Mohon tunggu...
gabriela sekar
gabriela sekar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Indonesia Mental Bantal ?

2 Desember 2018   22:26 Diperbarui: 2 Desember 2018   22:49 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Gimana mau dapet bagus kalo smua materi dipelajarin?", "Gimana mau sukses kalo yang diajarin teori doang?", "Emang materi kayak gini di pekerjaan dipakenya pas kapan sih?", "Emang penting ya ini?", dan masih banyak lagi pertanyaan, atau lebih tepatnya keluhan mengenai pendidikan di Indonesia. Saya bukan pakar pendidikan, saya juga bukan orang ternama apalagi orang jenius, bukan. Saya hanyalah anak SMA yang beruaaha untuk memahami negeri saya. So here's my opinion enjoy =D.

Mayoritas masyarakat Indonesia berkata bahwa pendidikan kita adalah sistem pendiddikan yang mencetak robot, bukannya seniman. Siswa dipaksa untuk menguasai setidaknya 13 mata pelajaran yang belum tentu disukainya. "Bagaimana dengan siswa yang passionnya di seni? Musik? Tapi di sekolah mereka dipaksa untuk belajar fisika, kimia dan pelajaran yang tidak akan terpakai nantinya?" Ya memang pendidikan di Indonesia bukan pendidikan nomor satu di dunia, tapi bukan berarti pendidikan kita tidak bagus. Sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang mampu memfasilitasi semua kebutuhan siswa. Indonesia punya SMA, SMK, dan sekolah tinggi yang seharusnya sederajat.

Jika siswa suka bidang seni atau bidang yang sudah mebgarah terhadap passion, mereka dapat mengambil SMK, jika siswa senang dengan ilmu eksakta atau ilmu murni, mereka dapat mengambil SMA. Semua sudah disediakan, tapi masalah nya adalah masyarakat terlalu gengsi terhadap stigma -- stigma yang diciptakannya sendiri. SMA adalah untuk siswa unggulan, SMK hanya untuk anak -anak buangan. IPA adalah jurusan pintar, dan IPS adalah gudangnya trouble maker. Pandangan ini yang membuat oraang gengsi untuk mengambil apa yang disukai,dan mengambil sesuatu yang "diterima" oleh masyarakat. Ketika mereka merasa tidak mampu akan jalan yang dipilih, sistem lah yang disalahkan. Jadi sebenarnya siapa yang salah?

Mental. Mental kita tidak siap untuk menerima perubahan, diri kita belum siqp untuk menjadi perubah dunia ini.

Dulu saatnya jamannya Soekarno memimpin, Indonesia adalah salah satu negara yang dihargai dan dipandang oleh dunia. Mahasiswa-mahasiswa berbondong -- bondong berguru di Indonesia, sebut saja Malaysia dan Singapura. Itu dulu, tapi apa yang terjadi sekarang?

Sekarang keadaan terbalik, pelajar Indonesia berlomba -- lomba untuk sekolah di luar negeri yang menurut saya tidak ada salahnya sama sekali, tetapi saayang hanya sedikit yang kembali dan mau untuk membangun negeri. Sekalinya kembali, karya mereka tidak dihargai. Jadi yang salah siapa?

Singapura, negara yang luasnya tidak lebih dari Pulau Kalimantan sekarang sudah jauh lebih maju daripada Indonesia. Lebih spesifiknya lagi pendapatan per kapita Singapura menempati posisi tertinggi se-Asean dengan angka $93.680, sementara Indonesia menempati posisi ke-5 dengan angka $13.120.

Dengan luas negara dan penduduk terbanyak se-Asean, ditambah dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah, Indonesia dapat leb ih mengoptimalkan sumber daya - sumber daya yang ada. Sayangnya Indonesia kekurangan tenaga -- tenaga ekspertis. Kita terlalu sibuk untuk mekonsumsi tetapi lupa untuk memproduksi. Banyak coffee shop, cafe, dan tempat makan lainnya yang berkembang pesat saat ini karena sedang eksis, ngetrend. Kebanyakan dari pengunjung cafe -- cafe adalah anak muda yang sekedar mengobrol dan tidak mempedulikan rasa dari caf tersebut. Lalu jika begini akankah usaha caf tersebut bertahan lama? Daripada mengusahakan sesuatu yang sudah ada dan banyak, kenapa kita tidak berani untuk mencoba yang berbeda? Seperti melirik sektor kelautan Indonesia

Dengan cakupan wilayah yang sangat luas serta sumber daya yang banyak,laut adalah harapan Indonesia lainnya, tetapi jarang anak muda yang mau berbisnis di bidang ini padahal total nilai ekonomi bidang ini di Indonesia mencapai Rp. 13.000 triliun per tahun. Indonesia penghasil rumput lau terbesar di dunia.  Ketua MAI Safari Azis mencontohkan potensi salah satu jenis rumput laut yakni eucheuma cottonii. Rumput laut jenis ini dikenal banyak dibudidayakan di Indonesia. Potensi rumput laut ini nilainya mencapai US$ 34 miliar atau setara Rp 459 triliun (kurs Rp 13.500/US$). Tetapi sayang nya lagi masih banyak orng yang tidak mmenyadari rumput laut karena kalah eksis dengan kopi Indonesia.

Kebanyakan orang menganggap bidang perikanan atau kelautan adalah hanya nelayan dan kemiskinan. Stigma lain yang dilahirkan oleh masyarakat. Dan lagi -- lagi banyak pemuda yang tidak berani mengambil jalan ini dan lebih memilih untuk memilih bidang akuntansi yang dalam 10 tahun ke depan diperkirakan akan tersaingi oleh teknologi, Big Data. Banyak orang yangbtakut akan perubahan, akan sesuatu yang asing yang menandakan bahwa mental masyarakat Indonesia belum siap untuk perubahan, seperti bantal yang empuk dan nyaman yang membuat kita terjebak dalam zona nyaman. Joko Widodo mengatakan bahwa revolusi yang paling penting saat ini adalah revolusi mental. Biarlah negara lain berkembang dengan cara mereka sendiri. Berhenti mengcopy-paste appa yang negara lain lakukan tetapi lahirkanlah ciri khas bangsa kita. "Kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita," tegas Jokowi dalam artikel Kompas.com.

Kita harus berubah. Cara pandang dan mindset kita harus berubah jika kita tetap ingin survive di era digital ini. Menjadi eksis tidak lah cukup jika kita tidak bisa melihat peluang dan masa depan. Kita masih bisa membangun Indonesia menjadi negara yang dapat bersaing dengan negara lainnya. Selagi kita masih mampu, selama masih ada kesempatan, dan selama masih ada waktu, kenapa tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun