Mohon tunggu...
SitiSekar Ayu
SitiSekar Ayu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Perlukah Kita Menonton Kembali G 30 S PKI?

22 Januari 2018   13:15 Diperbarui: 22 Januari 2018   13:22 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Akhir-akhir ini pemutaran kembali film G 30 S PKI sangat ramai di media sosial.  Pemutaran film ini 'dihidupkan' lagi jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Film   arahan   sutradara  Arifin   C.   Noer   itu   sempat   rutin   diputar   setiap   tahun   sejak   1984.

Namun, pemutarannya dihentikan pasca rezim reformasi tahun 1998. Film ini banyak menuai kritik bagi masyarakat Indonesia. Adanya potensi kebangkitan isu komunisme dijadikan dalih  oleh pemerintah menayangkan lagi film itu. Namun, masyarakat harus cerdas dalam menilai peristiwa yang terjadi pada tahun 1965.

 Termasuk jeli mencerna apa yang terjadi pada 30 September. Film yang diproduksi pada tahun 1984 dan menguras kas negara sebanyak Rp 800 juta rupiah, secara jelas disponsori oleh negara. 

Hal tersebut didukung dengan penulisan script oleh sejarawan yang rujukannya berasal dari buku sejarah yang juga,  didanai negara keperluan pemerintahan Soeharto dalam membuat film ini, tak lain sebagai bagian dari rezim orde baru untuk menciptakan aksi heroik, dalam "menyelamatkan" Indonesia yang saat   itu  tengah  dilanda   kebangkrutan   nasional  dan  keberadaan   PKI. 

 Film  'Pengkhianatan
G30S/PKI' jelas mewakili sudut pandang rezim orde baru tersebut. Pada dasarnya sejarah
memang memiliki versi masing-masing. 

Versi yang kita dapatkan dari sudut pandang orde baru akan berkata demikian. 

Namun akan berbeda hasilnya jika kita mendapatkan fakta lain, 

salah satunya dari penyintas yang menjadi korban persekusi dan dicap berafiliasi dengan PKI.
Kendati film 'Pengkhianatan G30S/PKI' yang dianggap kontroversial, namun karya
seni itu pernah menuai penghargaan di Festival Film Indonesia di tahun 1984 untuk kategori
skenario terbaik. Publik pun sempat memuji sinematografi film itu. Efek dramatisasi tetap dibutuhkan untuk menarik perhatian penonton. 

Namun, efek dramatisasi ini juga menuai polemik, lantaran si pembuat film mencampurkan antara fakta dan khayalan. 

Dalam film tersebut, lebih banyak fantasinya ketimbang yang faktual. Padahal, konsep film 'Pengkianatan
G30S/PKI'   itu   menampilkan   sejarah   ke   publik.   

Salah   satu   yang   dianggap   fiksi   yakni mengenai ada atau tidaknya aksi penyiksaan kepada tujuh jenderal yang diculik itu. Berdasarkan   hasil   autopsi   dokter   yang   sudah   menyebar   di   dunia   maya,   tidak ditemukan adanya unsur penyiksaan terhadap jasad para jenderal. Laporan autopsi menyebut Jenderal   Ahmad   Yani   tewas   akibat   10   luka   tembak,   tanpa   adanya   pencungkilan   mata. Sayangnya, generasi muda justru hanya mencari informasi dari film itu semata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun