Oleh : Sekar Illalang
“Aku benci September !!! Aku benci September !!!”
Hanya itu yang terdengar dari mulut ibuku pada tanggal 31 Agustus, sehari sebelum September datang. Teriakan itu akan semakin menjadi hingga September benar-benar datang. Awalnya aku berfikir jika September itu bulan monster hingga ibu sehisteris itu. Akan tetapi aku tak pernah melihat monster saat bulan September dan ketika bulan yang lain datang, karena monster hanya aku temukan di serial kartun TV.
Aku selalu mencoba menenangkan ibu, saat ibu berteriak seperti itu. Aku berusaha memeluknya dan mendekapnya erat. Aku berjuang menenangkan ibu, semampuku. Namun ibu tak pernah menganggapku ada. Ibu terus berteriak seakan ingin memecahkan gendang telingaku. Ibu tak berkata apapun padaku. Ibu tak menggubrisku. Dan saat itulah aku merasa lebih baik menjadi si Bawang Putih karena saat ibu tirinya berteriak dan si Bawang Putih akan menolongnya, pasti ibu tirinya akan meronta-ronta tidak mau ditolong. Sedangkan aku yang ingin menolong ibuku sama sekali tidak diperhatikan. Aku memang berhasil memeluk ibuku tapi tidak pernah sedetikpun ibu menuruti permintaanku untuk menghentikan teriakannya. Ibu tetap berteriak kencang meski aku berlutut di hadapannya. Aku merasa itu bagian terburuk dalam hidupku.
Pada saat itulah aku mencoba menelpon seorang laki-laki yang terpaksa harus ku panggil, Ayah. Aku paham jika dia sekarang sudah menjadi orang asing dalam kehidupanku. Dia sudah bercerai dengan ibuku lebih dari tiga tahun yang lalu. Alasannya perceraiannya pun jelas, Ayah (panggilan yang sangat menjijikan untuknya) berselingkuh dengan sekertarisnya, berpacaran dengan rekan bisnisnya, dan suka bermalam di lokalisasi pinggir kota. Menurutku dia orang gila karena menyianyiakan wanita secantik ibu.
“Halo..” ujarku malas.
“Haaloou…” suara desahan seorang wanita, pasti ini teman kencannya.
“Dimana dia?” tanyaku keras.
“Hah.. Maksudmu Tuan Candra?” tanya wanita terdengar semakin menjijikan di telingaku.
“Jangan bercanda aku anaknya ! Bilang padanya aku ingin bertemu sekarang di tempat biasa!” kataku setengah berteriak. Setelah itu aku langsung menutup telponku. Aku benar-benar muak.
♥♥♥♥♥
Aku duduk terpaku di salah satu sudut cafe. Jika mengingat betapa menyedihkannya keadaan ibuku rasanya aku ingin mati saja. Hanya dia yang dapat ku sebut keluarga. Apabila kondisinya tidak membaik bulan ini, sesuai anjuran dokter maka ibu harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Itu berarti aku akan hidup sendirian dan mengerikan.
“Ada apa mencari Ayah?” ujarnya sambil duduk di depanku.
“Cepat jelaskan mengapa ibu benci September?”
“Aku tidak tahu, sekarang marilah kita pesan makanan!”
“Jawab pertanyaanku!!!”
“Jangan membentakku seperti itu, sangat memalukan. Aku ini ayahmu, ya.. meskipun tak serumah denganmu”
“Ahh… Sangat menyedihkan bagiku memiliki ayah sepertimu!”
“Anggun!”
“Apa ? Itu memang kenyataannya”
“Baiklah, kau benar dan sekarang dengarkan aku atau kau akan menyesal. Hari ini aku senang dapat melihatmu karena kau anakku. Anakku satu-satunya”
“Maksudmu?”
“Anggun Maheswari adalah putri tunggalku. Aku sangat mencintai ibumu, ya.. aku sangat mencintai Saraswati. Bahkan aku rela menikahinya saat dia tengah hamil bukan anakku. Aku tegaskan disini, jika selama ini ada gossip Ayu Septiana itu bukan kakak kandungmu adalah benar. Dia adalah anak dari seorang pria, pacar ibumu saat SMA” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku terkejut tapi aku harus mendengarkan dengan tuntas pengakuanmu” kataku gugup.
“Pacar ibumu itu sudah mati karena kecelakaan motor dan aku yang merencanakannya. Aku menutupinya sekuat masalah itu tenaga tapi sial Ayu si Anak haram jadah mengetahuinya. Lalu aku mengusirnya tanpa sepengetahuan ibumu. Aku mengarang cerita bahwa Ayu sedang sekolah di Korea”
“Mengapa ibu benci September?”
“Sabarlah Anggun, akan ku ceritakan semua. Aku membunuh pacar ibumu di bulan September. Aku menikahi ibumu di bulan September. Ayu lahir di bulan September. Aku mengusir Ayu juga di bulan September. Dan akhirnya semua kejahatanku demi cinta terbongkar di bulan September tiga tahun yang lalu. Entah dari siapa Ibumu tahu tentang kejahatanku. Sejak itu Ibumu menganggapku iblis dan bersikeras bercerai. Bagus bukan? Ini sebuah rekor karena semuanya terjadi di bulan September”
“Dimana Ayu?”
“Aku tak tahu, tapi terakhir kali dia mengunakan kartu kreditnya di Solo. Pihak bank yang memberitahuku”
“Baiklah…aku akan pergi!” ucapku sambil mengangkat tas.
“Tunggu Anggun! Bagaimana keadaan ibumu sekarang?” tanyanya padaku.
“Hahh.. kau masih menanyakannya. Hari ini dia akan berteriak-teriak seperti orang gila hingga tengah malam. Kemudian besok paginya dia akan kembali membisu kepada siapapun. Terkadang dia bergumam seperti orang berdzikir tapi bukan kalimat tasbih dan salawat yang keluar dari mulutnya. Melainkan kalimat, aku benci September!”
“Oh… Saraswati! Aku begitu menggilaimu, Maafkan aku hanya dengan kejahatan itu aku mampu memilikimu!”
“Tak ada gunanya kau menyesal!” ucapku sambil berdiri.
“Anggun, ku mohon panggil aku Ayah!” pintanya padaku.
“Berubahlah! Aku masih membutuhkanmu saat aku menikah!” ucapku sambil pergi.
♥♥♥♥♥
Menurutku tidak ada jalan keluar lagi selain bicara dengan Ayu. Hanya dia yang mampu menenangkan ibu. Ya..itulah alasan yang membuatku mantap pergi ke Solo. Aku memilih naik pesawat setelah mempercayakan Ibu pada mbok Narti, pembantu satu-satunya di rumah. Aku sangat mempercayainnya karena dia sudah mengabdi di rumah kami sejak Ayu lahir.
Berada di dalam pesawat sama dengan melamun bagiku. Aku melamunkan tentang Ayahku. Sekarang aku mulai paham tentang dia. Aku sudah berburuk sangka padanya. Dia ayah yang paling menyedihkan di dunia karena buta dengan cinta. Dia sebenarnya tidak jahat hanya tak paham dengan cinta. Cinta dimatanya adalah ketika mampu memiliki seseorang seutuhnya. Padahal di dunia nyata itu sangat sulit terjadi. Apabila ada seorang yang saling mencintai hidup bahagia selamanya menurutku itu adalah keajaiban. Sudah begitu banyak buktinya kisah tragedi cinta tak bisa memiliki cukup melihat Romeo dan Juliette, kisah cinta Khalil Gibran, dan kisah cintanya Chairil Anwar. Semuanya pasti membuatnya sadar tetapi mengapa orang itu begitu bodoh. Dan sekarang malah memilih berzina dengan perempuan murah. Sangat menyedihkan!
“Anggun Maheswari liburan ke Solo” suara itu terdengar dari sampingku.
“Argh.. Kau! Kenapa bisa ada di sini?” tanyaku setengah membentak.
“Santailah Anggun, aku tidak akan mengganggumu. Ini diluar rencanaku dan semestinya kau tak perlu bertanya seperti itu. Bukankah kau tahu jika aku kuliah di Solo?” katanya sambil menatapku.
Ucapannya, suaranya, dan tatapannya sungguh membuatku lemas tak berdaya. Dia masih masih seperti dulu. Akan sangat baik jika aku mengingat jelas siapa lelaki di sampingku. Dia bernama Gian, teman SMAku. Temanku yang sangat baik. Sebenarnya aku tak ingin sepenuhnya ingat tentang Gian. Akan tetapi ketika jantungku masih berdebar kencang sekarang, aku sadar bahwa dia cinta pertamaku dan satu-satunya cinta dalam hidupku. Aku sangatlah lugu hingga tak pernah mampu menolak ketampanannya.
“Jangan menatapku seperti itu! Aku bisa kembali mengilaimu lagi!” tuturnya pelan sambil mengalihkan padangannya.
“Maafkan aku, Gian” ucapku penuh sesal.
Tiba-tiba ingatanku mengulang kejadian buruk itu. Kejadian yang terjadi tiga bulan setelah aku lulus SMA, bulan September. Aku memutuskan Gian dengan sepihak tanpa sedikitpun alasan padanya. Sebenarnya aku punya alasan tapi aku tak sanggup mengatakannya. Aku sangat tidak siap jika Gian tahu tentang kondisi Ibu dan Ayah. Aku takut dia jijik padaku dan pergi meninggalkanku. Jadi aku sengaja memutuskannya terlebih dahulu.
“Jangan mengingat kejadian itu lagi! Bukankah lebih baik begitu? ” katanya lagi.
“Aku sudah lupa kejadian yang mana yang kau maksud” jawabku datar.
“Katakan sudah berapa lelaki yang kau hancurkan seperti aku?”
“Apa? Diamlah aku benci kata-katamu!”
Aku diam membisu. Seumur hidupku itu adalah kalimat terburuk yang pernah ku dengar dari mulut Gian. Tak pernah terlintas dibenakku bahwa Gian akan berubah menjadi seburuk itu. Oh.. tidak aku harus menahan air mataku, setidaknya hingga pesawat ini mendarat.
♥♥♥♥♥
Inikah Solo. Aku sedikit ragu saat menginjak tanahnya. Tak ada secuilpun pengetahuan tentang kota Solo dalam otakku. Lalu harus kemana aku sekarang?
Ahh… Aku terlalu kacau untuk berfikir sekarang lebih baik aku mencari hotel. Tak ada masalah untuk mendapatkan hotel karena sopir taksi yang aku jumpai di sekitar bandara bersedia membantuku. Aku memilih hotel yang terbaik untuk bermalam karena aku punya uang. Ya.. aku punya uang namun tak bahagia.
Sesampainya di hotel aku segera cek in dan hanya cek in. Aku merasa harus mencari bar untuk minum sebab otakku sungguh payah hari ini. Rasanya kepalaku ingin meledak. Bayangkan saja belum genap sehari aku sudah tertimpa banyak masalah. Mulai dari kebencian Mama pada bulan September hingga Gian yang membenciku gara-gara kejadian September tiga tahun lalu. Oh.. aku jika bisa aku hapus dari kalender masehi maka September akan aku hapus sejak dulu.
Aku memesan beberapa minuman yang sedikit keras. Benar-benar seikit keras, karena bar ini tidak menyediakan minuman dengan kadar alkohol tinggi. Mungkin mereka mengira tidak akan ada orang yang membutuhkan minuman haram seperti itu. Aku katakan mereka salah besar karena aku sangat membutuhkan minuman jenis itu. Akhir-akhir ini rasanya aku selalu ingin mauk. Tak apalah ayahku seorang lelaki hidung belang dan ibuku hampir gila. Menurut pendapatku orang seperti aku layak untuk mabuk setiap hari bahkan setiap jam.
“Pelayann..Aku minta tambah minum!” ujarku sangat keras.
“Tapi ini sudah gelas ke lima mbak” jawaban pelayan itu.
“Arghh… Aku mau minum!!! Cepat!!!” teriakku lantang.
Aku merasa minumanku sudah datang, meski aku tak membuka mata tapi dari aroma alkohol yang menyengat aku tahu minumanku sudah siap di depanku. Aku segera menenggaknya dan hanya membutuhkan beberapa detik saja. Setelah itu melayang. Jika digambar dalam selembar kertas, maka akan terlihat aku mengenakan gaun hitam dalam lentera kegelapan lalu melayang di atas awan yang gelap. Ah.. mabuk itu menyenangkan.
Ketika aku membuka mataku perlahan. Sinar matahari yang masuk lewat celah-celah jendela seakan ingin menelanjangiku. Sudah siang rupanya. Ternyata aku mabuk berat hingga hilang kesadaran. Tapi bukankah ini kamar hotelku? Lalu siapa yang membawaku?
“Cepat bangun!!!”suara itu mengagetkanku.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan sosok itu sudah berdiri tegak di depan pintu. Dia menatapku garang, terkesan sangat kejam.
“Gian ? Kenapa kau bisa ada disini?” tanyaku pelan.
“Cepat mandi bau alkohol itu sudah menyebar ke seluruh tubuhmu!” kali ini dia bicara dengan lebih rendah dari sebelumnya. Lalu keluar dari kamar tanpa lupa menutup kembali pintu kamar.
Langsung saja aku masuk kamar mandi. Aku tak habis pikir kenapa sepagi ini dia sudah muncul dengan sikap semengerikan itu. Dia benar-benar berubah. Tak tahukah dia aku meridukannya? Oh tidak, kata merindu tidak pantas ku ucap yang benar aku ingin melihat dia yang dulu.
Setelah selesai memilih dan mengenakan baju aku bergegas keluar. Rasanya tak sabar menghujaninya pertanyaan.
“Gian, sebenarnya apa yang kau lakukan disini?” tanyaku tak sabar.
“Berdiri. Sejak kapan kau mulai menjadi pemabuk?” jawabnya pedas sambil melontarkan pertanyaan gila padaku.
Aku diam. Jujur saja aku tidak tertarik menjawab pertanyaan itu.
“Katakan padaku mengapa kau semenjijikan ini?” tanyanya padaku sekali lagi.
Aku tetap terdiam. Aku tatap matanya dalam-dalam seperti hendak menghipnotisnya. Sekuat tenaga aku menutupi kenyataan bahwa ucapannya ibarat petir saat gelap gulita. Mencekam, menakutkan, sekaligus menghancurkan. Sungguh air mataku tak sanggup ku bendung lagi.
“Aku ini mencintaimu, Anggun! Sangat mencintaimu hinga detik ini. Seharusnya kau ceritakan semua masalahmu kepadaku. Jika aku tahu tentang masalahmu aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku tersiksa melihatmu semakin mederita sekarang karena aku” kata Gian sambil memegang erat tanganku.
“Omong kosong!” ujarku lantang sambil melepaskan genggamannya.
“Jangan pernah kau seperti ini lagi. Ingat aku mencintaimu dengan semua yang kamu miliki” ucapnya lembut sambil memelukku erat. Aku tak berdaya dalam pelukannya. Ini pelukan yang selama tiga tahun ku rindukan. Aku bisa menangis sepuasnya dalam pelukannya.
♥♥♥♥♥
“Sebenarnya malam itu aku sedang mencarimu. Aku ingin minta maaf karena kata-kataku saat di pesawat tadi siang telah melukai hatimu. Lalu aku bertanya pada pihak hotel itu apakah kau sedang menginap di sana. Ternyata dugaanku benar dan aku mendapatimu mabuk berat” tutur Gian polos sambil terus konsentrasi mengemudikan mobil.
Aku hanya menatapnya serta menyimpulkan senyum termanisku berharap Gian kembali bercerita.
“Saat mabuk kau menceritakan semua penderitaanmu. Tentang ibumu, tentang ayahmu, dan tentang aku. Aku tak percaya mendengarnya tapi aku rasa orang mabuk itu selalu jujur. Selain itu aku juga merasa sangat sedih dan marah pada diriku sendiri. Andai saja dulu aku lebih memperhatikanmu pasti ceritanya akan lain” kali ini dia menatapku sebentar.
“Sudahlah, jangan di bahas lagi! Mau kemana kita sekarang?”
“Saat kamu mabuk aku mendengar alsanmu ke Solo untuk mencari Kak Ayu. Benar begitu?”
“Iya, aku mencarinya. Apa kamu tahu tentang Kak Ayu?”
“Aku pernah berjumpa dengannya di salah satu kedai makanan. Katanya dia pemilik kedai itu jadi sekarang aku akan mengajakmu kesana”
“Oh.. Gian..” desahku sambil mentapnya tajam.
“Jangan menatapku seperti itu aku grogi. Sebentar lagi kita sampai” katanya sambil memarkirkan mobil di tepi jalan.
Aku dan Gian segera turun dari mobil. Sambil berharap aku melangkah masuk dalam kedai itu. Berdiri sejenak dan memperhatikan dengan seksama. Dan aku menemukan Kak Ayu duduk di dekat kasir. Aku tersenyum.
♥♥♥♥♥
Sekarang hari ke tiga bulan Sepember. Aku tak percaya melihat ibu tersenyum bahagia sambil memeluk Kak Ayu. Kebahagian dalam raut wajahnya tergambar seperti dia telah menemukan jarum dalam segudang jerami. Dia tampak luar biasa bahagia.
Aku yang berdiri di samping mereka pun tak kuasa menahan air mata. Ini adalah saat paling mengharukan untukku. Tiga tahun aku tersiksa menyaksikan ibuku hampir gila. Tiga tahun berusaha mencari penyebab hancurnya keluargaku. Andai saja aku tidak membenci Ayah pasti bertahun lalu aku sudah menanyakan masalah ini. Sekarang aku sadar bicara adalah obat paling manjur untuk menyembuhkan penyakit yang bernama masalah.
“Anggun, kenapa Gian nggak kamu ajak kesini?” tanya Kak Ayu mengejutkanku.
“Dia masih di Solo” jawabku singkat.
Lalu tiba-tiba ada sosok seorang lelaki yang mendekat padaku. Aku memeluknya sambil terus menangis. Sementara Kak Ayu dan Ibu juga bangkit untuk ikut serta memelukku. Seperti mimpi saja kami berpelukan dengan Ayah.
Masih hari ke tiga bulan September. Aku sekarang telah mendapatkan kesempatan keduaku untuk memperbaiki hubunganku dengan Gian. Berkat bicara pula sekarang kami kembali merajut jalinan cinta yang sempat putus. Meski sekarang Gian masih di Solo untuk menyelesaikan kuliahnya dan aku tinggal di Jakarta tapi kami sudah berkomitmen untuk saling menyayangi.
Mulai saat ini aku juga ingin membuang segala kebiasaan burukku. Mulai dari berbohong hingga mabuk. Semua kejelekanku akan aku buang demi mempertahankan kebahagiaan yang aku miliki. Aku juga sadar bahwa Tuhan itu selalu bersamaku. Walaupun aku tak pernah dekat dengannya tapi dia tetap memberiku kebahagian yang sangat indah seperti saat ini. Aku berjanji untuk selalu mengingat Tuhan mulai dari sekarang.
Air mata bahagiaku terus mengalir. Rasanya melelehkan semua kebencianku terhadap bulan September. Aku akan mencintai bulan September mulai dari sekarang.(7/5/2011 7:45:20 AM)
BIODATAPENULIS :
Saya bernama Sekar Banjaran Aji. Nama pena saya Sekar Illalang. Saya belum punya catatan prestasimenulis tapi saya suka menulis. Apabila berkenan silahkan mengunjungi gubuk saya di www.facebook.com/illalang atau kembangillalang.blogspot.com. Sekarang saya masih berjuang menjadi siswa yang baik di SMA Negeri 1 Wonogiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI