metode latihan mati, conversio, konsentrasi pada keinginan jiwa, dan simplifikasi diri, orang (diri) dapat bertransformasi dari keadaan kebertubuhan (yang becirikan "keinginan daging") menuju kemurnian Jiwa yang bersifat ilahi, kemenyatuan kosmik, intelek dan sebagainya.

Proses menuju Jiwa ini digambarkan dengan sangat cerdas lewat metafora "sang Pemahat." Metafora ini digunakan untuk menggambarkan proses penemuan atau pencapaian diri sejati, sebagaimana dikutib oleh A.Setyo Wibowo (Basis No.09-10 tahun 2009) sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun