Bayangkan kamu pulang ke rumah setelah seharian bekerja atau belajar. Seharusnya, rumah adalah tempat paling aman dan nyaman untuk beristirahat, tempat kita merasa dicintai dan diterima. Tapi bagi sebagian orang, rumah justru menjadi tempat paling menakutkan. Bukan karena gelap atau sunyi, tapi karena ada seseorang di dalamnya yang menyakiti secara fisik, emosional, bahkan seksual.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan sekadar cerita di berita malam. Ia nyata, dekat, dan sering kali tersembunyi di balik dinding rumah yang tampak tenang. Banyak korban hidup dalam diam, menahan luka yang tak terlihat, karena takut dianggap memalukan, takut tidak dipercaya, atau takut kehilangan tempat tinggal dan anak-anaknya. Mereka terjebak dalam siklus kekerasan yang terus berulang, tanpa tahu bagaimana cara keluar.
Luka yang Tak Terlihat
KDRT bukan hanya soal tamparan atau pukulan. Luka yang ditinggalkan bisa jauh lebih dalam dan tidak selalu tampak di kulit. Kata-kata kasar, ancaman, kontrol berlebihan, bahkan penelantaran juga termasuk kekerasan. Banyak korban memilih diam, bukan karena kuat, tapi karena takut: takut disalahkan, takut tidak dipercaya, atau takut kehilangan segalanya.
Menurut Pratiwi (2020), KDRT adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ia merampas rasa aman, martabat, dan kebebasan seseorang. Dan yang paling menyedihkan, kekerasan ini sering dianggap "wajar" dalam rumah tangga. Banyak yang bilang, "Namanya juga rumah tangga, pasti ada ribut-ribut." Padahal, ada batas antara konflik dan kekerasan. Konflik bisa diselesaikan dengan komunikasi, tapi kekerasan adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan.
Luka emosional yang ditimbulkan oleh kekerasan psikis bisa bertahan lebih lama daripada luka fisik. Korban bisa kehilangan rasa percaya diri, merasa tidak berharga, dan mengalami gangguan mental seperti depresi atau PTSD. Dan karena luka ini tidak terlihat, sering kali orang di sekitar tidak menyadari bahwa seseorang sedang menderita.
Bentuk Kekerasan: Nggak Selalu Soal Pukulan
Kekerasan dalam rumah tangga punya banyak wajah. Ada kekerasan fisik seperti menampar, menendang, atau memukul. Tapi ada juga kekerasan psikis yang lebih halus: kata-kata kasar, ancaman, penghinaan, atau kontrol berlebihan yang membuat korban kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak berharga.
Sari (2021) menyebutkan bahwa kekerasan bisa muncul dari ketimpangan kekuasaan dalam relasi suami-istri, tekanan ekonomi, dan budaya patriarki. Kekerasan seksual juga sering terjadi, bahkan dalam pernikahan, seperti pemaksaan hubungan tanpa persetujuan. Dan jangan lupa, penelantaran rumah tangga seperti tidak diberi nafkah, dilarang bekerja, atau dikekang secara berlebihan juga termasuk kekerasan.
Kekerasan ekonomi, misalnya, terjadi ketika pasangan mengontrol seluruh keuangan dan tidak memberi akses kepada korban untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kekerasan sosial terjadi ketika korban dilarang berinteraksi dengan orang lain, bahkan keluarga sendiri. Semua bentuk itu sama-sama menyakitkan dan merusak, karena pada intinya, kekerasan adalah bentuk dominasi dan penghilangan hak seseorang untuk hidup bebas dan bermartabat.
Negara Harus Hadir, Bukan Sekadar Menonton