Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Misteri Angka 2000 Pak Ahok

23 Agustus 2015   17:06 Diperbarui: 23 Agustus 2015   17:06 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gubernur Ahok bilang, ia akan membunuh 2000 orang yang mengancam hidup 10 juta orang, dalam mengatasi banjir Jakarta. Mengapa menggunakan angka 2000? Siapa 2000 orang itu? Saya akan mengulasnya ini.

Menghubungkan perilaku Ahok (dalam menggusur penduduk kampung atas nama “menyelematkan Jakarta dari banjir”) dengan hegemoni kekuatan kekuasaan modal terkadang akan dicurigai menggunakan teori konspirasi yang tahayul.

Tapi, apakah para curigawan-curigawati itu tahu bahwa para penyelidik dan penyidik dalam melakukan pekerjaan mengusut kejahatan tertentu, mereka juga menyusun hayalan-hayalan dengan teori konspirasi A, B,C, D dan seterusnya? Dengan cara itulah mereka mencari alat-alat bukti.

Itu seperti peneliti yang menemukan suatu gejala, lalu menyusun hipotesis, mancari data-data, mengolahnya, mengomparasinya, hingga suatu saat dapat menentukan konklusi. Asumsi awal yang ia pikirkan juga hayalan.

Tapi dalam soal relasi kekuasaan modal dengan kenyataan ketimpangan ekonomi sosial dan keberpihakan rezim, bukanlah hal yang baru. Pada abad ini contohnya data PBB (UNO) menyebutkan bahwa kurang dari 20 % orang kaya di dunia menguasai sekitar 80 % penghasilan di dunia. Artinya, mayoritas manusia di muka bumi, yakni sekitar 80 % penduduk bumi, harus membagi sekitar 20 % penghasilan di dunia. Itu data ketimpangan ekonomi yang cukup parah. Apakah itu adil?

Bagi kaum kaya, mereka akan menjawab, “Itu adil. Sebab orang memperoleh apa yang mereka usahakan!” Persis seperti cara pikir John Locke, yang dibenci kaum buruh. Bagi kaum miskin, mereka akan menjawab, “Itu tidak adil. Kami berjasa dalam tertumpuknya kekayaan orang-orang kaya itu. Tenaga kami diperas, tidak diberikan hak yang sepadan dengan jerih payah kami!”

 

Kaum kaya yang bikin bangga

Sekarang mari menengok Indonesia ini. APBN negara ini tiap tahunnya belum mencapai Rp 3.000 T. Negara ini masih punya utang banyak. Tapi ada yang membanggakan. Segelintir orang kaya Indonesia punya duit sekitar Rp 4.000 T yang disimpan di Singapura. Duit itu dikelola oleh korporasi di Singapura, yang bahkan lalu duit itu dipinjamkan kepada pemerintah Indonesia. Itu belum termasuk yang disimpan di Swiss. Untuk merayu agar mereka mau membawa pulang duit yang diparkir di luar negeri itu sampai-sampai direncanakan dibikin kebijakan tax amnesty.

Duit segelintir kaum kaya sebanyak itu dari hasil usaha apa?

Ya nggak tahu. Menurut Direktur Penyuluhan dan Pelayanan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak, Mekar Satria Utama, selain pengampunan beban pajak, asal-usul duit itu juga tak akan diusut, ada juga pengampunan pidananya, agar mereka tidak takut pulang (Detikfinance, 22-5-2015).

Apa hubungannya itu semua dengan dengan banjir Jakarta? Apa hubungannya dengan cara gusur Ahok, yang saya istilahkan cara Ahokisme?

Sekarang, sebelum menjawab pertanyaan di atas, lebih dulu perlu saya bertanya: Apakah faktor penyebab banjir Jakarta? Apakah satu penyebab saja? Lalu apa penyebab utamanya? Dan apa solusinya? Katanya ilmu solving problem itu kan harus tahu penyebab problemnya, baru dapat ditentukan solusinya apa.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPera), Basuki Hadimoeljono mengatakan bahwa banjir Jakarta disebabkan kecilnya drainase sehingga tingginya curah hujan menjadi tak tertampung. Menurut Pak Menteri, solusinya adalah membuat sodetan dari sungai Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur. Waktu itu Basuki bicara di istana negara  (CNN Indonesia, 10-2-2015). Itulah mengapa Kampung Pulo digusur, untuk proyek sodetan Kali Ciliwung.

Kata-kata menteri Basuki itu membuat saya menengok website Kementeriannya. Saya cari penjelasan soal banjir. Lalu saya temukan artikel Kementerian PUpera, artikel Mei 2008, sebagai berikut: “Bencana banjir yang terjadi belakangan ini lebih disebabkan adanya eksploitasi tata ruang (lahan) secara berlebihan. Tata ruang sendiri sebenarnya telah diatur mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendaliannya di dalam Undang-Undang (UU) Penataan Ruang No. 26 tahun 2007, sebagai penyempurnaan dari UU sebelumnya No. 24 tahun 1992. Namun kondisi saat ini bahwa prinsip-prinsip penataan ruang masih belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya proses pembangunan yang melanggar ketentuan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, namun tidak ada sanksi yang tegas bagi setiap pelanggaran tersebut.” Pada tahun 1985 Jakarta masih memiliki ruang terbuka hijau (RTH) seluas 28,76% dari luas wilayah Ibu Kota. Sepuluh tahun kemudian (1995), luas RTH itu susut menjadi 24,88%. Memasuki tahun 2000 dan sesudahnya, RTH Jakarta tinggal 9,3%, jauh di bawah kondisi ideal menurut UU Penataan Ruang bahwa luas RTH minimum adalah 30%. Bahkan, di Jakarta (2008) sekarang, kantong-kantong air atau kawasan air, situ, danau, dan rawa hanya tinggal 2,96% saja, padahal kondisi idealnya adalah harus di atas 20%. Data ini merepresentasikan bagaimana terjadinya degradasi kawasan RTH dan resapan air di kota-kota besar.  (https://www.pu.go.id/isustrategis/view/21, diakses 23-8-2015).

Nah, di sinilah saya meminjam saja pendapat pemerintah tersebut. Maklum, kalau saya bukan ahli perbanjiran, maka saya pinjam saja analisis pemerintah sendiri. Kalau saya pinjam teori oposisi, nanti dikira “pakai teori konsporasi kan”? Hehehe……

Pemerintah sendiri mengakui bahwa penyebab banjir yang sebenarnya itu adalah eksploitasi lahan secara berlebihan. Jelas kan? Saya ulangi: EKSPLOITASI LAHAN! Biar jelas. Pemerintah mengakui sendiri dalam artikelnya tersebut bahwa prinsip-prinsip penataan ruang masih belum dilaksanakan secara optimal, dengan melihat masih banyaknya proses pembangunan yang melanggar ketentuan RT/RW, tapi tidak ada sanksi tegas dalam setiap pelanggaran tersebut.

Lalu solusi mengatasi banjir itu apa? Menurut artikel dalam website Kementerian PUpera itu dikatakan, “Dalam mengatasi masalah banjir, paradigma penanganan banjir yang telah ada selama ini perlu sedikit digeser dan lebih diarahkan ke tindakan pencegahan. UU Penataan Ruang mutlak perlu disosialisasikan dengan substansi materi UU Penataan. Ruang yang lebih menonjolkan tata kelola air sebagai bagian utama dari penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini dapat dijadikan pedoman dalam pengendalianpemanfaatan ruang sehingga dapat meminimasi dan mengeliminir terjadinya banjir akibat pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan.”

Sekarang pertanyaannya: siapa yang melakukan kejahatan tata ruang mengeksploitasi lahan yang tidak diberi sanksi tegas tersebut? Apakah penjahatnya penduduk Kampung Pulo? Atau para orang tua Anda? Atau Anda sendiri? Yang jelas pemerintah sendiri yang telah mengizinkan itu.

Pada masa lalu para penguasa properti ada Brasali Group, Lyman Group, dan Salim Group Associate. Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, mengatakan, pasar properti Indonesia (saat ini) sejatinya ditentukan oleh kelompok-kelompok besar, seperti Sinarmas Land Group, Ciputra Group, Lippo Group, Pakuwon Group, Summarecon Group, dan Agung Podomoro Group (Ini Dia Penguasa Pasar Properti Indonesia, Properti.kompas.com, 15-4-2014).

Sekarang pertanyaannya adalah: mengapa para penjahat penyebab banjir itu leha-leha, sedangkan yang harus menanggung akibatnya adalah orang-orang kecil dan mereka digusur, lalu warga kelas menengah dan atas di perkotaan bertepuk tangan dengan mengatakan, “Gubernur Ahok tegas dan hebat!” Hehehe….. Apanya yang hebat kalau cuma menyingkirkan rakyat kecil dengan bantuan pasukan TNI dan Polri. Gubernur Sodik dari provinsi Langit Coklat juga bisa begitu.

Saya tentu tidak menentang penataan sungai Ciliwung agar menjadi lingkungan yang baik. Tapi jika cara-caranya kasar kepada rakyat kecil, dengan terus memanjakan para penjahat besar yang mengeksploitasi lahan Jakarta itu, apa hebatnya Gubernur Jakarta di masa lalu hingga masa Ahok sekarang? Mereka para gubernur, kepolisian dan TNI itu cuma berani menganiaya rakyat kecil. Rakyat, yang tidak mampu membeli rumah-rumah mewah yang telah menghancurkan tatakota lingkungan Jakarta itu, cuma dijadikan tumbal, seolah-olah mereka adalah penjahat yang menguasai tanah negara.

Apakah berani pemerintah DKI Jakarta melakukan penertiban tata ruangnya dengan mengambalikan RTH-nya menjadi 20 % saja dengan melakukan penggusuran terhadap lahan-lahan serapan air yang di atasnya berdiri perumahan, hotel dan mal, minimal dengan menggunakan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum, disamping melakukan penataan sungai Ciliwung?

Saya yakin pemerintah tidak akan berani melalukan itu. Lihat saja kebijakan yang dirancang saja sudah berupa tax amnesty yang mau memutihkan segala kejahatan para bandit besar itu.

Itulah kenyataanya. Kalau Ahok bilang, “Demi hidup 10 juta manusia, saya akan membunuh 2000 orang yang mengancam hidup 10 juta orang itu,” Ayo Pak Ahok, bunuhlah para raksasa besar pengeksploitasi lahan Jakarta yang tak tersentuh hukum itu kalau berani? Saya memahami sikap ahok-isme itu hanyalah ketegasan kepada mereka yang kecil-kecil, tapi takut menghadapi segelintir raksasa berkuasa itu.  

Tapi saya punya harapan, Pak Ahok memang akan “membunuh” para raksasa penyebab banjir Jakarta itu. Mereka berada dalam angka 2000 itu. Itu angka misteri yang segera terpecahkan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun