Bayangkan seorang kepala daerah yang setiap pagi membuka 30 menit untuk membaca? Bukan hanya laporan rutin, tapi buku sejarah, esai kebijakan publik, dan sedikit fiksi. Sehari-hari, keputusan kecil yang diambil terasa lebih matang; kebijakan yang dibuat mampu melihat masalah dari sudut yang lebih luas. Itulah kekuatan sederhana dari kebiasaan membaca. Bukan sekadar menambah pengetahuan, tapi mengasah cara berpikir, empati, dan kemampuan mengambil keputusan.
Cerita Kecil, Pelajaran Besar
Suatu ketika, seorang pejabat desa kebingungan memadukan program kesehatan dan ekonomi lokal. Setelah membaca beberapa bab mengenai pengembangan komunitas dan studi kasus desa sukses, ia mengubah skema bantuan menjadi program pelatihan usaha kecil yang terintegrasi dengan posyandu. Hasilnya partisipasi warga naik dan dana bantuan terasa lebih berdampak. Kisah kecil ini menunjukkan betapa praktisnya manfaat membaca bila dilakukan dengan niat.
Kenapa pejabat perlu membaca? Â Lebih dari sekadar formalitas. Baca buku bagi pejabat bukan aktivitas simbolik. Berikut alasan utama mengapa membaca seharusnya menjadi bagian dari rutinitas setiap pemimpin:
Menambah khazanah perspektif. Buku memberi konteks historis, teori dan contoh praktik dari tempat lain yang bisa diterjemahkan ke kebijakan lokal.
Melatih berpikir kritis. Membaca yang terstruktur membantu pejabat membedakan data valid dari narasi dangkal, sehingga keputusan tidak semata reaktif.
Meningkatkan kemampuan komunikasi. Kosakata dan struktur berpikir dari bacaan berkualitas membuat pidato dan penjelasan kebijakan menjadi lebih jelas dan persuasif.
Menumbuhkan empati dan wawasan sosial. Fiksi dan biografi membantu pemimpin "merasakan" kondisi warga yang berbeda, penting untuk kebijakan yang adil dan manusiawi.
Mencegah kebijakan jangka pendek. Dengan wawasan yang lebih luas, pejabat cenderung menyusun kebijakan berkelanjutan ketimbang solusi instan yang cepat pudar.