Mohon tunggu...
Sella Faiddatur
Sella Faiddatur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa program studi Ekonomi Pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyorot Langkah Hijau Bank Indonesia, Apakah Sudah Tepat?

10 November 2023   09:17 Diperbarui: 10 November 2023   15:52 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perubahan iklim menjadi masalah yang dihadapi secara global. cara dan langkah mulai dilakukan semua negara di dunia untuk mengurangi dampak perubahan iklim saat ini. Indonesia juga tak luput berupaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim melalui penurunan emisi karbon. Bahkan Indonesia mentargetkan nol persen emisi karbon pada tahun 2060. Oleh karena itu, langkah transisi energi mulai dilakukan.

Bank sentral berperan penting untuk menyeimbangkan arah kebijakannya dengan pengaruh kualitas lingkungan. Fluktuasi suku bunga yang dikendalikan oleh Bank Indonesia mempengaruhi daya beli masyarakat yang juga menyebabkan perubahan pola kegiatan industri. Ketika daya beli masyarakat turun, maka produksi industri menjadi lebih sedikit dan permintaan energi menjadi rendah. Permintaan energi yang rendah akan membntu mengurangi emisi karbon di udara. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan moneter merupakan alat prediksi karbon yang signifikan.

Akan tetapi, kebijakan moneter saja belum cukup untuk menuju nol emisi karbon. Diperlukan langkah transisi yang menyentuh masyarakat secara langsung. Pada akhir 2019, Bank Indonesia mengeluarkan serangkaian kebijakan makroprudensial yaitu LTV/FTV hijau berupa pemberian kredit hingga 100% untuk properti yang berwawasan lingkungan dan RPIM hijau. Dikuti dari Bank Indonesia bahwa BI juga menghapuskan uang muka pinjaman untuk kendaraan listrik hingga akhir tahun 2023. Dengan adanya penghapusan uang muka oleh BI dan beberapa insentif lain yang diberikan pemerintah, diharapkan dapat mencapai tujuan yaitu untuk mengurangi emisi karbon. Namun pertanyaannya apakah kebijakan ini akan seterusnya diterapkan di Indonesia atau hanya memindahkan masalah ini ke masalah yang baru.

Ada pro kontra di masyarakat terkait kendaaran listrik ini. Pemakaian batubara pada PLTU dinilai juga menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Jika semua kendaraan beralih dari BBM ke listrik maka kebutuhan listrik juga akan semakin banyak sehingga permintaan energi batubara juga meningkat. Bukannya memperbaiki kualitas lingkungan, kondisi ini justru akan mengakibatkan krisis energi akibat permintaan energi batubara terus-menerus.

Di Indonesia, pemakaian pembangkit listrik yang berbahan batubara masih sangat diandalkan. Hal ini karena batubara tidak bergantung pada kondisi cuaca tidak seperti tenaga surya maupun angin. Terlebih lagi pemenuhan kebutuhan listrik yang semakin besar tentu membutuhkan energi yang murah.  Batubara lebih murah daripada energi lainnya.

Selain masalah energi, adanya kendaraan listrik juga tidak luput dari masalah kemacetan. Kendaraan listrik mungkin bisa menjadi solusi untuk masalah emisi karbon, tetapi tidak menjadi solusi untuk kemacetan malah menambah volume kendaraan yang ada di jalan. Penghapusan DP hingga 0% mungkin dimanfaatkan oleh orang kaya untuk membeli kendaraan listrik tapi cenderung tidak digunakan sehari-hari atau sebagai kendaraan sekunder. Hal ini tentu sudah tidak sesuai tujuan awal.

Transisi kendaraan BBM ke kendaraan listrik membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Meskipun terjadi peningkatan pada penggunaan kendaraan listrik , tetapi penggunanya sebagian besar adalah kalangan menengah ke atas. Harga kendaraan listrik terutama mobil listrik terbilang masih cukup mahal sehingga belum mampu dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Sedangkan masyarakan Indonesia sebagian besar merupakan golongan menengah ke bawah. Jelas kebijakan ini hanya dinikmati oleh kalangan menengah ke atas dan hanya di kota-kota besar.

Tidak hanya dari segi kebijakan, sarana prasaran juga perlu diperhatikan dalam transisi ini. Masyarakat tidak mau beralih ke kendaran listrik cenderung karena alasan  minimnya sarana pengisian baterai dan perawatannya yang cukup susah. Perlunya dilakukan promosi, edukasi dan pendekatan langsung ke masyarakat agar masyarakat tau manfaat dan bagaimana cara perawatan kendaraan listrik. Penambahan regulasi kendaraan listrik untuk perusahaan juga perlu ditambahkan seperti penggunaan truk milik perorangan yang digunakan untuk usaha maupun perusahaan yang juga menimbulkan polusi.

Penelitian yang dilakukan Zhang pada tahun 2017 menyatakan bahwa inovasi berupa pengembangan teknologi hanya akan berpengaruh terhadap pengurangan emisi karbon dalam jangka pendek. Artinya pemerintah tidak akan secara terus-menurus memberi insentif sehingga perlu alternatif lain untuk tetap dapat mencapai net zero emission . Fasilitas untuk penghancuran atau daur ulang mobil yang sudah tua perlu ada di Indonesia. Kebanyakan mobil tua dibiarkan mangkrak di gudang atau berakhir di tempat  rongsokan bahkan ada juga yang masih tetap digunakan di jalan raya. Masyarakat cenderung menggunakan kendaran hingga rusak daripada harus mengganti setiap 5 tahun. Fasilitas ini dapat mengurangi jumlah kendaraan yang tidak layak digunakan.

Sarana transportasi umum ramah lingkungan seperti bus listrik tidak hanya di kota-kota besar juga dapat menjadi alternatif baik karena dapat digunakan seluruh golongan masyarakat  daripada kemudahan menggunakan kendaraan listrik yang hanya dapat dijangkau masyarakat menengah ke atas.

Oleh: Sella Faiddatur Ramadhaniyah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun