Deru napas Putra terdengar berat. keringat dan air mata membasahi jerseynya yang kini menempel di tubuh. Ia tertinggal beberapa meter dari pelari lain, namun di telinganya hanya ada dua suara yaitu detak jantung dan tekadnya sendiri yang sibuk menyakinkan dirinya bahwa dia belum kalah.
Sejak kecil, Putra bermimpi menjadi pelari nasional. Ia selalu percaya kecepatan bukan hanya soal kaki, tapi juga keyakinan. Sayangnya  dua tahun lalu, cedera lutut hampir merenggut mimpinya. Dokter sempat berkata bahwa kecil kemungkinan putra bisa berlari seperti dulu, tapi Putra menolak menyerah ia yakin bahwa ia bisa sembuh kembali. Ia menjalani fisioterapi setiap hari, menahan sakit, sementara banyak orang mulai melupakannya di dunia atletik.
Hari ini adalah kejuaraan terakhir sebelum seleksi nasional. Jika gagal, mimpinya berakhir.
Pagi itu, Coach Ibrahim menepuk bahunya.
Coach Ibrahim: "Kau yakin bisa turun hari ini, Putra? Lututmu belum pulih penuh."
Putra: "Saya tahu, Coach. Tapi saya tak ingin hidup dengan rasa penasaran."
Di sisi lain, Acha, sahabatnya, menatap khawatir.
Acha: "Kalau sakitnya kambuh, jangan paksakan. Medali bisa dicari, tapi kaki tak bisa dibeli."
Putra: (tersenyum keci) "Aku cuma mau buktikan kalau aku masih bisa finis."
Sesaat sebelum start, Andra, rivalnya, menghampiri.
Andra: "Dengar-dengar kau sempat cedera parah? Hebat juga bisa balik secepat ini."
Putra: "Cedera bukan alasan buat berhenti, kan dra?"
Andra: (tersenyum kecil) "Benar juga. Cedera bukan alasan untuk kita gak nyoba untuk berjuang."
Peluit dibunyikan. Semua pelari melesat.
Langkah Putra pasti, tapi rasa nyeri mulai terasa di lututnya. Ia tahu Andra sudah di depan, tapi dalam hati kecilnya ia berkata, "Lawanku bukan mereka,lawanku adalah diriku sendiri"
Putaran terakhir tiba. Nyeri semakin hebat. Napasnya berat, langkahnya goyah seakan kaki sudah tak menapak ditanah. Di tengah rasa sakit, ia mendengar teriakan dari tepi lintasan.
Coach Ibrahim: "Putra! Juara bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling kuat bertahan!"
Kata-kata itu menyalakan semangatnya kembali. Putra menggertakkan gigi, menahan rasa sakit, dan terus berlari. Garis putih di ujung lintasan tampak makin dekat. Satu langkah... dua langkah... lalu tubuhnya akhirnya melintasi garis finis sebelum jatuh terkapar di tanah.
Acha berlari menghampiri sambil meneteskan air mata.
Acha: "Kamu berhasil, Putra! Kamu finis!"
Putra: (terengah) "Aku cuma ingin buktikan... aku belum kalah."
Andra berdiri di sampingnya, menatapnya dengan hormat.
Andra: "Kau pelari sejati, Putra. Hari ini semua orang tahu itu."
Sementara Coach Ibrahim hanya tersenyum bangga.
Coach Ibrahim: "Selamat, Nak. Kau sudah menang --- bukan di podium, tapi atas dirimu sendiri."
Bagi Putra, kemenangan bukan sekadar medali.
Kemenangan adalah ketika ia mampu menaklukkan rasa takut dan rasa sakit dalam dirinya.
Hari itu, ia benar-benar menjadi juara --- bukan di podium, tapi di dalam hatinya.
Harapan dalam cerpen "Langkah Terakhir Menuju Garis Finis" adalah agar setiap orang tetap berjuang meraih mimpi meski menghadapi banyak rintangan dan rasa sakit. Melalui kisah Putra, saya sebagai penulis ingin menunjukkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti, dan setiap langkah kecil menuju tujuan adalah bentuk kemenangan tersendiri.
Kegigihan, ketulusan, dan keberanian untuk terus berjuang adalah bentuk kemenangan sejati dalam hidup.
Jangan berhenti hanya karena terasa sulit, tapi berhentilah hanya ketika kamu sudah mencapai garis finis.
Lawan terbesarmu adalah dirimu sendiri bukan orang lain.
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI