Mohon tunggu...
Seir HaidahHasibuan
Seir HaidahHasibuan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pentingnya Musyawarah

28 Juni 2023   18:28 Diperbarui: 28 Juni 2023   18:30 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

@Cerpen
Pentingnya Musyawarah

Apa artinya musyawarah?

Musyawarah artinya menyelesaikan masalah secara bersama-sama untuk mencapai mufakat atau kesepakatan ( dikutib dari Tematik kelas 2 SD pelaharan PPKn).
Keluarga adalah tempat kita  berkumpul bersama. Bersenda gurau bersama anak-anak dan saudara yang datang berkunjung dan lain sebagainya. Setiap ada sesuatu yang direncanakan selalu bermusyawarah lebih dahulu. Paling tidak memberi pendapat atau masukan.
Ada perbedaan pendapat di sana.  
"Aku maunya seperti ini, aku seperti ini," masing-masing memberi tanggapan.
Dari masukan masing- masing tentu tidak semua yang dapat dipakai. Sebaiknya tidak  ada yang kecewa walau pendapat atau usulnya tidak diterima. Pendapat yang tidak diterima harus berlapang dada dan mau menerimanya dengan tulus. Itu tandanya menghargai kesepakatan dan terciptanya kerukunan.
***
Keluarga Pak Kirap sedang merehap total  rumahnya.
Dari hasil musyawarah mereka telah sepakat tentang model dan bentuk nya. Setelah bangunan rumah selesai, mereka musyawarah lagi masalah warna cat rumahnya. Pak Kirab menanyakan kepada tukangnya. Dari hasil pembicaraan dari tukang, Pak kirap menghampiri istrinya
"Bu, bagaimana menurut Ibu, bagus tidak warnanya? Tanya Pak Kirap sambil menyodorkan contoh warna cat yang dibelinya.
"Pak, ini terlalu cerah, pilih yang lebih lembut," balas Istrinya.
Pak, Kirap
Menuruti apa yang dikatakan Istrinya. Segera Pak Kirap pergi ke Material membeli cat tembok. Sampai di material Pak Kirap bertanya kepada karyawannya.
"Mas, ada tidak warna cat yang seperti ini? Tanyanya penuh harap.
" Ini, Pak sama warna dan nomornya," imbuh karyawan tersebut.
Wajah Pak Kirap tampak bahagia, cat yang dicari ternyata ada. Pak Kirap merogoh sakunya meraih uang dari dompetnya.
"Terima kasih Mas," ungkap Pak Kirap sambil melahkah membawa cat yang dibeli.
Dengan roda duanya Pak Kirap meninggalkan material. Tiba di rumah Pak Kirap menyerahkan catnya ketukang yang bekerja.
Keesokan harinya tukang pun mengecat rumah Pak Kirap. Alhasil warna yang mereka pilih sangat memuaskan.
Selang beberapa waktu, bangunan berhenti. Tukang yang bekerja pun pulang ke rumahnya masing-masing. Istilahnya ngaso dulu, nunggu si doku ngumpul dulu hehehee, kehabisan modal kali!"
Beberapa bulan kemudian, Pak Kirap menghubungi tukangnya.
"Mas, sampean lagi kerja apa tidak? Tanya Pak Kirap di telpon genggamnya.
"Kebetulan sudah selesai Pak kerja di tetangga," balasnya.
Pak kirap meminta mereka datang, rehap rumahnya akan dimulai lagi.
Hari Selasa selesai lebaran tukang sampai di rumah Pak Kirap. Pemasangan lantai dilanjutkan kembali. Sebagian tukangnya ada yang memasang pintu dan jendela. Setelah pintu selesai dipasang Pak Kirap ingin mengecat pintunya. Ia bertanya kepada tukang. Warna cat suda mereka sepakati. Namun, istri Pak Kirap tidak diberi tahu. Cat pintu yang disepakati Pak Kirap dengan tukang akhirnya di beli. Harganya Rp 75. 000 perkaleng kecil. Tukang mulai mengecat pintu namun, hanya bagian pinggirnya saja. Itu hanya contoh kalau cocok barulah dicat semua. Istri Pak Kirap ingin melihat bangunannya. Tetiba dia tersentak  melihat warna cat pintunya. Sepertinya dia tidak setuju dengan warna yang sudah dicat di pintu.  Bu Tina Istri Pak Kirap menghampirinya.
"Pak, warna pintunya kok seperti itu, warnanya mati," tukas Bu Tina.
Sebenarnya Pak Kirap buta warna, dia tidak bisa membedakan warna. Bila ditanya selalu meleset alias salah.
"Saya sudah tanya tukang katanya bagus."
"Loh, kok aku tidak ditanya malah nanya sama tukang," balas Istrinya.
"Warna apa donk yang bagus, itu cat yang dibeli tidak bisa ditukar lagi dan sayang sekali sudah mahal-mahal belinya," ungkap Pak Kirap dengan nada naik setengah oktaf. Belum satu oktaf hehehe. "Ya, sudah, warna apa yang dibeli ayolah," ajaknya pada Bu Tina istrinya dengan nada turun setengah oktaf.
Bu Tina melihat potongan plafon lalu menunjukkan kepada Pak Kirap.
"Warna ini lebih bagus, cocok dengan warna lis plafon dan tembok," ucap Bu Tina.
"Itu kurang cocok Bu, masa sama warnanya dengan tembok," sanggah Pak Kirap. "Bukan sama Pak, warna tembok lebih muda," balas Istrinya.
Pak Kirap dan Istrinya berbeda pendapat masalah warna pintu. Akhirnya Bu Tina memanggil anaknya yang sudah mahasiswa.
Mereka bedua melangkah menuju pintu rumah yang sudah dicat.
"Lihat, Nak cocok tidak warna pintunya? Tanya Bu Tina.
"Ini warnanya kurang cocok Bu, warna kayu saja lebih cocok," balas anaknya.
Akhirnya Pak Kirab mengajak Istrinya ke material untuk membeli catnya namun, dari wajahnya dia kurang setuju, alasannya warna yang sudah dibeli sayang dan mahal. Dia tetap komit dengan warna semula. Wajah Pak Kirap memerah dan nada sedikit meninggi.
Melihat suaminya tidak setuju akhirnya Bu Tina mengalah.
"Ya sudahlah Pak, mungkin karena baru sedikit yang dicat kelihatan warnanya mati.  Kalau sudah selesai semuanya dicat pasti lebih bagus," ungkap Bu Tina menghibur dirinya.
"Pergilah dengan anakmu, bawa contohnya," titah Pak Kirap lagi.
Sudahlah Pak, itu juga sudah bagus pakai yang sudah ada saja," sambung Bu Tina mendamaikan suasana.
Bu Tina tidak mau berdebat dengan Pak Kirap suaminya, dia takut suaminya kambuh sakitnya. Berdamai lebih indah dari pada berdebat panjang. Mengalah untuk menang, itulah yang selalu dilakukan Bu Tina.

Terima kasih sudah membaca kisah Pak Kirap dan Bu Tina. Salam bahagia.
Jakarta, 28 Juni 2023

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun