Mohon tunggu...
Sekar Salsabila
Sekar Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psi'20

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Solusi Kleptomania, Jeruji Besi atau Rehabilitasi?

15 Juni 2021   13:00 Diperbarui: 15 Juni 2021   13:09 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jika kita melihat jejak perjalanan kasus pencurian di Indonesia, tak jarang kita mendengar beberapa fakta yang diungkapkan secara 'menyedihkan' di persidangan. Contohnya karena sang pencuri adalah tulang punggung keluarga yang kehabisan ide untuk memberi makan anak-anaknya, atau bahkan perkara sekolah online yang membuat warga tidak mampu mencuri gadget dari tetangga. Tentu saja, ini tidak bisa dibilang perkara baru. Namun, dari banyaknya kasus yang sudah terekam di dunia hukum, beberapa nampaknya perlu mendapat perhatian. Salah satunya adalah kasus di tahun 2020 silam, mengenai laporan pencurian bocah berusia 8 (delapan) tahun yang membuat polisi kewalahan. Dilansir dari Kompas.com, anak bernama B ini mencatat rekor pencurian sebanyak 23 kali selama 2 tahun. Sebuah hal yang mencengangkan, karena setiap kali ditangkap pun, B selalu jujur dan mengakui perbuatannya. Uang yang didapatkan dari hasil mencuri dibagikan ke teman-teman atau dipergunakan untuk membeli barang seperti tembakau dan narkoba. Terdengar memprihatinkan, bukan? Polisi yang bekerja sama dengan badan rehabilitasi akhirnya menyerahkan B untuk melakukan terapi karena mencurigai bahwa B memiliki riwayat kleptomania, namun bukannya sembuh; di fasilitas tersebut dia malah semakin menjadi-jadi.

            Lantas sebelum kita masuk makin dalam mengenai pembahasan kasus ini, hal serupa sebenarnya juga pernah dialami oleh seorang pilot pada tahun 2019 silam. Dalam berita yang pernah diterbitkan oleh DetikNews, tersangka yang bernama Aji ini langsung dibawa ke ranah persidangan---dan mengakui bahwa dia memiliki riwayat penyakit kleptomania, begitupun dengan keluarganya. Aji juga memaparkan bahwa awalnya dia tidak ada niat untuk mengambil atau mencuri barang apa pun itu; namun pada akhirnya mengantonginya secara spontan. Terungkap pula bahwa itu bukan pertama kalinya dia ketahuan melakukan aksinya, namun yang lainnya diselesaikan secara kekeluargaan. Aji, tidak seperti B, akhirnya dijatuhi hukuman 3 bulan 15 hari---jauh lebih kecil ketimbang tuntutan jaksa yang awalnya menginginkannya untuk dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.

            Beberapa contoh kasus ini tentu menimbulkan tanda tanya yang cukup besar, muncul dalam kepala. Pertama, sebenarnya Kleptomania itu apa, ya? Dan apa bedanya tindak kleptomania dengan pencurian?

            Sebuah website kesehatan bernama Halodoc, menerjemahkan kleptomania sebagai gangguan dalam hal pengontrolan impuls (impulse control disorder) yang tidak bisa seorang individu kendalikan untuk mencuri barang-barang yang ingin ia miliki. Hal ini dapat dialami berulang kali, dan tidak dapat ditahan. Alasan-alasan untuk memiliki barang-barang tersebut pun tidak bisa dilogikakan atau tidak rasional. Berbeda dengan pencurian yang biasanya mengambil barang atau uang dengan tujuan ekonomi, dan bisa pula disertai dengan tindakan kekerasan; pengidap kleptomania akan menggunakan barang yang dia ambil untuk keperluan pribadi yaitu rasa puas yang didapat. Sementara DSM IV-TR sendiri mengkategorikan kleptomania ini dalam gangguan pengendalian impuls yang tak terklasifikasi dimanapun (Impulse-Control Disorders Not Elsewhere Classified). Orang yang mengidap kleptomania tidak akan bisa menolak dorongan yang ada, sekalipun hal itu akan secara sadar merugikan orang yang terlibat; contohnya pemilik barang. Dalam beberapa kasus, benda yang telah diambil, bisa dikembalikan secara diam-diam oleh pengidap kleptomania. Secara sederhana, pengidap kleptomania melakukannya untuk rasa lega; namun di balik itu, beberapa pelaku masih memiliki rasa bersalah juga tertekan karena aksi pencuriannya.

            Pertanyaan berikutnya, memang benar ya Kleptomania ini ada? Bukan hanya alasan terdakwa di persidangan untuk mengurangi hukuman saja? Lalu, apa saja sih penyebab atau kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi?

            Kembali pada kasus pertama yang dilakukan oleh B tadi. Sumber yang mewawancarai B menemukan fakta bahwa mulai dari usia 2 bulan, ayah B seringkali mencampurkan narkoba jenis sabu ke susu yang dikonsumsi olehnya. Hal ini, menurut beberapa ahli kesehatan; dapat menjadi salah satu faktor pendukung seseorang mengidap kleptomania. Selain itu, dari kasus kedua kita jadi ikut bertanya-tanya, apakah kleptomania merupakan gangguan yang dapat diturunkan secara genetic? Kleptomania sendiri, menurut Halodoc, bukan kondisi yang dibawa sejak lahir atau keturunan, tapi dapat berkembang karena faktor keluarga. Seseorang dengan riwayat kleptomania dalam keluarganya, memiliki risiko untuk mengalami kondisi yang serupa, karena anak melihat pola asuh dan juga kebiasaan yang dilakukan oleh keluarga yang mengidap kleptomania. Kebiasaan yang dilakukan kemudian akan dianggap hal yang wajar dan normal. Faktor-faktor lainnya yang bisa membuat seseorang mengidap kleptomania adalah memiliki penyakit gangguan mental lainnya; seperti bipolar, gangguan kecemasan, hingga gangguan kepribadian.

            Lantas jika perilaku kleptomania ini terjadi, apakah dapat diperlakukan sama seperti kasus pencurian pada umumnya? Seperti judul artikel ini, apa solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan dari aksi para pengidap kleptomania? Bagaimana sih sebenarnya kleptomania dipandang di hukum negara kita, atau pun di dalam Islam?

            Pertama-tama, kita harus tahu dulu bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia; tidak ada istilah kleptomania, sehingga orang yang mengidap hal ini dan melakukan tindakan mencuri bisa dijatuhi hukuman pidana. Namun disisi lain, jika seseorang diketahui mengidap kleptomania, hal ini bisa dijadikan alasan pengurangan/pemaafan pidana, karena penderita kleptomania dipandang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dianggap sakit jiwa. Sementara dari pandangan Islam, sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Af'idah menyimpulkan bahwa tindakan kleptomania akan dibebaskan dari hukuman pidana, namun tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban perdata (membayar denda). Dalam sudut pandang Islam, aksi mencuri yang merupakan akibat dari kleptomania dikategorikan dalam pencurian yang tidak sempurna. Hal ini menjadikan hukuman potong tangan (had) tidak berlaku, dan masuk pada klasifikasi jarimah ta'zir. Kleptomania dalam hukum Islam dikategorikan sebagai gila sebagian, yang di dalam ilmu psikologi abnormal termasuk gangguan psikoneurosis (gangguan sebagian kepribadian).

            Solusi yang memungkinkan untuk diberikan adalah penanganan secara medis  oleh ahlinya. Sejauh ini, belum ada solusi yang pasti dan obat yang disetujui 'BPOM' Amerika Serikat untuk menyembuhkan kleptomania. Namun, penanganan pasien kleptomania biasanya akan melibatkan obat-obatan dan psikoterapi. Contohnya inhibitor reuptake serotonin selektif, yang diberikan dengan tujuan meningkatkan kadar serotonin pada otak. Kebanyakan praktisi kesehatan juga akan memberikan naltrexone yang nantinya bisa berfungsi mengurangi gangguan berupa dorongan kompulsif dalam tindakan kleptomania. Karena penyakit ini sendiri merupakan penyakit kambuhan, disarankan bagi pengidap untuk menuruti resep dan rencana pengobatan yang dokter atau psikiater berikan, juga rajin melakukan kontrol ke rumah sakit. Mintalah bantuan terhadap ahlinya jika mengalami beberapa tanda-tanda kleptomania. Jika keinginan untuk berobat dihalangi dengan ketakutan untuk dijatuhi hukuman pidana, tidak perlu khawatir, karena seorang profesional kesehatan mental biasanya tidak melaporkan pencurian pengidap kleptomania ke pihak berwenang.

REFERENSI

Af'idah, M. (2008). Tindak pidana pencurian oleh penderita kleptomania: studi analisis menurut hukum pidana Islam dan hukum positif (Doctoral dissertation, IAIN Walisongo).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun