Mengubah jalan untuk mencapai tujuan itu boleh. Untuk menuju ke Jakarta sewaktu mudik, berangkat dari Yogyakarta, Ayah biasa menempuh jalur pantai utara, meski terkadang juga jalur pantai selatan. Toh tujuannya tetap sama; Jakarta.
Saya merasa baik-baik saja kini untuk mengganti rute setiap saat sewaktu-waktu, asalkan tujuan akhir yang ingin saya capai tetaplah sama. Saya merasa baik-baik saja untuk mengganti rute, karena kadang saya bertemu dengan orang-orang yang saya kenal (atau ingin saya kenal lebih dalam) di persimpangan jalan, saya harus berhenti sejenak dan menyapa mereka.Â
Saya merasa baik-baik saja untuk mengganti rute, karena kadang saya menemukan pemandangan indah di tengah perjalanan saya, dan saya mungkin lebih memilih menepi untuk menikmati pemandangan itu hingga lenyap, baru meneruskan perjalanan kembali. Saya merasa baik-baik saja untuk mengganti rute, karena saya bisa merasa lelah kapan saja, dan saya boleh untuk mendirikan kemah untuk singgah barang satu malam.
Saya harus merasa baik-baik saja, saya boleh mengubah rute saya, sejauh saya tak kehabisan bensin, tak kehilangan peta, dan tak lupa tujuan.
Tak perlu takut jika kini kita ada dalam perasaan-perasaan tersesat. Sesungguhnya mungkin kita tak tersesat, namun memang harus melewati jalan yang berbeda dengan orang-orang lainnya. Toh bisa jadi orang lain juga mengalami "tersesat" dalam suatu persimpangan mereka masing-masing? Siapa tahu?
Bersetialah pada hati nuranimu, ia selalu tahu kemana harus mengarah.