Dulu, hujan selalu identik dengan kesegaran. Anak-anak berlarian di bawahnya, orang tua menatapnya dengan rasa syukur. Kini, kita mendengar kabar: air hujan Jakarta mengandung mikroplastik. Langit bukan lagi tempat menyucikan bumi, tapi tempat bumi memantulkan dosanya.
Penelitian BRIN menemukan bahwa setiap tetes hujan di Jakarta membawa sekitar 15 partikel mikroplastik. Partikel yang tak kasat mata, tapi nyata. Ia berasal dari ban kendaraan yang aus, dari pakaian sintetis yang kita pakai, dari kantong plastik yang terbakar di tepi sungai, dari semua "kenyamanan kecil" yang kita pilih tanpa berpikir panjang.
Hujan kini turun bukan sekadar air --- ia turun membawa memori kehidupan modern: belanja daring, bungkus makanan, dan debu jalanan yang menua bersama waktu.
Yang menarik bukan hanya fakta sainsnya, tapi simbolismenya. Langit seolah sedang berbicara: "Apa pun yang kalian lepaskan ke bumi, akan kembali kepada kalian dalam bentuk yang tak kalian duga."
Siklus air kini menjadi siklus perilaku manusia. Dulu kita berkata "apa yang kau tanam, itu yang kau tuai." Sekarang: "apa yang kau buang, itu yang kau hirup." Dan yang paling menyedihkan, mikroplastik itu tidak hanya kembali dalam air --- ia masuk ke paru-paru, ke darah, mungkin ke generasi berikutnya.
Aku jadi berpikir, mungkin bencana ekologis terbesar bukanlah banjir atau kekeringan, tapi ketika alam diam, namun perlahan mengembalikan semua yang kita buang dalam bentuk yang tak terlihat. Karena polusi paling berbahaya bukan yang membuat kita batuk, melainkan yang membuat kita merasa semua masih baik-baik saja.
Reza, peneliti BRIN yang memimpin riset ini, menutup laporannya dengan kalimat yang sangat simbolik: "Langit Jakarta sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya." Dan kalimat itu menampar kesadaran kita. Selama ini kita melihat langit sebagai cermin keindahan --- padahal ia juga bisa menjadi cermin kebiasaan.
Mungkin saat ini bukan hanya bumi yang kotor, tapi juga konsep kemajuan yang kita percayai. Kemajuan yang mengukur keberhasilan dari jumlah produksi, bukan dari kebersihan udara. Dari pertumbuhan ekonomi, bukan dari kesegaran hujan.
Air hujan bermikroplastik adalah pesan yang sangat jelas dari alam: bahwa tidak ada tempat untuk membuang dosa ekologis --- karena bumi bukan tempat pembuangan, ia adalah sistem yang akan mengembalikannya kepada kita dengan tenang, sabar, dan tepat waktu.
Dan pada akhirnya, kita tak bisa menyalahkan langit. Karena langit hanya sedang meneteskan refleksi dari perilaku manusia.