Seharusnya aku sudah pulang setengah jam yang lalu. Seharusnya saat ini aku berada di subway menuju Brooklyn. Dan, seharusnya aku tidak menunggui gadis ini!
“Bisa aku minta lagi yang seperti ini?” pintanya.
“Aku takut, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, Nona.”
“Kenapa?”
“Itu sudah gelas yang kelima. Aku takut, jika kau minum satu gelas lagi, tubuhmu akan tumbang.” Sambil membereskan gelas-gelas bir, aku berusaha memberi pengertian padanya.
Dia tertawa. “Tumbang?” Tertawa lagi. “Aku tidak pernah tumbang. Kapan kau melihatku tumbang? Ingatkan aku, hei, bartender!”
Gadis ini rupanya sangat sombong. Ia tidak sadar sedang meracau soal dirinya sendiri. Mungkin aku memang belum pernah melihatnya tumbang. Jangankan tumbang, aku bahkan tidak mengenalnya. Tapi, memang rasanya wajah gadis ini tidak asing. Apa mungkin aku pernah bertemu dengannya di subway? Atau, di fresh market? Ehm, mungkin aku melihatnya di televisi.
“Lebih baik kamu pulang saja, Nona. Aku sudah mau menutup tempat ini. Sudah jam tiga pagi dan aku seharusnya sudah pulang setengah jam yang lalu,” kataku. Semoga gadis ini tidak tersinggung dengan ucapanku.
“Jadi, kau mengusirku? Kenapa? Apa kau pikir aku tidak punya uang?”
Dia membuka tas tangannya, mengeluarkan beberapa lembar uang seratus dollar, dan menyodorkannya padaku. Padahal, bukan itu maksudku.
“Tidak, Nona. Bukan seperti itu. Ini sudah pagi. Dan, kau sudah meneguk lima gelas margarita. Aku benar-benar takut lambungmu terkena masalah. Apa perlu aku pesankan taksi?” Aku berusaha berbaik hati, walaupun aku jengkel setengah mati dengan gadis ini.
Baiknya kuceritakan dulu soal gadis ini. Pukul sembilan ia datang. Ia duduk di sudut ruangan dan hanya memesan kopi hitam tanpa gula. Mungkin sekitar dua jam ia di sana. Lalu, perlahan ia beringsut mendekati meja bar. Ia memesan margarita pertamanya, menegak habis, dan meminta gelas kedua. Di gelas kedua, ia mulai meracau. Seterusnya, sampai gelas kelima.
“Please….” Jeda sedetik. “What’s your name?”
“Humphrey. Dan Humphrey. You can call me Dan.”
“Okey, Dan. Aku… sedang tidak ingin pulang. Bisakah kau carikan aku tempat untuk bermalam?”
“Ada motel di ujung blok.”
“Nooo…. Bukan tempat seperti itu. Bagaimana jika di tempatmu saja?”
Woaa!!! Apa-apaan ini? Aku sedang berniat mencari teman kencan semalam. Aku punya kehidupan yang tidak ingin kubagi. Apalagi dengan gadis asing seperti yang ada di hadapanku saat ini. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, tiba-tiba terdengar suara rem berdecit di luar bar. Dua mobil SUV hitam berhenti mendadak di depan sebuah butik yang terletak di seberang jalan. Sekitar enam orang turun dari dua mobil tersebut. Tubuh mereka menunjukkan hasil latihan fisik yang rutin dan disiplin. Dua di antara mereka masuk ke bar milikku. Pintu bar memang belum aku kunci – berharap gadis ini pulang dengan segera, lalu aku bisa mengunci pintunya.
Dua pria bertubuh tegap berdiri tak jauh dari pintu, keduanya menyapu pandangan ke tiap sisi ruangan. Mereka tidak menemukan siapa-siapa selain aku dan gadis ini.
“Mencari siapa, Tuan-tuan?” tanyaku masih dari balik meja bar.
“Miss Lohan. Kau melihatnya?” tanya si pirang bertato naga di lengannya.
Aku melirik gadis di depanku. Aku perhatikan wajahnya sekali lagi. Astaga! Dia memang Lilo. Rambut hitam dan lensa kontak warna coklat itu mengaburkan deskripsiku. Dia menggeleng pelan, seolah sedang memberiku kode. Lalu, ia bersuara seperti desisan, yang akhirnya aku tahu itu sebagai kata “please”. Dia sedang memohon untuk diselamatkan.
Well, sebenarnya aku tidak rugi apa-apa jika kuserahkan dia kepada dua pria itu. Ada kemungkinan, nama barku akan muncul di berita pukul enam pagi. Itu akan menguntungkan usahaku. Tapi, aku bukan oportunis. Aku tidak mau menjerumuskan orang lain demi keuntungan pribadi. Banyak yang berpikiran aku seperti itu. Apalagi ketika aku masih menjalin hubungan dengan Serena Van der Woodsen.
“Sir?” si pirang mengagetkan aku. “Apa kau melihat Miss Lohan masuk kemari?”
“Lohan? Lindsay Lohan?” Aku tak percaya dengan pendengaranku.
“Ya. Lohan yang mana lagi?” sahut si botak.
“Bagaimana bisa Lindsay Lohan berkunjung ke barku? Ini bukan bar sekelas Golden Paradise di Manhattan. Kalian pasti salah informasi.”
“Informan kami tidak mungkin salah,” sahut si pirang. “Satu jam yang lalu, informan kami mengatakan melihat Miss Lohan di bar ini.”
“Tunggu dulu. Kalau pun memang dia kemari, bukankah itu haknya?”
“Kau tidak lihat berita hari ini?”
“Aku terlalu sibuk di balik meja ini. Jadi, ya… aku tidak menonton berita. Ada apa?”
“Miss Lohan akan berangkat ke LA kurang dari enam jam lagi. Dia harus menjalani rehabilitasi ketergantungan alkohol selama 90 hari. Tapi, tadi malam ia kabur.”
Aku seharusnya terkejut. Nyatanya tidak! Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap gadis ini. Oke, aku sedikit menyesal telah menolongnya. Tapi, ketika aku melihat kembali mata Lindsay, banyak kesengsaraan di sana. Aku menyerah.
“Sir,” ucap si pirang.
“Yeah?”
“Is she your girl?” tanyanya lagi.
Harus kujawab apa? “Yes. She’s my girl.” Sudah kukatakan, aku menyerah.
Kedua pria itu keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Dan, kedua SUV hitam itu segera menghilang dari tempat parkir.
“Apa kau akan menjelaskan sesuatu?” tanyaku.
Lindsay menunduk, bahunya bergerak naik-turun. Lama-lama, isakannya makin jelas.
“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi,” katanya. “Aku ingin berhenti, tapi sulit. Tubuhku selalu memintanya, otakku selalu memerintah tanganku untuk terus menghabiskan minuman itu sampai tetes terakhir. Aku lelah, Dan. Tapi, aku tak sanggup berbuat apa-apa.”
“Mungkin memang kau harus menjalani rehabilitasi itu supaya kau tahu bagaimana harus bertindak.”
“Tidak, Dan! Tempat rehabilitasi itu seperti penjara. Mereka tidak membiarkan kau seenaknya berjalan-jalan di sana. Kau akan banyak menjalani tes-tes memuakkan. Apalagi kepada orang semacam aku. Seolah mereka tak peduli jika aku ini juga manusia. Aku muak dengan mereka, Dan! Aku menginginkan pelukan nyaman dari orang yang menyayangiku. Aku butuh sapaan hangat dari mereka yang mengenalku. Bukan sorotan terus-menerus yang membuatku tak tahu harus berbuat apa. Dan, margarita ini…, selalu menjadi temanku setelah semua yang terjadi di depan kamera.”
Lindsay membenamkan wajahnya dengan kedua lengannya. Isakannya masih terdengar.
“Aku ingat filmmu yang menceritakan tentang keberuntungan. Kau bertukar keberuntungan dengan seorang pemuda tampan hanya gara-gara sebuah ciuman di sebuah pesta topeng.”
Lindsay mengangkat kepalanya. “Film konyol. Aku bersedia bermain di sana hanya karena aku berhutang kepada Halley Duff.”
“Aku tidak menanyakan itu. Yang aku ingin tahu, bagaimana jika kau diberi satu kesempatan lagi untuk memperbaiki hidupmu?”
“Bisakah?” Dahinya berkerut.
“Siapa tahu, kau menemukan sesuatu…, atau seseorang di LA, yang bisa mengubah hidupmu.”
Lindsay bangkit dari kursi. Ia kembali merogoh tasnya dan mengeluarkan empat lembar seratus dollar. “Terima kasih untuk bantuannya. Terima kasih telah membohongi dua penjagaku tadi. Terima kasih… karena sudah menjadi teman mengobrol, walaupun hanya sebentar. Aku berharap… akan ada banyak percakapan di antara kita. Tapi, ya…, kau punya kehidupan yang tak mungkin kau bagi denganku, pecandu margarita yang payah.”
Lindsay melangkah ke pintu bar.
“Kau mau ke mana?” Aku seperti setengah berteriak.
“Don’t know yet. Going somewhere but here.”
Lindsay keluar dari bar. Ia menengok kanan-kiri, lalu menyeberang jalan. Dan, punggungnya pun menghilang di balik temaram malam.
Sumber gambar, klik image.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H