Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) sejatinya lahir sebagai upaya mulia pemerintah untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah layak huni. Namun, di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, program ini justru menjadi potret kegagalan pembangunan yang seharusnya berpihak pada rakyat kecil. Kasus dugaan korupsi dana BSPS tahun 2024 yang kini ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa Timur membuka tabir gelap praktik pembangunan yang tersandera oleh kepentingan ekonomi dan politik elite. Antaranews Jatim (2025), kasus dugaan korupsi BSPS di Sumenep telah naik ke tahap penyidikan, bahkan empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Kejati Jatim juga melakukan penggeledahan di delapan lokasi berbeda untuk menelusuri dugaan penyimpangan dana program tersebut. Dari laporan Merdeka.com (2025), kerugian negara yang timbul mencapai lebih dari Rp26 miliar angka yang sangat besar untuk sebuah program yang seharusnya menyentuh masyarakat miskin pedesaan. Sementara itu, Kabarmadura (2024) menulis bahwa program BSPS di Sumenep memang sejak awal sarat penyimpangan. Banyak penerima bantuan tidak sesuai sasaran, bahkan sebagian rumah yang seharusnya direnovasi tak tersentuh bantuan sama sekali. Kondisi ini juga diperkuat oleh pemberitaan RRI (2025) yang menyebut bahwa penanganan kasusnya kini diambil alih langsung oleh Kejati Jatim karena dinilai terlalu rumit dan melibatkan banyak pihak.
Melihat fenomena ini melalui kacamata Teori Ekonomi Politik Pembangunan Marxian, kita dapat memahami bahwa kegagalan BSPS Sumenep bukan sekadar soal teknis birokrasi atau lemahnya pengawasan. Dalam pandangan Marxian, pembangunan sering kali tidak netral ia justru menjadi alat bagi kelas berkuasa untuk mempertahankan dominasinya atas kelas yang lemah. Negara menurut Marx, kerap berfungsi sebagai instrumen kelas dominan (pemilik modal, pejabat, atau elite politik) untuk melanggengkan kepentingannya. Program pembangunan seperti BSPS, meskipun secara retorika disebut untuk rakyat, dalam praktiknya sering menjadi ajang distribusi sumber daya yang tidak adil. Dana bantuan yang seharusnya menjadi bentuk redistribusi kekayaan justru terjebak dalam mekanisme rente dan patronase. Kasus di Sumenep menggambarkan situasi itu dengan jelas. Ketimpangan informasi dan kekuasaan antara penerima manfaat dengan pelaksana program menciptakan ruang bagi praktik manipulasi. Kelompok elite birokrasi dan kontraktor lokal memegang kendali atas proyek, sementara masyarakat miskin penerima bantuan menjadi pihak yang paling tidak berdaya dalam proses tersebut. Pembangunan, dalam konteks ini, tidak lagi menjadi proses pemberdayaan, melainkan bentuk baru dari eksploitasi yang terselubung. Dengan demikian, teori Marxian membantu kita melihat bahwa masalah utamanya bukan hanya pada individu yang melakukan korupsi, tetapi pada struktur relasi kekuasaan dalam sistem pembangunan itu sendiri. Selama pembangunan masih beroperasi dalam logika kapitalistik di mana dana publik menjadi sarana akumulasi bagi segelintir pihak maka program seperti BSPS akan terus rentan diselewengkan.
Opini publik terhadap kasus BSPS Sumenep sering kali berhenti pada tuntutan agar pelaku ditangkap dan dihukum. Namun, jika memakai kacamata ekonomi politik Marxian, solusi yang dibutuhkan jauh lebih mendasar: membangun kesadaran kelas dan kontrol sosial atas program pembangunan. Masyarakat penerima bantuan perlu diberdayakan bukan hanya sebagai objek penerima, tetapi sebagai subjek yang memiliki kendali terhadap proses perencanaan dan pelaksanaan. Transparansi data penerima, pelibatan masyarakat sipil, dan audit publik harus menjadi prasyarat utama dalam setiap program sosial. Pemerintah daerah juga perlu mengubah cara pandang terhadap pembangunan bukan sebagai proyek, melainkan sebagai proses sosial yang harus diawasi dan dikritisi bersama. Tanpa perubahan paradigma ini, program seperti BSPS hanya akan terus menjadi alat retoris, bukan sarana pembebasan rakyat dari kemiskinan struktural
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI