Mohon tunggu...
Seliara
Seliara Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Dentist

Bahagia berkarya dan berbagi sebagai wujud rasa syukur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Senja

6 Maret 2021   23:55 Diperbarui: 7 Maret 2021   00:06 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah senja, menghempaskanku pada bingkai masa kecil. Seorang tetangga, seorang ibu, berpulang ke haribaan-Nya. Senja itu aku takziah ke rumah beliau. Rumah almarhumah begitu ramai oleh para petakziah yang hadir. Dalam pembaringan yang begitu tenang, seorang anak laki-laki, tampak memeluk dan menciumi sang ibunda yang sudah berpulang. Dalam isak kesedihan mendalam, ia terus memeluk dan mengelus sang bunda. Tiba-tiba bingkai masa kecil itu kembali hadir, tepat di depan mataku. Suasana itu, seolah aku memasukinya, perasaanku lebur ke dalamnya.

Ya, akulah anak itu, yang memeluk dan menciumi sang bunda dalam pembaringannya yang tenang. Sungguh aku bisa merasakan kehilangan anak itu, merasakan isaknya, merasakan semua kesedihannya. Kepedihan yang berpuluh tahun coba kulupakan, namun selalu hadir dalam momen yang sama, sebuah kehilangan orang yang amat kucintai. Setelah kehilangan pada masa kecil itu, tiap melayat atau mengikuti prosesi pemakaman, semua bayangan kesedihan masa kecil itu seolah hadir kembali.

Tak terasa sebuah cairan hangat membasahi pipi. Menangis dalam hening, meresapi semua kesedihan, sungguh manusia tanpa kuasa dan daya menolak setiap takdir yang sudah ditetapkan-Nya. Taka da yang bisa dilakukan kecuali berusaha ikhlas menerima, meski dengan kesedihan yang tak terelakkan. Ada kalanya sebuah kesedihan adalah jeda, mengajak kita berhenti sejenak melangkah, merenungi jejak kehidupan. Memaksa kita menanggalkan semua ego dan kesombongan, mengingatkan bahwa sebagai manusia ada kalanya kita merasa tak berdaya. Lalu kita bersandar pada kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan, yang baru kita sadari ternyata masih begitu sedikit. Aku menghapus sisa cairan bening itu, menatap bingkai yang sama, dengan sudut pandang berbeda.

Jika bingkai masa lalu itu berisi fragmen dimana aku berperan sebagai anak yang menangisi kepergian sang bunda, maka bingkai masa depan -bisa jadi- aku akan berganti peran menjadi sang ibu itu. Dan anak laki-laki yang kulihat terisak sambil menciumi ibundanya itu -bisa jadi- adalah anak-anakku. Bayangan masa depan itu seolah terlihat nyata di depan mata. Semua yang bernyawa akan tiada, saatnya pasti tiba, entah kapan tak ada yang mengetahuinya. Sudah siapkah aku? Sudah cukupkah bekalku? Ya, jika saat itu tiba, apakah anak-anak akan menangis kehilangan, memeluk dan menciumiku? Akankah aku berpulang dalam limpahan cinta orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku?

Aku dengar beberapa pelayat membicarakan kebaikan sang ibu itu. Tiba-tiba sesuatu mengusik hatiku. Sebuah tanya yang tak kutahu jawabnya, apa yang akan dibicarakan para pelayat saat kematianku nanti? Kebaikankukah? Atau sebaliknya? Tiba-tiba aku mengingat-ingat kebaikan apa yang sudah kuperbuat selama ini. Apakah aku sudah cukup bersikap ramah dan selalu menolong tetangga atau teman yang membutuhkan? Apakah aku selama ini sudah cukup banyak beramal? Ataukah justru aku banyak melakukan kesalahan, banyak prasangka dan dosa lainnya? Apakah aku terlihat baik hanya karena Allah menutupi keburukan-keburukanku?

Hari ini aku kembali mendapat sebuah pelajaran, untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya, selagi masih diberi kesempatan, selagi nafas masih dikandung badan, saat masih diberi kesehatan, saat kaki masih bisa melangkah, walau kadang terasa berat. Mulai sekarang aku harus banyak berbuat baik. Jangan lelah berbuat baik, karena kelelahan akan hilang dan kebaikan akan selalu dikenang. Jangan senang berbuat dosa, karena kesenangan akan hilang dan dosa akan selalu ada. Aku harus selalu menyemangati diri untuk melakukan amal kebaikan, sebagai bekal perjalananku nanti.

Aku tak memungkiri bahwa dalam hidup selalu ada masalah dan kesulitan, semua harus dihadapi dengan berani dan lapang hati. Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan, tugas kita hanya berusaha dengan sebaik-baiknya, dengan semua usaha, upaya dan ikhtiar yang diperbolehkan-Nya, selebihnya menjadi hak Allah untuk menentukan yang terbaik bagi kita, tawakal dengan semua takdir-Nya.

Aku ingin jika nanti saat itu tiba, diberikan akhir husnul khotimah dalam kehidupan, berpulang dengan tenang dan mudah, dikelilingi keluarga dan sahabat-sahabat yang kusayangi dan menyayangiku. Aku ingin kembali ke haribaan-Nya dengan keridhoan-Nya.

"Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji'ii ilaa Robbiki roodiyatammardhiyah fad khulii fii 'ibaadii wad khulii jannatii" (Al Qur'an Surat 89 : 27-30)

"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang shalih dan masuklah ke dalam surga-Ku ..." 

Hidup memang tidak selalu indah, tapi yang indah akan selalu hidup, meski hanya dalam kenangan. Semoga kita bisa meninggalkan kenangan indah bagi orang-orang yang kita cintai, kenangan indah yang sarat manfaat, membuat hidup lebih berkah dan bermakna. Hidup adalah sebuah perjalanan, semua akan sampai pada akhir perjalanan yang bernama kematian, semoga husnul khotimah. Aamiin yaa Rabbal 'aalaamiin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun