Oleh: Mohammad Faqih UbaidillahÂ
Mahasiswa PAI semester 4 INISNU temanggung.
Dosa yang Terlahir dari Darah Sendiri
Di tengah hiruk-pikuk jagat maya, pecah sebuah kabar yang membekukan hati dan nurani: kisah kelam tentang hasrat sesat yang membungkus dirinya dalam ikatan darah. Inses fantasi yang mencabik-cabik batas kemanusiaan tiba-tiba menjadi bara yang membakar ruang diskusi di media sosial. Sebuah grup Facebook dengan puluhan ribu anggota yang awalnya tampak biasa, kini menjadi saksi bisu atas kegilaan yang tak bisa dibenarkan. Grup itu akhirnya lenyap, disapu karena menebar keresahan dan kekejian.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sonhaji, pun tak tinggal diam. Ia mendesak agar Polri mengambil tindakan tegas. Sebab ini bukan hanya sekadar pelanggaran moral, melainkan pengkhianatan terhadap fitrah kemanusiaan. Bagaimana mungkin seorang ayah, yang dahulu menggendong bayi mungil dengan penuh kasih, kini menjelma menjadi iblis yang mencabik tubuh anak kandungnya sendiri demi nafsu yang membabi buta?
Ini lebih dari sekadar tindak cabul. Ini adalah tragedi yang merobek nilai-nilai keluarga, mengikis kepercayaan, dan menampar wajah kemanusiaan. Nafsu yang tak lagi mengenal batas, bak seekor serigala lapar yang menerkam dagingnya sendiri, atau seperti zombie yang menggigit tubuhnya sendiri demi memuaskan dahaga gelap.
Kita merenung, bertanya dalam getir: mengapa? Bagaimana bisa darah yang sama, yang seharusnya menjadi pelindung dan pelipur, justru menjadi pemangsa? Anak yang dulu ditimang dengan lagu nina bobo, kini menjadi korban di altar birahi seorang predator berselubung kasih sayang palsu.
Betapa hinanya perbuatan itu, lebih rendah dari hewan yang tak mengenal akal. Bahkan binatang pun tahu batas, tahu insting untuk melindungi keturunannya. Maka, apakah pantas pelaku seperti ini hanya diberi kata 'dihukum'? Atau justru pantas dikebiri, bahkan dihapus dari kehidupan, demi menjaga moral yang tersisa di negeri ini?
Fenomena ini adalah virus, penyakit sosial yang meracuni akal dan nurani. Ia merambat diam-diam, menjalar dari kesunyian rumah, dan meledak menjadi malapetaka. Kita tidak bisa hanya mengutuk dalam diam. Hukum harus menjadi pedang yang menebas dengan adil. Bila perlu, hukum mati menjadi penebus atas rusaknya nilai, agar kejadian ini tak menjelma menjadi kutukan yang terus berulang.
Kita berharap, keadilan tak lagi tertidur. Kita meminta, agar para penjaga konstitusi menindak tegas, bukan hanya demi korban, tetapi demi martabat kemanusiaan itu sendiri.
Sumber: kompas.com