Pernahkah kita bertanya dalam hati, apakah bahasa roh bisa hilang kalau jarang digunakan? Pertanyaan sederhana ini ternyata sangat dalam. Saya sendiri pernah mengalaminya.
Saat mengikuti salah satu mata kuliah tentang formasi spiritual di pada hari rabu dan kamis dosen kami membahas tentang karunia berbahasa roh. Ia menjelaskan bagaimana bahasa roh menjadi bagian penting dari kehidupan orang percaya, terutama dalam membangun hubungan pribadi dengan Tuhan salah satunya.
Banyak teman-teman yang mulai berpikir dan bertanya-tanya  termasuk saya mengenai baptisan roh kudus, namun sebelumnya kami sudah pernah belajar mengenai baptisan roh kudus dalam mata kuliah teologi perjanjian baru.
Saya masih ingat saat pertama kali menerima bahasa roh. Itu adalah pengalaman rohani yang luar biasa. Hati saya begitu dipenuhi sukacita dan kedamaian yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
 Ketika saya berdoa dalam bahasa roh, rasanya seperti berbicara langsung dengan Tuhan tanpa batas. Namun, seiring waktu, kebiasaan itu mulai berkurang.
Kesibukan, rutinitas, dan bahkan rasa malas perlahan membuat saya jarang lagi berdoa dalam bahasa roh. Hingga suatu saat saya menyadari, sudah lama saya tidak mengucapkan satu kata pun dalam bahasa itu.
Lalu timbul pertanyaan dalam hati: "Apakah karunia itu masih ada? Apakah bisa hilang karena tidak digunakan?" Dari perenungan dan pembelajaran, saya menemukan satu hal penting karunia bahasa roh tidak hilang, tetapi bisa "tertidur" di dalam diri kita.
Seperti alat musik yang lama tidak dimainkan, bukan alatnya yang rusak, tapi jari kita yang kaku. Karunia yang diberikan oleh Roh Kudus tidak pernah dicabut.
Hanya saja, ketika kita jarang bersekutu dengan Tuhan, hati kita menjadi kurang peka terhadap dorongan Roh-Nya.
Rasul Paulus pernah menulis dalam 2 Timotius 1:6, "Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu."