Akhir-akhir ini pemutaran kembali film G 30 S PKI sangat ramai di media sosial.  Pemutaran film ini 'dihidupkan' lagi jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Film  arahan  sutradara  Arifin  C.  Noer  itu  sempat  rutin  diputar  setiap  tahun  sejak  1984.
Namun, pemutarannya dihentikan pasca rezim reformasi tahun 1998. Film ini banyak menuai kritik bagi masyarakat Indonesia. Adanya potensi kebangkitan isu komunisme dijadikan dalih  oleh pemerintah menayangkan lagi film itu. Namun, masyarakat harus cerdas dalam menilai peristiwa yang terjadi pada tahun 1965.
 Termasuk jeli mencerna apa yang terjadi pada 30 September. Film yang diproduksi pada tahun 1984 dan menguras kas negara sebanyak Rp 800 juta rupiah, secara jelas disponsori oleh negara.Â
Hal tersebut didukung dengan penulisan script oleh sejarawan yang rujukannya berasal dari buku sejarah yang juga,  didanai negara keperluan pemerintahan Soeharto dalam membuat film ini, tak lain sebagai bagian dari rezim orde baru untuk menciptakan aksi heroik, dalam "menyelamatkan" Indonesia yang saat  itu  tengah  dilanda  kebangkrutan  nasional  dan  keberadaan  PKI.Â
 Film  'Pengkhianatan
G30S/PKI' jelas mewakili sudut pandang rezim orde baru tersebut. Pada dasarnya sejarah
memang memiliki versi masing-masing.Â
Versi yang kita dapatkan dari sudut pandang orde baru akan berkata demikian.Â
Namun akan berbeda hasilnya jika kita mendapatkan fakta lain,Â
salah satunya dari penyintas yang menjadi korban persekusi dan dicap berafiliasi dengan PKI.
Kendati film 'Pengkhianatan G30S/PKI' yang dianggap kontroversial, namun karya
seni itu pernah menuai penghargaan di Festival Film Indonesia di tahun 1984 untuk kategori
skenario terbaik. Publik pun sempat memuji sinematografi film itu. Efek dramatisasi tetap dibutuhkan untuk menarik perhatian penonton.Â
Namun, efek dramatisasi ini juga menuai polemik, lantaran si pembuat film mencampurkan antara fakta dan khayalan.Â
Dalam film tersebut, lebih banyak fantasinya ketimbang yang faktual. Padahal, konsep film 'Pengkianatan
G30S/PKI'  itu  menampilkan  sejarah  ke  publik.  Â
Salah  satu  yang  dianggap  fiksi  yakni mengenai ada atau tidaknya aksi penyiksaan kepada tujuh jenderal yang diculik itu. Berdasarkan  hasil  autopsi  dokter  yang  sudah  menyebar  di  dunia  maya,  tidak ditemukan adanya unsur penyiksaan terhadap jasad para jenderal. Laporan autopsi menyebut Jenderal  Ahmad  Yani  tewas  akibat  10  luka  tembak,  tanpa  adanya  pencungkilan  mata. Sayangnya, generasi muda justru hanya mencari informasi dari film itu semata.Â