Mohon tunggu...
Sekar Wijayanti
Sekar Wijayanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

fans sejati soto ayam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aira

1 Januari 2015   23:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:01 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420108390811609216

[caption id="attachment_362699" align="aligncenter" width="300" caption="(sumber foto: dok.pri. sekarwn)"][/caption]

“Aku tidak punya apapun untuk membahagiakan kamu, Aira”. Lelaki itu tertunduk dalam-dalam, tak mampu menatap Aira.

“Aira bahagia Mas. Demi Tuhan, selama ini Aira sungguh bahagia”. Aira menggenggam erat jemari lelaki itu, menguatkan. Lelaki itu menoleh mendapati Aira tersenyum, masih sama seperti dulu. Senyum yang mampu membuatnya jatuh cinta.

Aira mengerti, sulit untuk meyakinkan siapapun bahwa dia bahagia, bahkan teramat bahagia. Tidak pernah sekalipun dia mengharapkan kehidupan lain, selain kehidupannya sekarang. Orang tuanya, sampai sekarang masih menyesali keputusannya. Begitupun saudara-saudaranya dan sahabat-sahabatnya. Aira memilih kehidupan yang salah, menurut mereka. Dan mereka akhirnya sedikit demi sedikit menjauh, enggan merestui.

“Apa yang kamu harapkan dari dia Aira?”, masih jelas diingatannya pertanyaan Papa. Menyakitkan. Aira diam, tak mampu menjawab. Semua kalimat yang disusun rapi, buyar tak berbekas.
“Aira, tolong kamu pikirkan lagi keputusan ini”, terdengar suara Mama dengan suara lirih tapi tegas.
“Kami tidak percaya kamu membuat keputusan sebodoh ini Aira”, kali ini giliran kakaknya yang bicara.

Oh Tuhan, kenapa mereka tega sekali berkata seperti itu. Mereka memandang rendah pilihanku. Pilihan hidupku. Hanya karena mereka menganggap kami berbeda. Perbedaan yang semata-mata dibuat oleh manusia karena kesombongannya”, bisik Aira dalam hati. Air matanya menetes perlahan.

“Aira minta maaf kalau keputusan Aira dianggap salah. Tapi Aira sudah memutuskan, apa yang Aira anggap benar untuk hidup Aira. Aira mencintai dia, Pa. Dia juga mencintai Aira, mau menerima Aira apa adanya. Sungguh, Aira...”
“Dia tidak pantas untuk kamu Aira”, potong Papa dengan muka memerah.
“Kenapa Pa? Hanya karena dia adalah ... “, Aira tidak mampu meneruskan, suaranya tertahan oleh isakannya sendiri. Semua orang di kamar tamu mewah itu diam.
“Hanya karena dia sopir Papa?”, Aira susah payah meneruskan ucapannya.
“Kamu tahu jawabannya, Aira”, jawab Mama sambil mengusap punggung Aira, lembut.

Dan Aira tetap pada keputusannya. Mereka melepas Aira, dengan terpaksa. Tidak ada perayaan apapun untuk pernikahannya. Waktunya mepet, tidak sempat, kata Mama. Tapi Aira tahu, bahkah  tanpa dia mendengar pembicaraan Papa dan Mama malam itu, pembicaraan yang tidak sengaja dia dengar.
“Kita tidak perlu mengabarkan kepada siapapun, Ma. Ini aib buat kita. Mau taruh dimana muka kita. Apa kata mereka, anak seorang pemilik perusahaan besar, menikah dengan sopirnya. Anak yatim piatu yang sempat kita pungut dari dusun itu Ma. Padahal sebenarnya masih banyak yang mau sama Aira. Papa bisa atur semuanya. Sungguh Ma, Papa malu”.
Aira tergugu di depan pintu kamar orangtuanya, pelan-pelan masuk kamar, dan menumpahkan air matanya di sana. Papa selalu merasa bisa mengatur segalanya, termasuk perasaan Aira, kehidupan Aira. Air matanya semakin deras mengalir.

Pernikahan itu terjadi, dan Aira sudah siap dengan apapun, termasuk tidak adanya tawa ceria seperti hari pernikahan pada umumnya. Juga tidak ada perayaan seperti pernikahan-pernikahannya sebelumnya di rumah itu. Aira sangat bahagia, dan itu tidak berubah sampai sekarang.

Sehari setelah pernikahan itu berlangsung, mereka pindah. Menjauh dari kota besar dan rumah megah itu. Menghindari tatapan dan pertanyaan yang menyakitkan. Tidak ada yang mencegah. Aira tahu, memang lebih baik mereka pergi. Mereka memilih tinggal di sebuah desa, yang jauh dari hingar bingar dan keramaian, di ujung selatan Jogja. Mereka mulai menata perasaan, mulai menata hidup dan keluarga kecil mereka.

Kehidupan Aira memang jauh berbeda. Tidak ada lagi pembantu yang siap melayani. Aira siap menjalani itu semua. Dia akan belajar dengan baik. Memasak, mengurus rumah, melayani suami, dan semuanya. Tidak ada lagi sopir yang siap mengantarnya kemana saja dengan mobil mewah. Aira pun siap, ada Arman yang bisa mengantarkannya kemana saja Aira mau, bahkan jika harus dengan berjalan kaki. Juga tidak ada lagi keluarga dan sahabat yang dulu selalu ada di sampingnya. Selalu ada Arman, yang menemaninya, yang mencintai Aira setulus-tulusnya. Itu sudah lebih dari cukup membuat Aira bahagia.

Sudah setahun sejak pernikahan itu, waktu terasa cepat berlalu. Dan lelaki itu, suaminya, tiba-tiba meragukan kebahagiaan Aira. Meragukan kemampuannya untuk membuat Aira bahagia.

“Maafkan aku Aira...”
“Maaf buat apa, Mas. Tidak ada lagi yang perlu dimaafkan. Aira yakin Mas Arman adalah yang terbaik untuk Aira. Mas Arman adalah orang yang mau menerima Aira apa adanya, mencintai Aira dengan tulus. Itu lebih dari cukup Mas, untuk membuat Aira bahagia. Tidak ada kehidupan lain yang ingin Aira jalani selain kehidupan sekarang, hidup bersama Mas Arman”. Lebih erat Aira menggenggam tangan suaminya. Bertatapan, saling meyakinkan, saling menguatkan.

Petang mulai datang, membuat pemandangan menjadi semakin remang. Aira merapatkan jaketnya, angin sepoi-sepoi berubah menjadi kencang, membuatnya kedinginan. Arman membereskan peralatannya. Cangkul, sabit, dan mengenakan capingnya. Setelah itu mengemasi sisa makanan dan peralatan makan, kiriman Aira tadi siang. Segera dihampiri Aira yang sudah menunggu di jalan tepi sawah. “Kita pulang, Aira”, ajak Arman sambil mendorong kursi roda Aira perlahan. Pulang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun