Kemarin, salah satu TV swasta menggegerkan rakyat Indonesia akibat penyebaran narasi yang mendeskriditkan pesantren. Memang penulis belum pernah merasakan kehidupan pesantren secara holistik. Akan tetapi, penulis pernah merasakan hidupnya tradisi pesantren di tengah hiruk pikuk kehidupan Jakarta. Kehidupan tersebut yaitu hubungan antara guru dan murid di majelis taklim. Tak lain dan tak bukan hubungan baik antara seorang murid dengan guru untuk mendapatkan keberkahan.
Hubungan baik antara guru dan murid ini sebenarnya bukan feodalisme akan tetapi hubungan tersebut mengikuti hubungan antara Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Rasulullah sebagai simbol guru yang patut menjadi role model untuk menjadi teladan bagi para pengikutnya. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda, “Aku hanya diutus sebagai pengajar, bukan sebagai pelaknat.”
Relasi guru dan murid telah dibangun oleh Rasulullah dan para sahabat ini dijaga dan dilestarikan hingga era modern sekarang ini. Sebab guru dalam tradisi pesantren atau majelis taklim bukan hanya sebagai tokoh yang punya banyak ilmu saja akan tetapi ia sebagai sumber kebahagiaan bagi murid-muridnya. Sebagaimana Syekh Dzun Nun al-Mishri ditanya oleh murid-muridnya, “Ya Syekh apa tanda kebahagiaan itu?” Lantas Syekh menjawab, “Tanda kebahagiaan itu engkau mengikuti para shalihin dan mengikuti gerak-geriknya.”
Jangan pernah menganggap orang-orang lulusan pesantren sebagai lulusan kelas kedua. Sebagai bukti alumni-alumni pesantren bisa menduduki jabatan tinggi di negara ini. Gus Dur sebagai Wakil Presiden ke-4, KH. Hasyim Muzadi sebagai watimpres di era Pak Jokowi dan Jusuf Kalla, KH. Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden tahun 2019-2024. Di sisi lain banyak pula pejabat-pejabat dan mentri-mentri di Indonesia yang berlatar pendidikan pesantren. Kedudukan tersebut tentu diraih disebabkan doa guru-guru mereka. Sebagaimana dulu penulis ketika ingin memilih jurusan di perkuliahan maka penulis sowan kepada guru MTS yaitu KH. Halwani Zein. Ketika itu KH. Halwani berkata, “Ambil jurusan bahasa Arab di Universitas Indonesia.”
Keberadaan kyai-kyai bukan hanya berpengaruh di dunia pesantren saja akan tetapi keberadaan mereka berdampak bagi Negara Republik Indonesia. Buktinya, ketika seseorang yang ingin menduduki suatu jabatan penting dan strategis maka ia bertanya dan meminta restu dari para guru. Di sisi lain, ketika negara sedang menghadapi kondisi dan situasi yang kurang kondusif maka mereka menjadi sandaran untuk ditanya dan dimintai statement untuk negara kembali berjalan secara normal lagi. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" (QS An-Nahl :43)
Dengan demikian, jika media sosial atau media elektronik ingin membuat tayangan tentang pesantren di platformnya maka perlu adanya observasi dan penelitian terlebih dahulu. Sehingga penanyangan tersebut terlihat objektif dan tidak ada narasi yang menyudutkan pihak pesantren. Ketika penyudutan itu terjadi maka akan terjadi konflik horizontal dan bahkan ada klaim bahwa akan ada pemberangusan pendidikan tradisonal tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI